Rabu, 28 Mei 2008

QANUN SEBAGAI PERATURAN PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS

QANUN SEBAGAI PERATURAN PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS
DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Oleh: PAANK.SWBY.


A. Pendahuluan
Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagaiProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam melahirkan harapan dan membuka peluang untuktumbuhnya kreatifitas, diskresi dan kebebasan bagi Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota serta masyarakat Aceh pada umumnya untuk menemukan kembali identitas diridan membangun wilayahnya. Peluang ini telah ditanggapi secara positif oleh komponenmasyarakat, baik legislatif maupun eksekutif bahkan oleh organisasi sosialkemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat. Tanggapan yang positif ini memangdiperlukan untuk mencegah timbulnya kemungkinan bahwa pendulum akan berbalikkembali ke arah sentralisasi.
Penyerahan otonomi khusus dan penggantian nama Provinsi Daerah IstimewaAceh menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam didasarkan kepada Undang-undangNo. 18 Tahun 2001. Lahirnya Undang-undang ini dilatarbelakangi setidak-tidaknya olehdua fenomena, satu terdapat di Aceh dan satu lagi ditingkat nasional. Yang pertama,berkaitan dengan konflik Aceh yang timbul akibat adanya Gerakan Aceh Merdeka sejaktahun 1976. Sedang yang kedua berkaitan dengan reformasi yang menuntut perubahandisegala bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara termasuk mengubah polahubungan antara pusat dan daerah. Reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa telah"memaksa" pemerintah untuk membuat beberapa kebijakan, diantaranya kebijakantentang desentralisasi dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999tentang Pemerintahan Daerah. Sedang konflik Aceh yang berlangsung berlarut-larut telah"mendorong" sebagian anggota DPR untuk mengajukan usul inisiatif yang lantasmelahirkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang PenyelenggaraanKeistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Melalui Undang-Undang ini PemerintahPusat mengakui keistimewaan Aceh, yang telah lama disandang oleh Provinsi DaerahIstimewa Aceh yaitu sejak tahun 1959. Karena Undang-Undang ini dirasakan belumcukup mengakomondir tuntutan daerah, Sidang Umum MPR tahun 1999 melaluiKetetapan MPR Nomor IV/MPR/1999, mengamanatkan antara lain pemberian otonomikhusus kepada Daerah Istimewa Aceh. Selanjutnya Sidang Tahunan MPR tahun 2000melalui Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 kembali merekomendasikan agar Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dapat dikeluarkanselambat-lambatnya bulan Mei 2001. Lebih dari itu perubahan kedua atas Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan MPR pada sidang tahunan tahun 2000, dalam Pasal18 B ayat (1) mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifatkhusus atau bersifat istimewa yang akan diatur dengan undang-undang. Atas dasarperubahan yang relatif dratis ini, sebagian anggota DPR kembali mengajukan usulinisiatif mengenai Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah IstimewaAceh, yang pada akhirnya disahkan sebagai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001tentang Otonomi khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai ProvinsiNanggroe Aceh Darussalam, yang disahkan pada tanggal 19 Juli 2001 dan diundangkanpada tanggal 9 Agustus 2001.
Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Pasal 31 (1) dinyatakan bahwa"Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintahditetapkan dengan Peraturan Pemerintah," sedang pada ayat (2) dinyatakan bahwa "Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang ini yang menyangkut kewenangan PemerintahProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dengan Qanun Provinsi NanggroeAceh Darussalam." Sedang pengertian Qanun, dalam Pasal 1 angka 8 dinyatakan"Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagaipelaksanaan undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalamrangka penyelenggaraan otonomi khusus".
Dari ketentuan ini terlihat bahwa Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam(untuk selanjutnya di singkat qanun ) adalah peraturan untuk melaksanakan otonomikhusus dalam hal yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Dengan demikianwalaupun dari satu segi qanun adalah peraturan daerah, tetapi dari segi lain qanun tidaktunduk kepada peraturan pemerintah karena qanun berada langsung di bawah undang-undang. Berhubung dengan kedudukannya yang unik, maka tulisan ini inginmenjelaskan, bagaimana pemahaman tentang makna, kewenangan dan kedudukan qanundalam tertib hukum di Indonesia, apa kesulitan yang dihadapi dalam menjabarkan maknatersebut dan bagaimana kedudukan qanun dalam hubungan dengan pelaksanaan Syari'atIslam sebagai salah satu otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh. Tetapi sebelum ituakan dipaparkan sedikit uraian tentang sejarah dan makna otonomi khusus di Aceh.

B. Substansi Pokok Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999
Dengan UU Nomor 44 Tahun 1999 ini, keistimewaan yang selalu disebut-sebutsebagai ciri utama dan telah menjadi "identitas" Aceh sejak tahun 1959 itu diharapkanakan menjadi lebih menyeluruh di tengah masyarakat. Undang-Undang ini hanyamengatur hal-hal pokok, dan setelah itu memberi kebebasan kepada Daerah untukmengatur pelaksanaannya melalui peraturan daerah dan keterlibatan ulama dalampembuatan kebijakan daerah, agar kebijakan daerah lebih akomodatif terhadap aspirasimasyarakat Aceh.
Adapun hal-hal pokok yang ditetapkan dalam UU Nomor 44 Tahun 1999 untukmenyelenggarakan keistimewaan yang diberikan kepada Aceh adalah sebagai berikut:Dalam pasal 1 angka 8 disebutkan bahwa "Keistimewaan adalah kewenangan khususuntuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan dan peran ulama dalampenetapan kebijakan daerah." Pasal 1 angka 9 berbunyi," Kebijakan Daerah adalahPeraturan Daerah atau Keputusan Gubernur yang bersifat mengatur dan mengikatdalam penyelenggaraan keistimewaan". Pasal 1 angka 10," Syari'at Islam adalahtuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan;" Pasal 1 angka 11, "Adat adalahaturan atau perbuatan yang bersendikan Syari'at Islam yang lazim dituruti, dihormati,dan dimuliakan sejak dahulu yang dijadikan sebagai landasan hidup."
Mengenai keistimewaan dibidang kehidupan beragama, diatur dalam Pasal 4 ayat(1) dan (2), bahwa penyelenggaraan kehidupan beragama didaerah diwujudkan dalambentuk pelaksanaan Syari'at Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat ; dengan tetapmenjaga kerukunan hidup antar umat beragama. Sedang cakupan Syari'at Islam sepertidijelaskan dalam Pasal 1 angka 10 di atas, telah didefinisikan secara relative lengkap,yaitu mencakup seluruh ajarannya (tuntunan ajaran Islam dalam semua aspekkehidupan). Jadi Undang-Undang ini telah memberikan pemahaman yang kaffah kepadaSyari'at Islam, mencakup ibadat, mu'amalat, jinayat, munakahat bahkan lebih dari itumencakup 'aqidah dan akhlak serta ajaran dan tuntunan diberbagai bidang lainya.
Sedang mengenai kehidupan adat, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diberiizin melestarikan dan membentuk lembaga adat di tingkat provinsi, kabupaten/kota,kecamatan, kemukiman, dan gampong (desa) yang seperti telah dikutip di atas tadi harusdijiwai serta sesuai dengan ajaran Islam.
Sedang keistimewaan di bidang pendidikan, walaupun urusan pendidikan telahdiserahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, namun denganundang-undang ini, Daerah Istimewa Aceh diberikan kewenangan khusus untuk menatapendidikan, mengembangkan dan mengatur berbagai jenis dan jenjang pendidikan sertakurikulumnya dengan menambah materi muatan lokal yang berbasis kompetensi agarsesuai dan mendukung pelaksanaan Syari'at Islam. Dalam hubungan ini tentu perludiingat dan dijaga bahwa penetapan kebijakan di bidang pendidikan ini harus tetapsejalan dengan sistem pendidikan nasional.
Dengan demikian, aturan tentang penyelenggaraan keistimewaan dalam bidangkehidupan adat dan pendidikan, kelihatannya hanyalah untuk lebih memudahkan danmengukuhkan pelaksanaan Syari'at Islam dalam kehidupan masyarakat muslim diProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Setelah ini pelaksanaan Syari'at Islam secara formal diperkuat dan dipertegas lagimelalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, tentang Otonomi Khusus bagi ProvinsiDaerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

C. Otonomi Khusus dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001
Di dalam konsideran "Menimbang " UU No. 18 Tahun 2001 huruf"d" antara laindisebutkan bahwa ketentuan dalam UU No.22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999". belum menampung sepenuhnya hak asal usul dan keistimewaan Provinsi DaerahIstimewa Aceh." Sedang dalam huruf "e" disebutkan "bahwa pelaksanaan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 . perlu diselaraskan dalam penyelenggaraanpemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe AcehDarussalam." Dari kutipan ini dapat dipahami bahwa otonomi khusus adalah otonomiyang diberikan sebagai tambahan atas otonomi yang sudah ada dan juga penyempurnaanatas penyelenggaraan keistimewaan yang sudah diberikan sebelumnya. Dalam Pasal 3Undang-Undang ini ditemukan rumusan : (1) "Kewenangan Provinsi Nanggroe AcehDarussalam yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah kewenangan otonomikhusus". (2) "Kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam selain yang diaturpada ayat (1) tetap berlaku sesuai dengan peraturan perundang-undangan". Dalamkaitan ini, sekiranya diingat bahwa yang tidak diotonomikan oleh UU Nomor 22 Tahun1999 pada pokoknya hanyalah lima buah urusan yaitu : hukum, agama, fiskal, hubunganluar negeri, dan pertahanan, maka otonomi khusus seyogyanya dipahami sebagaipemberian paling kurang sebagian kewenangan dalam lima urusan yang belumdiotonomikan oleh UU No. 22Tahun 1999 sebelumnya. Di dalam "Penjelasan Umum"UU No.18/01 disebutkan bahwa "Hal mendasar dari Undang-Undang ini adalahpemberian kesempatan yang lebih luas untuk mengatur dan mengurus rumah tanggasendiri termasuk sumber-sumber ekonomi, menggali sumber daya alam dan sumber dayamanusia, .dan mengaplikasikan Syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat." Dalam alinia lainnya disebutkan "Kewenangan yang berkaitan dengan bidangpertahanan negara merupakan kewenangan Pemerintah. Dalam hal pelaksanaankebijakan tata ruang pertahanan untuk kepentingan pertahanan Negara KesatuanRepublik Indonesia di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang tidak bersifatrahasia, Pemerintah berkoordinasi dengan Gubernur Provinsi Nanggroe AcehDarussalam."
Tetapi rumusan tentang masalah yang diserahkan melalui otonomi khusus kepadaAceh tidak disebutkan secara jelas di dalam UU No. 18 Tahun 2001 ini. Memangdidalam undang-undang ini ada beberapa hal yang secara jalas dinyatakan berbedadengan peraturan sebelumnya, seperti besaran nisbah "dana perimbangan" dan adanya "penerimaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka otonomi khusus" sertajumlah anggota DPR Provinsi "maksimal 25 % dari jumlah yang ditetapkan Undang-Undang". Begitu juga ada beberapa masalah yang oleh Undang-Undang ini, secara jelasdiserahkan (didelegasikan) kepada Qanun untuk mengaturnya. Sebagian masalah inihanya merupakan tambahan atas otonomi dalam bidang yang sebelumnya sudahmerupakan otonomi daerah, sedang sebagian lagi merupakan hal baru, merupakan salahsatu dari lima urusan yang menurut UU No. 22 Tahun 1999 tidak diotonomikan(misalnya hukum dan agama). Lebih dari itu di dalam UU No. 18 Tahun 2001 ada 15 halyang secara jelas dinyatakan "perlu diatur dalam qanun" yang spektrumnya relatif luas,meliputi pemerintahan, keuangan, DPRD, pemilihan kepala daerah, hak pemilih diProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam, kepolisian serta peradilan. Tetapi semua inibelumlah menjelaskan secara tegas cakupan otonomi khusus tersebut dan juga batas yangmenjadi kewenangan pemerintah dan pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Dengan demikian, karena luasnya jangkauan bidang yang didelegasikan kepada(disuruh atau dengan) qanun disatu pihak dan tidak adanya rincian yang jelas dan tegastentang masalah yang diotonomi-khususkan, maka peluang untuk terjadinya perbedaantafsir yang relatif luas dan bersegi banyak tentang kandungan dan cakupan otonomikhusus serta "kekuatan hukum"dari qanun dalam hirarki perundangan di Indonesia,kelihatanya sangat terbuka lebar dan tidak akan dapat dihindari.

D.Pengertian Qanun
Istilah qanun sudah digunakan sejak lama sekali dalam bahasa atau budayaMelayu. Kitab "Undang-Undang Melaka" yang disusun pada abad ke limabelas atauenam belas Masehi telah mengunakan istilah ini. Catatan 1 Menurut Liaw Yock Fang istilah inidalam budaya Melayu digunakan semakna dengan adat dan biasanya dipakai ketika inginmembedakan antara hukum yang tertera dalam adat dengan hukum yang tertera dalamkitab fiqih. (Liaw Yock Fang 1975:178). Kuat dugaan istilah ini masuk kedalam budayamelayu dari bahasa Arab karena mulai digunakan bersamaan dengan kehadiaran agamaIslam dan pengunaan bahasa Arab Melayu di Nusantara. Catatan 2 Bermanfaat disebutkan, dalamliteratur Barat pun istilah ini sudah digunakan sejak lama, diantaranya merujuk kepadahukum kristen (Canon Law) yang sudah ada sejak sebelum zaman Islam.
Dalam bahasa Aceh istilah ini relatif sangat populer dan tetap digunakan ditengah masyarakat, karena salah satu pepatah adat yang menjelaskan hubungan adat dansyari'at yang tetap hidup dan bahkan sangat sering dikutip mengunakan istilah ini. Catatan 3Dalam literatur Melayu Aceh pun qanun sudah digunakan sejak lama, dan diartikansebagai aturan yang berasal dari hukum Islam yang telah menjadi adat. Salah satu naskahtersebut berjudul Qanun Syara 'Kerajaan Aceh yang ditulis oleh Teungku di Mulek padatahun 1257 H , atas perintah Sultan Alauddin Mansur Syah yang wafat pada tahun 1870M.Naskah pendek ini (hanya beberapa halaman) berisi berbagai hal di bidang hukumtatanegara, pembagian kekuasaan, berbagai badan peradilan dan kewenanganmengadili,fungsi kepolisian dan kejaksaan serta aturan protokoler dalam berbagaiupacara kenegaraan. Catatan 4 Dapat disimpulkan dalam arti sempit, qanun merupakan suatuaturan yang dipertahankan dan diperlakukan oleh seorang sultan dalam wilayahkekuasaanya yang bersumber pada hukum Islam, sedangkan dalam arti luas, qanun samadengan istilah hukum atau adat. Didalam perkembangan nya boleh juga disebutkanbahwa qanun merupakan suatu istilah untuk menjelaskan aturan yang berlaku di tengahmasyarakat yang merupakan penyesuaian dengan kondisi setempat atau penjelasan lebihlanjut atas ketentuan didalam fiqih yang ditetapkan oleh Sultan.
Sekarang ini Qanun digunakan sebagai istilah untuk "Peraturan Daerah Plus" ataulebih tepatnya Peraturan Daerah yang menjadi peraturan pelaksaaan langsung untukundang-undang (dalam rangka otonomi khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam).Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 8 "Ketentuan Umum" dalam Undang-UndangNomor 18 Tahun 2001 yang telah dikutip di atas.
Sejak dimulainya pemnyelenggaraan otonomi khusus berdasarkan UU No. 18/01,sudah banyak qanun yang disahkan. Menurut notulen di Sekretariat DPRD ProvinsiNanggroe Aceh Darussalam, sampai Agustus 2004 telah dihasilkan 49 qanun yangmengatur berbagai materi untuk merealisasikan kewenangan khusus yang diserahkanPemerintah kepada Pemerintah Provinsi Aceh termasuk pelaksanaan Syari'at Islam.Untuk yang terakhir ini di bawah akan diuraikan lebih lanjut.
E.Kedudukan dan Fungsi Qanun dalam Pelaksanaan Otonomi Khusus
Qanun dibentuk oleh DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan disahkanoleh Kepala Daerah setelah mendapatkan persetujuan bersama. Ketentuan ini mengikutisemangat rumusan Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUD 1945 amandemen pertama yang berisi :Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. SetiapRUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Dengandemikian qanun merupakan peraturan perundang-undangan di daerah yang dibuat untukmenyelenggarakan otonomi khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan karenaitu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kesatuan sistem perundang-undangannasional.
Dalam kaitan ini, kedudukan peraturan daerah dalam tata urutan sistemperundang-undangan Republik Indonesia telah diatur dalam Ketetapan MPR NomorIII/MPR/2000 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Negara RepublikIndonesia sebagai berikut:
1 1. UUD 1945
2 2. Ketetapan MPR
3 3. Undang-undang
4 4. Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang
5 5. Peraturan Pemerintah
6 6. Keputusan Presiden
7 7. Peraturan Daerah
Tata urutan peraturan perundang-undangan menurut TAP MPR di atas, dengansendirinya menempatkan qanun sebagai subsistem dalam tata peraturan perundang-undangan nasional, bahkan sistem hukum nasional pada umumnya. Karena itu qanunsebagai peraturan daerah "plus"-tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya. (Bagir Manan, 1995;9) Tetapi persoalan yangsekarang yang kita hadapi, UU No. 18 Tahun 2001 Pasal 31 ayat (2) yang telah dikutipdiatas tadi, menjadikan qanun tidak sama persis dengan peraturan daerah. Walaupun darisatu segi qanun disebutkan sebagai peraturan daerah, tetapi dia diberi kekuatan khususyaitu merupakan peraturan pelaksanaan langsung untuk undang-undang dalam urusanotonomi khusus yang menjadi kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.Dengan kata lain qanun merupakan peraturan pelaksanaan yang secara hirarkis beradalangsung dibawah undang-undang, tidak diselingi oleh peraturan perundangan lainnya.Mengikuti ketentuan ini, maka barangkali tidak ada keraguan bahwa untuk pelaksanaanotonomi khusus yang menjadi kewenangan Provinsi, qanun setingkat dengan peraturanpemerintah.
Jalan pikiran atau kesimpulan di atas menjadi penting karena didalam "PenjelasanUmum" UU No. 18 Tahun 2001 disebutkan bahwa, "Qanun Provinsi Nanggroe AcehDarussalam adalah Peraturan Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang dapatmengesampingkan peraturan Perundang-undangan yang lain dengan mengikuti asas lexspecialis deregat lex generalis dan Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materielterhadap Qanun". Dari bunyi rumusan ini muncul pertanyaan, ketentuan atau peraturanapa yang dapat disingkirkan oleh Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Untukmenjawab ini, sekiranya jalan pikiran diatas tadi diterima maka qanun dapatmenyingkirkan peraturan pemerintah dan keputusan presiden sekiranya hal itumenyangkut otonomi khusus yang menjadi kewenangan Provinsi Nanggroe AcehDarussalam.
Selanjutnya dalam Pasal 33 disebutkan, "Perubahan atas undang-undang inidapat dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan RakyatDaerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam." Ketentuan ini secara tidak langsungmenyatakan bahwa undang-undang yang tidak sejalan dengan UU No. 18 Tahun 2001yang datang sesudahnya, tidak secara serta merta berlaku di Provinsi Nanggroe AcehDarussalam. Undang-undang tersebut baru akan berlaku setelah mendapatkanpertimbangan dari DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Jalan pikiran ini secaratidak langsung menyatakan bahwa Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapatmengenyampingkan undang-undang baru (yang datang belakangan) yang tidak sejalandengan UU No. 18/01.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa Qanun Provinsi Nanggroe AcehDarussalam berfungsi sebagai berikut:
a a. Menyelenggarakan peraturan hal-hal yang belum jelas yang oleh undang-undangotonomi khusus diminta (diserahkan) kepada qanun untuk mengaturnya.
b b. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan dengan peraturanperundang-undangan yang lebih tinggi yaitu undang-undang.
c c. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang belum diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu undang-undang.
Menurut penulis kedudukan qanun dalam hubungan dengan penyelenggaraanotonomi khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam perlu dikaji dan dijelaskanoleh para akademisi dan praktisi secara jernih dan tanpa prasangka, sehingga posisinyadan kewenanganya yang di atas tadi dikatakan setingkat dengan peraturan pemerintahdan bahkan undang-undang, dapat dipahami dan diterima oleh para pembuat kebijakandan pencari keadilan.
Melalui pengkajian dan penjelasan ini nanti, para pembuat kebijakan dan pencarikeadilan dan bahkan para pengamat hukum secara umum akan secara mudah dapatmemahami bahwa qanun dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus bagi ProvinsiNanggroe Aceh Darussalam dapat mengesampingkan peraturan lain yang lebih tinggi, yang dalam keadaan biasa tidak dapat disingkirkan oleh peraturan daerah. Akan tetapisebagai konsekuensi diberikannya otonomi khusus kepada Provinsi Nanggroe AcehDarussalam maka produk legislatif daerah ini dapat saja menyimpang dari produkeksekutif di tingkat pusat. Misalnya suatu materi qanun yang telah ditetapkan secara sahternyata bertentangan isinya dengan materi Keputusan Presiden (apalagi hanya dengankeputusan menteri) yang bersinggungan dengan otonomi khusus, maka MahkamahAgung tentu harus menyatakan bahwa qanun itulah yang berlaku untuk ProvinsiNanggroe Aceh Darussalam, sedangakan Keputusan Presiden atau Peraturan Menteriberlaku secara umum di seluruh Indonesia (Jimly Asshiddiqie, 2000:29)
Di dalam praktek, pembuatan dan pengesahan qanun, terutama dari segi materilatau subtansi masalah yang diatur, tidaklah berjalan mulus dalam arti mungkin sekaliakan terjadi tolak tarik karena adanya perbedaan kepentingan antara berbagai unsur yangada di dalam masyarakat. Perbedaan mana harus diakomodir dan dimusyawarahkansedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan gejolak atau kesulitan yang tidak perlu.Sebagai contoh, qanun pertama yang dibuat oleh DPRD Provinsi Nanggroe AcehDarussalam untuk implementasi otonomi khusus adalah qanun di bidang keuangan danperimbangan bagi hasil minyak dan gas bumi. Pengesahan qanun ini telah mengundangkritik terutama dari masyarakat Kabupaten penghasil gas bumi yakni Kabupaten AcehUtara. Mereka mengatakan substansi qanun tersebut tidak lebih sebagai perpindahansentralisasi dari Jakarta ke Ibukota Provinsi sebab pembagian hasil gas bumi tidakmemenuhi keinginan dari masyarakat yang bersangkutan sehingga mereka menuntutDPRD Kabupaten dan Bupati Aceh Utara untuk tidak menerima qanun tentangpembagian keuangan tersebut (Humam Hamid,2004 : 8-9)

F. Kedudukan Qanun dalam Pelaksanaan Syari'at Islam
Pelaksanaan Syari'at Islam sebagai inti dari keistimewaan Aceh, yangsebelumnya hanya merupakan slogan, mendapat legalitas dan landasan formal dalamUndang-Undang Nomor 44 Tahun 1999. Dalam Undang-undang ini pelaksanaan syari'atIslam sebagai keistimewaan didang agama akan didukung oleh pelaksanaankeistimewaan di bidang adat dan pendidikan. Pelaksanaan syari'at Islam ini diperkuatkembali di dalam Undang Undang No. 18 Tahun 2001. Di dalam UU yang terakhir iniada tiga bab tentang penegakan hukum yaitu Bab X tentang Kepolisian Daerah, Bab XItentang Kejaksaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Bab XII tentang MahkamahSyar'iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Mengenai Kepolisian, undang-undangmenyatakan bahwa tugas fungsional kepolisian di bidang ketertiban dan ketenteramanmasyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diatur lebih lanjut dengan QanunProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Pasal 22 ayat 4). Sedang mengenai Kejaksaantidak ada perintah untuk mengaturnya dengan qanun. Mengenai Mahkamah Syari'ah,karena merupakan pusat perhatian penulis kutipkan secara lengkap: Pasal 25,(1)Peradilan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian darisistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Sya'riah yang bebas dari pengaruhpihak manapun. (2) Kewenangan Mahkamah Sya'riah sebagaimana dimaksud pada ayat(1), didasarkan atas Syariat Islam dalam sistem hukum nasional, yang diatur lebih lanjutdengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (3) Kewenangan sebagaimanadimaksud pada ayat (2) diberlakukan bagi pemeluk agama Islam. Pasal 26 (1)Mahkamah Syari'ah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) terdiri atasMahkamah Syari'ah Kabupaten/Sagoe dan Kota/Banda atau Provinsi sebagaipengadilan tingkat pertama, dan Mahkamah Syar'iyah Provinsi sebagai pengadilantingkat banding di ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. (2) MahkamahSyar'iyah untuk pengadilan tingkat kasasi dilakukan pada Mahkamah Agung RepublikIndonesia. (3) Hakim Mahkamah Syar'iyah diangkat dan diberhentikan oleh Presidensebagai Kepala Negara atas usul Menteri Kehakiman setelah mendapat pertimbanganGubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Ketua Mahkamah Agung.
Seperti telah disinggung di atas, urusan yang menurut UU No.22/99 tidakdiotonomikan kepada daerah, tetapi oleh UU No. 18 Tahun 2001 dijadikan sebagaiotonomi khusus adalah peradilan Syari'at Islam yang dilaksanakan oleh MahkamahSyar'iyah. Melihat redaksi dalam dua pasal di atas, dan juga sistematikanya yang terletaksesudah kepolisian dan kejaksaan, maka dapat dikatakan bahwa pelaksanaan Syari'atIslam di Aceh menurut UU No.18/01 ini termasuk ke dalam bidang (urusan) hukum,bukan bidang (urusan) agama. Dengan demikian pelaksanaan Syari'at Islam sebagaibagian dari otonomi khusus di Aceh dapat dikatakan berinduk kepada dua bidang, adayang ke agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 dan ada yang kehukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001. Berhubung kajian iniberkaitan dengan qanun (UU No.18/2001), maka uraian di bawah difokuskan padabidang hukum, bukan bidang agama.
Karena tidak jelas apakah Mahkamah Syar'iyah merupakan lembaga baru ataupengubahan atas lembaga yang sudah ada, dan apakah merupakan lembaga daerah(otonomi khusus) ataukah lembaga Pusat (masuk ke Departemen Kehakiman danDepartemen Agama atau ke Mahkamah Agung) maka sebuah team yang mewakili Aceh,sejak awal tahun 2002 aktif berkonsultasi dengan Pemerintah, dalam hal ini MahkamahAgung, Departemen Kehakiman dan HAM, Departemen Agama, Kejaksaan Agung,Kepolisian Republik Indonesia dan Departemen Dalam Negeri. Rangkaian konsultasi inipada akhirnya memberikan rekomendasi agar pada tingkat pusat dibentuk sebuah teamantar departemen di bawah pimpinan Departemen Dalam Negeri, yang bertugasmenyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pembentukan dan peresmianMahkamah Syar'iyah di Aceh. Team ini dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri diketuaioleh Sekretaris Jenderal dalam hal ini Ibu Siti Nurbaya dan beranggotakan utusan daridepartemen dan lembaga terkait, termasuk utusan Pemerintah Provinsi Nanggroe AcehDarussalam. Salah satu tugas yang dianggap mendesak adalah menyiapkan RancanganPeraturan Pemerintah tentang Peradilan Syari'at Islam atau Mahkamah Syar'iyah sebagaibagian dari pelaksanaan otonomi khusus. Di pihak lain, sementara Team Pusat bekerja,dan konsultasi antara Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Pemerintahberlangsung, Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam juga bekerja menyiapkanrancangan Qanun tentang Peradilan Syari'at Islam, (terutama sekali untuk menetapkankewenangannya), yang menurut undang-undang diserahkan kepada qanun.
Pada bulan Oktober 2002 disahkan Qanun Nomor 10 tahun 2002 tentangPeradilan Syari'at Islam, tepatnya tanggal 14 Oktober 2002, yang diantara isinyamengubah Pengadilan Agama menjadi Mahkamah Syar'iyah, Pengadilan Tinggi Agamamenjadi Mahkamah Syar'iyah Provinsi (Pasal 2) dan menetapkan kewenangannya (Pasal49) yang meliputi bidang hukum perdata kekeluargaan (al ahwal as-syakhshiyyah),perdata kehartabendaan (mu'amalah) dan pidana (jinayat).
Rancangan Peraturan Pemerintah yang disiapkan oleh Team Pusat sesuai denganmasukan yang disampaikan utusan dari Aceh dan juga hasil pembicaraan dalam beberapakali pertemuan dan diskusi, berisi pengukuhan atas pengubahan Pengadilan Agamamenjadi Mahkamah Syar'iyah seperti yang telah tercantum di dalam Qanun, sertamenjelaskan hubungan antara kepolisian dan kejaksaan dengan Mahkamah Syar'iyah dibidang pidana telah dapat diselesaikan dalam Februari 2003. Tetapi dengan sebab yangtidak jelas Rancangan Peraturan Pemerintah yang dengan susah payah disiapkan olehteam interdep tadi, tidak disahkan dan sebagai ganti dikeluarkan Keputusan PresidenNomor 11 Tahun 2003 tanggal 3 Maret 2003 tentang Mahkamah Syar'iyah danMahkamah Syar'iyah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam Keppresyang terdiri atas 11 pasal ini, di samping menetapkan pengubahan Pengadilan Agamamenjadi Mahkamah Syar'iyah (Pasal1), juga menetapkan kewenangannya yaitu semuakewenangan Pengadilan Agama "ditambah dengan kekuasaan dan kewenangan lainyang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syi'ar Islam yangditetapkan dalam Qanun" (Pasal 3 ayat (1). Sedang hubungan antara kepolisian dankejaksaan dengan Mahkamah Syar'iyah yang di Aceh sangat ditunggu-tunggu (karenadianggap bukan merupakan kewenangan Qanun), tidak disebut-sebut di dalam KEPPRESini.
Lepas dari apa yang dimaksud dengan "kekuasan dan kewenangan lain yangberkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syi'ar Islam," kenaparangkaian kata ini muncul sebagai kewenangan Mahkamah Syar'iyah di dalamKEPPRES dan bagaimana melaksanakannya di lapangan, satu hal ingin dikomentaribahwa UU No.18/01 secara jelas menyatakan bahwa kewenangan Mahkamah Syar'iyahditetapkan dengan qanun dan qanun untuk itu telah disahkan sebelum KEPPRES lahir.Tetapi KEPPRES kembali mengaturnya dan ternyata isinya tidak sama dengan yangditentukan di dalam Qanun. Dengan demikian KEPPRES ini mengatur sesuatu yangsebetulnya tidak perlu diatur karena berada di luar kewenangannya. Tetapi karena hal inisudah terlanjur terjadi, maka mana yang harus digunakan? Dapatkan KEPPRES itudianggap tidak berlaku karena bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalamundang-undang? Meneruskan jalan pikiran ini, apakah yang dianggap tidak berlakutersebut hanya pasal yang dianggap bertentangan dengan undang-undang (yangmelampaui kewenangannya) ataukah seluruh isi KEPPRES ini harus dianggap tidak ada?Perlukah Mahkamah Agung melakukan uji materiil atas keberadaan kedua peraturan ini?
Kembali kepada qanun untuk pelaksanaan Syari'at Islam, Qanun Nomor 10Tahun 2002 menetapkan dalam Pasal 53 dan Pasal 54 bahwa hukum materiil dan formildari Syari'at Islam yang akan dilaksanakan oleh Mahkamah Syar'iyah perlu ditetapkan didalam Qanun terlebih dahulu. Untuk ini telah disahkan Qanun Provinsi Nanggroe AcehDarussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang Aqidah, Ibadah, dan Syi'ar Islam, QanunProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar danSejenisnya; Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 13 Tahun 2003 tentangMaisir (Perjudian), Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No.14 Tahun 2003tentang Khalwat (Mesum) dan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 7Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat. Di masa depan qanun-qanun ini akan ditambahsedikit demi sedikit sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan. Sedang mengenai hukumacara pada dasarnya akan menggunakan hukum acara yang berlaku secara nasional(KUHAP) kecuali dalam hal yang memang ada perbedaan dengan Syari'at Islam.
Dalam kaitan dengan qanun mengenai hukum materiil dan formil Syari'at Islamkhususnya tentang sanksi, kadang-kadang muncul pertanyaan, apakah sanksi yang adadalam Syari'at Islam terutama sekali cambuk dapat ditetapkan dengan qanun, karenamenurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, hukumanyang dapat diatur di dalam Perda (menurut mereka termasuk Qanun) hanyalah dendamaksimal Rp. 5.000.000,- atau kurungan maksimal enam bulan. Untuk menjawabpertanyaan ini ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama sekali UU No.18Tahun 2001menyatakan bahwa kewenangan Mahkamah Syar'iyah untuk menjalankan peradilanSyari'at Islam ditetapkan dengan Qanun berdasarkan Syari'at Islam dan sistem hukumnasional. Sedang mengenai Syari'at Islam yang akan dilaksanakan oleh Mahkamahtersebut, tidaklah disebutkan harus ditetapkan di dalam qanun terlebih dahulu. Aturanbahwa Syari'at yang akan dijalankan itu akan ditetapkan ke dalam qanun terlebih dahuludiatur oleh qanun, yaitu Qanun No.10 Tahun 2002. Qanun inilah yang menetapkanbahwa Syari'at Islam yang akan dilaksanakan itu harus ditetapkan di dalam Qanunterlebih dahulu, seperti telah disebutkan di atas. Kebijakan ini ditempuh untuk lebihmemudahkan dan lebih mewujudkan kepastian hukum. Dengan kata lain, karenadituliskan di dalam qanun maka siapa saja yang berminat dapat dengan mudah mencaridan mempelajarinya. Sebetulnya qanun boleh saja menetapkan bahwa Syari'at Islamyang akan dijalankan adalah ketentuan yang terdapat dalam suatu buku fiqih tertentu,atau langsung meminta hakim mencarinya ke dalam ayat Al-qur'an atau hadisRasulullah, tidak perlu dirumuskan ke dalam qanun-qanun terlebih dahulu. Tetapi caraini tidak ditempuh, karena diduga akan sangat menyulitkan hakim. Cara ini memerlukantenaga hakim dengan kualifikasi yang sangat ketat. Juga akan sangat menyusahkan parapihak bahkan para pengacara karena yang menguasai buku fiqih untuk kepentinganberacara ini relatif tidaklah banyak. Dengan penulisan di dalam qanun, maka yang dicarihakim ke dalam buku fiqih atau ayat Al-qur'an serta hadis hanyalah penjelasan ataurincian tertentu. Kedua, walaupun sanksi tersebut dituliskan di dalam qanun, tetapi sanksiini bukanlah sanksi PERDA, melainkan sanksi Syari'at Islam itu sendiri, dalam hal inita'zir hudud atau qishash/diyat. Maksudnya tanpa dituliskan di dalam qanun pun paraulama Islam sudah mengetahui bahwa hudud atau qishash/diyat yang akan diajukanuntuk perbuatan pidana tertentu itu adalah seperti itu, tidak boleh yang lain. Jadipenulisan sanksi di dalam qanun sebagaimana telah disebutkan di atas, adalah sekedaruntuk lebih mudah mewujudkan kepastian hukum, mengurangi alternatif atas berbagaipilihan yang kadang-kadang ditemukan di dalam fiqih. Ketiga, masyarakat Aceh sejakdari awal kemerdekaan sudah menuntut izin untuk melaksanakan Syari'at Islam secarasempurna di tengah masyarakat tanpa pernah berhenti. Setelah hampir enam puluh tahunmerdeka barulah keinginan ini mendapatkan pengakuan dan landasan juridisperundangan yang relatif memadai. Tetapi oleh sebagian pihak landasan dan pengakuanini dianggap masih belum cukup kuat dan karena itu tidak dapat digunakan untukmelaksanakan syari'at Islam secara kaffah. Untuk ini menurut penulis, para akademisidan praktisi selayaknya memberikan tafsir berdasar tujuan (teologis) sedemikian rupa.Keinginan rakyat Aceh yang sudah cukup lama untuk melaksanakan Syari'at Islam, yangoleh undang-undang di atas ingin diakomodir dengan baik, tetapi karena keterbatasanrumusan dan pilihan kata ternyata tidak mampu menampung semuanya, perlu diatasidengan cara memberikan tafsir berdasar tujuan. Bahwa ketentuan dalam undang-undang di atas seyogyanya dipahami berdasar tujuannya yaitu, memberikan kesempatan kepadarakyat Aceh untuk melaksanakan Syari'at Islam secara sempurna melalui lembagapengadilan di tengah masyarakatnya.

G. Penutup
Kewenangan mengatur pelaksanaan atau penyelenggaraan otonomi khusus olehUU No. 18 Tahun 2001 diberikan kepada Pemerintah Provinsi untuk dituangkan kedalam qanun. Namun penguatan atau pengaturannya melalui (oleh) peraturan pemerintahtetap dirasa perlu, karena otonomi khusus ini sifatnya sangat unik hanya ada di ProvinsiNAD dan Provinsi Papua (tetapi dengan isi yang tidak sama). Rincian otonomi khusustidak disebutkan secara jelas di dalam undang-undang, sedang bidang seberannya relatifsangat luas, sehingga persinggungan antara kewenangan Pemerintah Provinsi dengankewenangan Pemerintah akan sering terjadi, dan sekiranya terjadi batasannya tidakmudah ditentukan. Karena hal itu adanya peraturan pemerintah yang memberi ketegasantentang kewenangan Pemerintah di samping kewenangan Pemerintah Provinsimerupakan suatu hal yang sangat diperlukan. Adanya peraturan pemerintah di samping diperlukan oleh masyarakat Aceh juga diperlukan oleh para petugas dan pembuat kebijakandi berbagai Departeman di Jakarta, karena sangat boleh jadi ketika membuat sebuahkebijakan Aceh yang berotonomi khusus yang telah mempunyai qanun menjaditerlupakan. Secara manusiawi adalah wajar sekiranya para pembuat keputusan di Jakartatidak mengetahui qanun yang sudah disahkan dan berlaku di Aceh, atau walaupun sudahmengetahuinya tidak menghayatinya atau lebih dari itu, boleh jadi terlupa ketikamembuat kebijakan tersebut (karena tertuang didalam Qanun yang dibuat dan berlaku diAceh). Jadi penjelasan tambahan atau penulisan kembali beberapa hal yang merupakanotonomi khusus di dalam peraturan pemerintah akan lebih mantap dan akan lebihmemudahkan para pembuat keputusan dan kebijakan di Jakarta. Tanpa adanya peraturanpemerintah yang akan memberikan penjelasan tambahan tentang otonomi khusus bagiProvinsi NAD, maka benturan antara qanun sebagai peraturan pelaksanaan atas undang-undang dengan peraturan pemerintah atau peraturan eksekutif lainnya yang lebih rendahdi tingkat pusat kuat dugaan tidak akan dapat dihindari malah mungkin akan seringterjadi.
Demikianlah, semoga ada manfaatnya. Kritik dan saran dari berbagai pihak tetapdiharapkan untuk penyempurnaan di masa depan dan bahkan perbaikan sekiranya adayang dianggap keliru atau salah.


DAFTAR KEPUSTAKAAN
- Abdullah Sani (tesis Nagister), Qanun Syarak Kerajaan Aceh pada zaman Sultan Alaudin Mansur Syah: Tahkik dan Kajian bandingan dengan Bustanus Salatin, Fakultas Pengajian Islam UKM, Kuala Lumpur, 2000
- Al Yasa Abubakar, Tanya Jawab Pelaksanaan Syari'at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Dinas Syari'at Islam Provinsi NAD, Banda Aceh, cet. 1, 2003.
- Bagir Manan 1995. Sistim dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah LPPM-UNISBA: Bandung.
- Dinas Syari'at Islam Prov. NAD, Himpunan Undang-Undang Keputusan Presiden, Peraturan daerah, Qanun, Intruksi Gubernur dan Edaran Gubernur, Dinas Syari'at Islam Prov. NAD Banda Aceh, 2003
- Human Hamid. 2004 "Beberapa Catatatan Awal Tentang Otonomi Khusus di Provinsi NAD'Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 38 FH UNSYIAH : Banda Aceh.
- Jimly Asshiddiqie. 2000 Penataan Kembali Sumber Tertib Hukum RI Dalam Rangka Amendemen Kedua UUD 1945 BP MPR-RI Jakarta.
- Kaoy Syah, M. Lukman Hakim 2000 Keistimewaan Aceh Dalam Lintasan Sejarah Al- Jamiatul Washliyah: Jakarta.
- Liaw Yock Fang, Undang-Undang Melaka, KITLV, Den Haag, 1976


Catatan 1 Liaw Yock Fang, Undang-Undang Melaka, KITLV,Den Haag,1976 hlm.62.Teks tersebut berbunyi, "Adapunkemudian dari pada itu, maka inilah suatu risalat pada menyatakan hukum kanun yaitu pada segala negeriyang besar-besar dan pada segala raja-raja yang besar-besar dan wazir dan pada adat yang takluk dan dusunsupaya manfaat atas negeri dan raja-raja."
Catatan 2 Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala menggunakan istilah "KANUN" untuk nama jurnal ilmiah yangmereka terbitkan, yang sekarang ini telah memasuki tahun ke sepuluh.
Catatan 3 Pepatah adat ini dikutip dalam: "Penjelasan Umum" Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 , yang berbunyi:"Adat bak potemerreuhum,hukombak Syiah Kuala,qanun bak Putro Pahang, reusam dari Laksamana)."Sekiranya nama tokoh yang disebutkan didalam pepatah ini digunakan sebagai rujukan (yang dikenal luas ditengah masyarakat, Sultan adalah Sultan Iskandar Muda , Ulama adalah Syiah Kuala, Putri Pahang adalahpermaisuri Sultan Iskandar Muda) maka pepatah ini mungkin sekali berasal dari awal abad ke tujuh belas, masapemerintahan Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam.
Catatan 4 Abdulah Sani Usman Basyah (Tesis Magister), Kanun Syarak Kerajaan Aceh pada Zaman SultanAlauddin Mansur Syah: Tahkik Kajian Bandingan dengan Bustanus Salatin,Fakultas Pengajian Islam,UKM, Kuala Lumpur, 2000, hlm 17.

ke ataske atas


LDj © 2004 ditjen pp

Tidak ada komentar: