Rabu, 28 Mei 2008

FASILITASI PERANCANGAN PERATURAN DAERAH

INSTRUMEN PROLEGNAS

DALAM PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN YANG TERENCANA DAN TERPADU

Oleh:PAANK.SWBY.1]

I. PENDAHULUAN

Program Legislasi sebagaimana yang dikenal saat ini merupakan tahapan paling awal dari proses dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yakni pada tahapan perencanaan. sebagaimana dikatakan dalam Pasal 1 ayat (1) UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan”

Jika program legislasi itu kedudukannya baru setingkat rencana atau keinginan, mengapa banyak kalangan yang menganggapnya sebagai sesuatu hal yang penting dan perlu untuk dikelola dengan baik?

Sebagaimana umumnya dikatakan, kelemahan dalam aspek perencanaan merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi cukup besar atas tersendatnya pembangunan hukum di negara kita. Dilihat dari rentang waktu yang hampir mencapai 60 tahun eksistensi negara Republik Indonesia, semestinya pembangunan hukum yang telah dilaksanakan mampu membuahkan hasil yang benar-benar dapat dibanggakan. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Kondisi faktual hukum di Indonesia masih menghadapi banyak persoalan, baik dari aspek materi-substansinya, aparaturnya, sarana prasarana maupun budaya hukumnya. Tuntutan bagi segera terwujudnya supremasi hukum yang gencar disuarakan oleh banyak kalangan, misalnya, paling tidak mengindikasikan bahwa pembangunan hukum yang sudah kita laksanakan hingga saat ini dianggap masih belum mencapai hasil yang memuaskan, sehingga harus ditingkatkan lagi melalui suatu rencana yang disusun secara integral, sistematis, terarah dan berorientasi multisektor.

Tulisan ini secara ringkas akan memaparkan tentang posisi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Pokok bahasan akan dilandaskan pada praktik yang berjalan saat ini dan ketentuan-ketentuan baru tentang program legislasi dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

II. ARTI DAN POSISI PROGRAM LEGISLASI NASIONAL

Pasal 1 ayat (9) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengartikan Program Legislasi Nasional sebagai suatu instrumen atau suatu mekanisme, dikatakan dalam pasal tersebut bahwa:

“Program Legislasi Nasional adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis.”

Disamping itu, secara operasional Program Legislasi Nasional sering dipakai dalam arti yang merujuk pada materi atau substansi rencana pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam konteks ini Prolegnas adalah daftar rencana pembentukan undang-undang yang disusun berdasarkan metode dan parameter tertentu serta dijiwai oleh visi dan misi pembangunan hukum nasional. Rencana legislasi dimaksud adalah:

“Usulan-usulan berupa rencana pembentukan peraturan perundang-undangan, baik untuk jangka panjang, menengah maupun jangka pendek, yang akan dibuat atau disusun diajukan oleh departemen/lembaga pemerintah non departemen dan lembaga atau institusi-institusi pemrakarsa lainnya.

Perbedaan antara pengertian program legislasi sebagai instrumen dan substansi tersebut penting untuk dikemukakan. Karena selama ini pemahaman terhadap program legislasi umumnya cenderung pada pengertian materi/substansi. Sehingga tidak mengherankan apabila ada kalangan yang beranggapan bahwa sesungguhnya program legislasi itu tidak penting karena hanya berupa “daftar keinginan” yang diajukan oleh departemen/LPND. Padahal sesungguhnya yang harus dikedepankan adalah kedudukannya sebagai instrumen/mekanisme yang merupakan bagian dari proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal ini secara jelas dikemukakan dalam Pasal 15 UU No. 10 tahun 2004, sebagai berikut:

(1) Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam suatu Program Legislasi Nasional.

(2) Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu Program Legislasi Daerah.

Dengan adanya penegasan bahwa prolegnas merupakan salah satu instrumen yang menjadi prasyarat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, maka anggapan-anggapan miring tentang keberadaan dan kedudukan mekanisme program legislasi nasional sedikit banyak dapat dikurangi.

III. LATAR BELAKANG DAN PERKEMBANGAN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL

Berbicara tentang Program Legislasi Nasional (Prolegnas), fokus utamanya tentu hanya berkaitan dengan salah satu elemen dari Hukum, yaitu materi/substansi hukum atau peraturan perundang-undangan[2] Karena sebagaimana umumnya difahami, pembangunan hukum pada dasarnya adalah pembangunan Sistem Hukum. Dalam kerangka sistem ini tercakup empat unsur atau sub-sistem hukum yang satu sama lain saling terkait, yakni: (1) materi atau substansi hukum; (2) sarana atau kelembagaan hukum; (3) aparatur hukum; dan (4) budaya atau kesadaran hukum masyarakat.

Program pembangunan hukum perlu menjadi prioritas utama karena perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki implikasi yang luas dan mendasar dalam sistem ketatanegaran kita yang perlu diikuti dengan perubahan-perubahan di bidang hukum. Di samping itu arus globalisasi yang berjalan pesat yang ditunjang oleh perkembangan teknologi informasi telah mengubah pola hubungan antara negara dan warga negara dengan pemerintahnya. Perubahan tersebut menuntut pula adanya penataan sistem hukum dan kerangka hukum yang melandasinya.

Dalam kerangka itu maka Prolegnas diperlukan untuk menata sistem hukum nasional secara menyeluruh dan terpadu yang senantiasa harus didasarkan pada cita-cita proklamasi dan landasan konstitusional yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaats) sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Meskipun materi hukum atau peraturan perundang-undangan hanya merupakan salah satu elemen dari Sistem Hukum, akan tetapi unsur inilah yang umumnya dinilai menduduki tempat paling penting, karena merupakan landasan berpijak bagi berfungsinya (sistem) hukum dalam kehidupan masyarakat. Berangkat dari asumsi ini, maka dikatakan bahwa kalau mau memperbaiki kondisi hukum di suatu negara, maka yang terlebih dahulu harus dibenahi adalah materi hukumnya.

Konsekuensinya adalah muncul tafsiran bahwa semakin banyak aturan hukum (tertulis) atau peraturan perundang-undangan maka kondisi hukum akan semakin baik. Untuk itu diperlukan sebanyak mungkin peraturan perundang-undangan yang mengatur segala aspek kemasyarakatan dan kenegaraan. Untuk kepastian hukum tentu saja adanya berbagai macam peraturan perundang-undangan sangat diperlukan. Akan tetapi apabila derasnya aliran usulan-usulan atau rencana pembentukan peraturan perundang-undangan (rencana legislasi) yang diajukan tersebut tidak disertai dengan adanya suatu mekanisme yang efektif yang mampu menjamin ketertiban, maka yang terjadi bukan perbaikan kondisi hukum malah justru lebih memperburuk kondisi hukum.

Hal ini bisa terjadi karena hampir dapat dipastikan bahwa pihak-pihak pemrakarsa yang mengajukan usulan atau rencana akan berpendapat bahwa usulannya benar-benar mempunyai tingkat urgensi yang tinggi sehingga perlu diprioritaskan untuk segera direalisasikan dalam waktu singkat. Demi alasan urgensi inilah, sering “pemilik” rencana tidak segan-segan menempuh segala upaya agar programnya segera terealisasi, tanpa mempertimbangkan bahwa pihak lain pun mempunyai kepentingan yang sama. Sikap yang sering disebut “egoisme sektoral” inilah yang kerap menjadi “penyakit” dalam proses legislasi di negara kita. Setiap pemrakarsa berlomba mengajukan rencana legislasinya masing-masing, dengan target terbentuknya peraturan perundang-undangan. Karena begitu banyaknya rencana legislasi yang diajukan, sementara lembaga yang mempunyai wewenang untuk menyelesaikannya sangat terbatas kemampuannya maka akibatnya muncul kemudian kondisi “bottle-neck” yang lebih memperumit keadaan.

Jumlah rencana legislasi yang diajukan dari tahun ke tahun semakin menumpuk karena harus antri menunggu realisasi. Karena keadaan ini, pola “carry over” rencana legislasi tahun dari sebelumnya ke tahun berikutnya menjadi hal yang lazim, mengingat begitu banyaknya tunggakan (back log) rencana legislasi yang tidak mampu tertangani dan terselesaikan. Lantas persoalan yang dihadapi adalah, bagaimana agar keseluruhan usulan rencana legislasi ini dapat direalisasikan secara tertib dan teratur sesuai dengan tingkat urgensinya ? Untuk itu tentu diperlukan adanya suatu mekanisme yang mampu memfasilitasi terwujudnya pelaksanaan rencana-rencana legislasi yang diusulkan, sehingga benar-benar dapat terealisasi sesuai dengan urutan dan tingkat kemendesakannya.

Kondisi demikian telah diperkirakan sejak tahun 70-an. Pada kurun waktu Pelita III (Tahun 1976-1977-an) Prolegnas mulai digagas sebagai suatu bentuk mekanisme koordinasi antar departemen/lembaga pemerintah non-departemen dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan. Mekanisme koordinasi ini dimaksudkan agar proses pembentukan peraturan perundang-undangan dapat berjalan secara harmonis, tertib dan teratur, dapat mengeliminir tumpang tindih materi/substansi, dan menetapkan prioritas penyusunan, pengajuan dan pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan berdasarkan tingkat urgensi dan kebutuhan masyarakat.

Sejak dirintisnya instrumen Prolegnas, dapat dikatakan bahwa instrumen ini hanya terkait dengan rencana-rencana legislasi atau usulan-usulan pembentukan peraturan perundang-undangan (baik undang-undang maupun peraturan pemerintah) yang diajukan oleh pemerintah (eksekutif) melalui Departemen-departemen dan Lembaga Pemerintah Non-departemen (LPND). Hal ini sesuai dengan situasi ketatanegaraan Indonesia saat itu, dimana wewenang pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945 sangat “executive heavy”, sehingga selama periode itu lebih dari sembilan puluh persen peraturan perundang-undangan dibentuk atas prakarsa dari pihak eksekutif.

Perubahan signifikan terjadi mulai periode tahun 1999 menyusul amandemen UUD 1945, khususnya terhadap ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20. Paradigma baru dalam kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan membawa serta penguatan fungsi badan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat) dalam prakarsa pembuatan peraturan perundang-undangan.

Perubahan paradigma ini berpengaruh pada peranan Prolegnas. Jika di waktu-waktu sebelumnya Prolegnas merupakan satu-satunya mekanisme, sesudah amandemen UUD 1945, Prolegnas menjadi salah satu dari mekanisme program legislasi. Karena disamping Prolegnas (pemerintah/eksekutif) yang menampung rencana-rencana legislasi dari departemen-departemen/LPND, juga terdapat mekanisme program legislasi yang dikelola oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR. Bahkan juga ada program legislasi yang dikelola oleh masyarakat (organisasi profesi dan lembaga swadaya masyarakat).

Pengaruh lainnya yang cukup penting bagi instrumen Prolegnas muncul dari efektifnya otonomi daerah. Berkurangnya kewenangan Pemerintah Pusat menyebabkan pula berkurangnya usulan rencana legislasi yang diajukan oleh departemen-departemen/LPND, karena sekarang ini rencana legislasi harus dipertimbangkan lebih cermat dan hati-hati, tidak sebebas praktik di masa-masa lalu. Jika sebelumnya daerah-daerah boleh dikatakan hanya sebagai pelaksana dari peraturan-peraturan pusat, maka saat ini daerah mempunyai hak untuk mempersoalkan substansi peraturan yang dikeluarkan oleh pusat. Friksi antara kepentingan Pusat dan Daerah dalam kaitan peraturan perundang-undangan tidak mustahil akan timbul jikalau instansi pusat tidak cermat dalam memilah bidang-bidang yang menjadi kewenangannya. Tentunya masalahnya akan sangat rumit jika friksi itu timbul setelah terbentuknya suatu peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, akan lebih baik apabila dalam proses penyusunannya pihak atau institusi pemrakarsa terlebih dahulu mengupayakan komunikasi dengan daerah sehingga aspirasi daerah dapat tertampung dalam peraturan nasional.

IV. ALUR PROSES INSTRUMEN PROLEGNAS

Hingga saat ini pengelolaan instrumen Prolegnas difasilitasi oleh Departemen Hukum dan HAM c.q. Badan Pembinaan Hukum Nasional. Pola pengelolaannya adalah sebagaimana tergambar dalam Alur Proses Penyusunan Program Legislasi Nasional. Dalam kaitan ini secara ringkas akan dikemukakan bagaimana mekanisme Program Legislasi Nasional berjalan, dan apa saja bentuk-bentuk kegiatan yang berkaitan dengan instrumen Prolegnas.

Secara garis besar, instrumen atau mekanisme Program Legislasi Nasional mencakup 5 (lima) tahapan kegiatan, yaitu (1). Tahap Kompilasi; (2). Tahap Klasifikasi dan Sinkronisasi; (3). Tahap Konsultasi, Komunikasi dan Sosialisasi; (4). Tahap Penyusunan Naskah Prolegnas; dan (5)Tahap Pengesahan.


ALUR PROSES PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL

Text Box: Tahap PengesahanText Box: Tahap Penyusunan Naskah ProlegnasText Box: Tahap Komunikasi dan SosialisasiText Box: Tahap Klasifikasi dan Harmonisasi


V
IV
III
II
I


PRES



A. Tahap Kompilasi

Tahap Kompilasi mencakup pengumpulan data melalui kegiatan monitoring ke setiap Departemen/LPND tentang rencana-rencana legislasi yang akan dan sedang digarap oleh Departemen/LPND. Disamping mendata usulan rencana legislasi baru, monitoring ini juga termasuk pemantauan tentang sudah sejauhmana kemajuan penggarapan rencana legislasi oleh departemen/LPND yang pernah diajukan pada periode sebelumnya. Sebagai contoh, apabila pada tahun 2004 Departemen Hukum dan HAM mengajukan program pembuatan naskah akademik RUU Perseroan Terbatas yang ditargetkan akan selesai tahun 2005, maka pada tahun 2005 program yang diajukan seharusnya sudah berubah tingkat penggarapannya menjadi penyusunan RUU, dan seterusnya sehingga prosesnya berkesinambungan.

Dari tahapan ini dihasilkan inventarisasi data rencana legislasi yang komprehensif, akurat dan sudah terevaluasi dari setiap Departemen/LPND. Selanjutnya data hasil inventarisasi ini disusun dalam bentuk Daftar Rencana Legislasi Nasional (Relegnas) sementara.

2. Tahap Klasifikasi dan Harmonisasi

Tahap Klasifikasi dan Harmonisasi dilakukan dalam bentuk kegiatan rapat-rapat koordinasi antar-departemen/LPND, dengan tujuan memantapkan data yang diperoleh pada tahap kompilasi.

Pada tahapan ini ada kemungkinan dilakukan penyesuaian/harmonisasi rencana legislasi. Hal ini dapat disebabkan karena adanya perubahan rencana legislasi di departemen/LPND terkait atau, karena materi muatan suatu rencana legislasi tumpang tindih dengan kewenangan departemen/LPND yang lain, sehingga dipandang perlu ada sinkronisasi. Pada tahapan ini masalah yang timbul apabila ada resistensi masing-masing departemen/LPND pemrakarsa untuk tetap mempertahankan rencana legislasi yang diusulkannya, sekalipun diketahui bahwa substansi rencana legislasinya jika tidak dilakukan perubahan atau penyesuaian kemungkinan akan berbenturan dengan kewenangan departemen/LPND lain.

3. Tahap Komunikasi dan Sosialisasi

Tahapan ini melibatkan Forum Prolegnas Pemerintah, wakil-wakil dari Badan Legislasi DPR dan unsur-unsur masyarakat (yang diwakili antara lain oleh organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan, keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, pakar, dan organisasi kemahasiswaan).

Sinkronisasi awal antara Prolegnas pemerintah dan Prolegnas Badan Legislasi (Baleg) DPR dilaksanakan melalui rapat-rapat Forum Konsultasi Prolegnas. Pada tahapan ini rencana-rencana legislasi yang berasal dari departemen-departemen/LPND dikonsultasikan dengan Badan Legislasi DPR. Mengingat Baleg DPR menyusun rencana legislasinya sendiri, tentunya berdasarkan pertimbangan dari sisi pandang DPR yang mungkin saja bersamaan atau justru berlainan dengan sisi pemerintah, maka untuk mengurangi terlalu banyaknya duplikasi dan untuk kejelasan prakarsa, diperlukan sinkronisasi penggarapan rencana legislasi sesuai dengan kesepakatan antara pimpinan eksekutif dan legislatif (khususnya dalam kaitan usul inisiatif pembuatan peraturan perundang-undangan). Mekanisme ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 16 UU No. 10 Tahun 2004, yang menyatakan sebagai berikut:

(1) Penyusunan Program Legislasi Nasional antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dikoordinasikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat melalui alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang legislasi.

(2) Penyusunan Program Legislasi Nasional di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dikoordinasikan oleh alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang legislasi.

(3) Penyusunan Program Legislasi Nasional di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang peraturan perundang-undangan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan dan pengelolaan Program Legislasi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.

Sedangkan pertemuan dengan lembaga atau organisasi masyarakat dilaksanakan dalam rapat-rapat Forum Komunikasi Prolegnas. Pertemuan ini dimaksudkan untuk mensosialisasikan program-program legislasi yang diusulkan oleh pemerintah, serta menampung usulan-usulan dan/atau pandangan-pandangan dari unsur-unsur masyarakat berkaitan dengan rencana pembentukan peraturan perundang-undangan. Opini-opini dari wakil-wakil elemen masyarakat mengenai rencana legislasi tersebut kemudian menyampaikannya kepada departemen/LPND pemrakarsa. Dalam kaitan ini BPHN sebagai fasilitator tidak memiliki kewenangan untuk, misalnya, menghapus suatu program legislasi yang dalam pandangan wakil masyarakat tidak penting atau tidak mendesak, tetapi akan menyampaikan opini ini kepada pihak yang paling berwenang yaitu instansi pemrakarsa.

Selanjutnya, dalam kaitan dengan upaya sosialisasi Prolegnas, terutama ke daerah-daerah, BPHN memprogramkan kegiatan Forum Komunikasi Prolegnas dengan Pemerintah Daerah dan DPRD. Upaya pensosialisasian rencana legislasi dalam Prolegnas ini dilakukan sebagai salah satu bentuk konsultasi publik pra-RUU, yang tujuannya agar daerah memperoleh informasi tentang rencana-rencana legislasi apa saja yang akan disusun atau dibuat oleh pemerintah pusat baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Melalui sosialisasi dalam tahapan prematur ini di satu sisi diharapkan akan membantu departemen/LPND pemrakarsa dalam memperlancar penyusunan program legislasinya, sedangkan disisi lain juga akan membantu daerah untuk mengantisipasi konsekuensi kemungkinan adanya peraturan perundang-undangan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat.

4. Tahap Penyusunan Naskah Prolegnas

Kegiatan yang diselenggarakan pada tahapan ini biasa dilaksanakan dalam bentuk Pembahasan Tahunan Prolegnas, yang melibatkan seluruh wakil departemen/LPND (dari Biro Hukum), Badan Legislasi DPR, wakil-wakil fraksi DPR, dan masyarakat (yang diwakili organisasi profesi, keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, pemuda, dan mahasiswa).

Forum Pembahasan Tahunan ini menghasilkan kesepakatan mengenai prioritas-prioritas penggarapan rencana-rencana legislasi berdasarkan tahun atau yang akan menjadi bahan untuk penyusunan Rencana Pembangunan Tahunan Bidang Hukum khususnya sub-bidang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Hasil Rapat Pembahasan Tahunan Prolegnas disampaikan kepada Menteri Hukum dan HAM yang berdasarkan tugas dan fungsinya bertanggung jawab atas pembangunan hukum nasional.

5. Tahap Pengesahan

Pada tahapan ini hasil yang diperoleh dari Rapat Pembahasan Tahunan menjadi pedoman bagi Pemerintah untuk menyusun Prioritas Program Legislasi Nasional jangka pendek atau tahunan.

V. HAL-HAL YANG BERKAITAN DENGAN INSTRUMEN PROLEGNAS

Prolegnas merupakan pedoman dan pengendali penyusunan peraturan perundang-undangan tingkat pusat yang mengikat lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan. Pembentukan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan Prolegnas tidak saja akan menghasilkan peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk mendukung tugas umum pemerintahan dan pembangunan sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat sesuai dengan tuntutan reformasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini maupun di masa yang akan datang.

Dalam kaitan dengan instrumen Prolegnas ini, ada satu masalah penting yang senantiasa dipersoalkan, yaitu masalah kriteria atau skala prioritas. Adalah wajar jika setiap pemrakarsa program menghendaki agar programnya segera terealisasi. Sehubungan dengan itu, setiap instansi pemrakarsa akan menyatakan bahwa programnya sangat urgen sehingga perlu diprioritaskan baik penggarapannya maupun pembahasannya di DPR. Akan tetapi, jika dicermati, sesungguhnya kriteria prioritas ini relatif, dalam arti bahwa masing-masing instansi mempunyai kriteria yang berbeda, artinya sesuatu yang dianggap prioritas oleh satu instansi mungkin saja dianggap tidak terlalu prioritas oleh instansi yang lain. Oleh karena itu, kriteria prioritas ini penting untuk ditetapkan sebagai acuan bagi setiap instansi yang mengajukan program legislasi, termasuk juga bagi DPR.

Di dalam forum-forum Prolegnas, seringkali disampaikan tentang pentingnya skala prioritas khususnya dalam kaitan dimasukkannya suatu program legislasi menjadi program prioritas prolegnas jangka pendek maupun untuk prioritas pembahasan di DPR.

Dalam Rapat Konsultasi antara Menteri Hukum dan HAM dan Badan Legislasi DPR RI pada tanggal 31 Januari 2005, disepakati kriteria prioritas Prolegnas 2005, sebagai berikut:

a. Rancangan undang-undang yang merupakan perintah dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b. Rancangan undang-undang yang merupakan perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

c. Rancangan undang-undang yang terkait dengan pelaksanaan undang-undang lain.

d. Rancangan undang-undang yang mendorong percepatan reformasi.

e. Rancangan undang-undang yang merupakan warisan prolegnas 2000-2004 disesuaikan dengan kondisi saat ini.

f. Rancangan undang-undang yang menyangkut revisi atau amandemen terhadap undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang lainnya.

g. Rancangan undang-undang yang merupakan ratifikasi terhadap perjanjian internasional.

h. Rancangan undang-undang yang berorientasi pada pengaturan perlindungan hak-hak asasi manusia dengan memperhatikan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan jender.

i. Rancangan undang-undang yang mendukung pemulihan dan pembangunan ekonomi kerakyatan yang berkeadilan.

j. Rancangan undang-undang yang secara langsung menyentuh kepentingan rakyat untuk memulihkan dan meningkatkan kondisi kesejahteraan sosial masyarakat.

Kriteria prioritas peraturan perundang-undangan ini pun tentunya berlaku untuk peraturan-peraturan pelaksanaan, karena peraturan pelaksanaan pada dasarnya mengikuti peraturan induknya.

Hal lainnya yang penting untuk dikemukakan adalah tentang arah kebijakan Prolegnas. Berkaitan dengan hal ini, di dalam hasil rapat konsultasi Menteri Hukum dan HAM dan Badan Legislasi DPR RI tentang Prolegnas pada tanggal 31 Januari 2005, ditetapkan bahwa kebijakan Prolegnas diarahkan untuk:

a. membentuk peraturan perundang-undangan di bidang hukum, ekonomi, politik, agama, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, sosial budaya, pembangunan daerah, sumber daya alam dan lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan, sebagai pelaksanaan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. mengganti peraturan perundang-undangan peninggalan kolonial dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang ada yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman;

c. mempercepat proses penyelesaian rancangan undang-undang yang sedang dalam proses pembahasan dan membentuk undang-undang yang diperintahkan oleh undang-undang;

d. membentuk peraturan perundang-undangan yang baru untuk mempercepat reformasi, mendukung pemulihan ekonomi, perlindungan hak asasi manusia dan pemberantasan korupsi kolusi dan nepotisme dan kejahatan transnasional;

e. meratifikasi secara selektif konvensi internasional yang diperlukan untuk mendukung pembangunan ekonomi, demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia serta pelestarian lingkungan hidup;

f. membentuk peraturan perundang-undangan baru sesuai dengan tuntutan masyarakat dan kemajuan jaman;

g. memberikan landasan yuridis bagi penegakan hukum secara tegas profesional dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan jender; dan

h. menjadikan hukum sebagai sarana pembaruan dan pembangunan di segala bidang yang mengabdi kepada kepentingan rakyat, bangsa dan negara guna mewujudkan prinsip keseimbangan antara ketertiban, legitimasi dan keadilan.

Satu lagi persoalan yang tidak kurang pentingnya adalah bahwa Pasal 16 ayat (4) UU No. 10 tahun 2004 mengamanatkan perlunya disusun peraturan pelaksanaan, dalam bentuk Peraturan Presiden, tentang mengenai Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional. Peraturan ini sangat mendesak untuk dikeluarkan sebagai landasan hukum dari Prolegnas dan seluruh kegiatan yang berkaitan dengan Prolegnas ini. Saat ini rancangan Peraturan Presiden dimaksud sudah selesai disusun dan sudah diajukan ke Presiden, namun tentunya diharapkan agar dalam waktu yang tidak terlalu lama peraturan tersebut dapat dikeluarkan, sehingga mekanisme instrumen Prolegnas dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

VI. PENUTUP

Mengakhiri tulisan ini kiranya dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Prolegnas sering diterjemahkan secara sempit menjadi kumpulan daftar rancangan undang-undang tanpa memiliki arah yang menjamin keberlanjutan pembangunan hukum nasional. Padahal sesungguhnya Prolegnas bukan semata-mata dalam pengertian materi atau substansi, akan tetapi yang terpenting adalah kedudukannya sebagai instrumen perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan, yang merupakan bagian dari proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, disamping memuat daftar rancangan undang-undang, Prolegnas perlu dilandasi visi, misi dan arah kebijakan yang menjadi parameter penentuan, penetapan, dan prioritas rancangan undang-undang, baik untuk lima tahunan maupun satu tahunan.

2. Mengingat sejumlah kondisi yang telah banyak berubah dan berkembang pada saat ini, maka mekanisme Program Legislasi Nasional telah menyesuaikan diri. Beberapa pertimbangan yang melandasi perubahan mekanisme ini, antara lain adalah pergeseran titik berat weenang pembentuk undang-undang (Amandemen Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945), UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, dan makin besarnya peran serta dan akses masyarakat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Tiga hal ini merupakan faktor-faktor penting yang telah membuka horizon baru dalam proses legislasi di Indonesia.

3. Dalam kaitan perubahan titik berat wewenang pembuatan peraturan perundang-undangan, Prolegnas (pemerintah) tidak akan lagi memonopoli atau tidak akan lagi menjadi satu-satunya acuan atau pegangan bagi segenap pihak yang terlibat dalam pembuatan peraturan perundang-undangan.



[1] Kepala Pusat Perencanaan Hukum Nasional, BPHN Dep. Hukum dan HAM

[2] Pasal 7 UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menetapkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan, sebagai berikut :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

c. Peraturan Pemerintah;

d. Peraturan Presiden;

e. Peraturan Daerah.

Tidak ada komentar: