Rabu, 28 Mei 2008

Komentar singkat terhadap ( Rancangan ) Undang-Undang Republik Indonesia

Komentar singkat terhadap ( Rancangan ) Undang-Undang Republik Indonesia
tentang Pembentukan Peraturan Perundang undangan
Oleh : PAANK.SWBY. Catatan 1)


I. Pendahuluan
Dalam komentar ini sengaja masih digunakan tulisan ( Rancangan ) karena :
a. walaupun RUU tentang Pembentukan Peraturan Perundang undangan sudahdisetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sejak tanggal 24Mei 2004;
b. dalam surat kabar harian " Kompas "pernah dimuat bahwa RUU tersebuttelah menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004; dan
c. sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ( setelah diubah ) ditentukan bahwa" dalam hal Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersamatersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjakRancangan Undang-Undang tersebut disetujui, Rancangan Undang-undangtersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan" .
Namun karena sampai ditulisnya komentar ini, penulis belum berhasilmendapatkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut walaupun sudahberusaha mencari ke Departemen Kehakiman dan HAM, maka belum beranimenyebut secara pasti " Komentar terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun2004 "
Keberadaan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan pada dasarnya memang sangat ditunggu tunggu terutama bagikalangan yang dari segi fungsi dan tugasnya selalu terkait dengan pembentukanperaturan perundang-undangan ataupun bagi kalangan praktisi, akademisi, danpemerhati peraturan perundang-undangan.
Keinginan adanya Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sering terlontar baik pada waktu dilakukan Rapat kerja antaraDepartemen Kehakiman dengan DPR-RI maupun pada waktu dilakukan seminar,lokakarya, atau pertemuan ilmiah yang ada hubungannya dengan PeraturanPerundang-undangan, yakni keinginan untuk membentuk Undang-Undangsebagai pengganti AB (Algemene Bepalingen voor de Wetsgeving S.1847:23 )
Keinginan tersebut didasarkan pada kenyataan tidak adanya konsistensi terutamadalam bentuk dan teknik penulisan / perumusan dari berbagai peraturanperundang-undangan, walaupun sudah ada peraturan yang mengaturnya yakniKeputusan Presiden Nomor 44 Tahun1999. tentang Teknik PenyusunanPeraturan Perundang undangan dan Bentuk Rancangan Undang-Undang,Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Keputusan Presiden.
Dalam praktek, ketentuan dalam Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999tersebut kurang dipatuhi, sehingga sering berakibat menyulitkan ataumenghambat dalam proses pembahasan peraturan perundang-undangan di tingkatPemerintah atau di tingkat DPR-RI. Tidak jarang proses pembahasan peraturanperundang-undangan terhambat hanya karena hal-hal yang sifatnya sangat teknis.
Oleh karena itu, keberadaan Undang-Undang tentang Pembentukan PeraturanPerundang-undangan yang mengatur secara komprihensif baik mengenai prosespenyiapan, pembahasan, penentuan tata urutan atau hierarki peraturan perundangundangan, maupun sampai pada teknik penyusunannya, antara lain diharapkandapat:
a. meningkatkan kualitas peraturan perundang undangan;
b. menghilangkan ketidak konsistenan dalam teknik penulisan atau perumusanperaturan perundang undangan,
c. menghilangkan ketidak pastian dan ketidak jelasan tata urutan peraturanperundang-undangan baik sebagai akibat ketentuan dalam Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966 maupun dalam Tap MPR Nomor III/MPR/2000; dan/ atau
d. memperlancar proses pembahasan.
Namun demikian ternyata ( Rancangan ) Undang-Undang tentang PembentukanPeraturan Perundang-undangan yang telah disetujui oleh DPR RI masih jauhdari harapan tersebut.
II. Peraturan Perundang Undangan yang pernah mengatur tentangPembentukan Peraturan Perundang undangan.
Sebelum disetujuinya (Rancangan) Undang Undang tentang PembentukanPeraturan Perundang-undangan sebenarnya sudah terdapat peraturan perundang-undangan yang pernah mengatur hal yang sama yakni :
1. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal10 Oktober 1945. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur tentangPengumuman dan Mulai Berlakunya Undang-Undang dan PeraturanPemerintah.
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Peraturan tentang Jenisdan Bentuk Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat.
Undang-Undang tersebut ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 2Februari Tahun 1950.
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-Undang Darurat tentang Penerbitan Lembaran Negara RepublikIndonesia dan tentang Mengeluarkan, Mengumumkan, dan MulaiBerlakunya Undang-Undang Federal dan Peraturan Pemerintah sebagaiUndang-Undang Federal. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950disahkan di Jakarta pada tanggal 15 Mei Tahun 1950.
4. Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1970 tentang Tata CaraMempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan PeraturanPemerintah Republik Indonesia. Instruksi tersebut ditetapkan pada tanggal 29 Agustus 1970.
5. Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata CaraMempersiapkan Rancangan Undang-Undang. Keputusan Presiden inimulai berlaku sejak tanggal 29 Oktober 1998 dan mencabut InstruksiPresiden Nomor 15 Thun 1970.
Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 dalam penerapannya kurang ditaatioleh Departemen atau Lembaga Pemerintah Non Departemen dalam menyiapkandraft peraturan perundang-undangan. Demikian juga keberadaan KeputusanPresiden Nomor 44 Tahun 1999, kurang ditaati pada waktu pembahasan RUU diDPR-RI.
Ketidak konsistenan teknik perumusan/penulisan berbagai Undang-Undang tidaksaja sebagai akibat kurang ditaatinya ketentuan teknik penyusunan peraturanperundang-undangan dalam Keppres Nomor 44 Tahun 1999, tetapi juga antaralain disebabkan adanya pengaruh "ahli bahasa" yang berbeda orang berbedapendapat pada waktu diundang untuk membantu pembahasan RUU di DPR RI.Sebagai contoh dapat dikemukakan dalam Keppres Nomor 44 Tahun 1999ditentukan bahwa untuk mengacu pada peraturan yang lain, pasal, atau ayatdigunakan frasa yang sama yakni "sebagaimana dimaksud dalam" tetapikemudian oleh "ahli bahasa" diubah kalau mengacu ayat digunakan frasa"sebagaimana dimaksud pada". Penggunaan kata "dalam" disampingmengandung nuansa untuk menunjukkan esensi dari norma hukum yangbersangkutan, juga mengacu pada istilah yang digunakan oleh berbagai negerayang juga tidak membedakan frasa pengacuan dengan "dalam" dan "pada",biasanya digunakan frasa as stated in, as referred to in, atau als bedoeld in.Dalam pembahasan peraturan perundang undangan sering kurang disadari bahwabahasa perundang-undangan pada dasarnya mempunyai karakteristik atauterminologi tersendiri yang berbeda penggunaannya misalnya untuk penulisankarangan, cerita dan sebagainya..
Pengaturan tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam bentukUndang-Undang adalah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 22 A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (setelah diubah) jo Pasal6 TAP MPR Nomor/III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata UrutanPeraturan Perundang undangan.
III. Beberapa komentar terhadap (Rancangan) Undang-Undang tentangPembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Setelah mempelajari dan mencermati substansi yang diatur dalam (Rancangan)Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dapatdiberikan komentar sebagai berikut :
1. Pasal 1 angka 1 "Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalahproses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnyadimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan,pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan"
Rumusan dalam Pasal 1 angka 1 ini terdapat hal yang kurang tepatkarena:
a. "perumusan" dipisahkan dari "teknik penyusunan" padahal dalamteknik penyusunan peraturan perundang-undangan telah mencakupmengenai "perumusan" yakni bagaimana teknik merumuskan suatunorma hukum.;
b. tidak semua peraturan perundang-undangan melalui prosedur"pengesahan" karena ada yang hanya melalui "penetapan" contoh :Peraturan Pemerintah.
2. Pasal 1 angka 2 "Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulisyang dibentuk oleh Lembaga Negara atau pejabat yang berwenang danmengikat secara umum".
Rumusan dalam Pasal 1 angka 2 ini membawa akibat yang cukupmendasar dalam sistem peraturan perundang-undangan yang selama inisudah berlaku.
Dengan digunakannya istilah "peraturan tertulis" berakibat bahwa jenisperaturan perundang-undangan yang selama ini menggunakan istilah"Keputusan" dalam arti yang mengatur (bersifat regeling) baik ditetapkanoleh Presiden, Menteri, atau Kepala Daerah harus diubah menjadi"Peraturan".
Secara logika sebenarnya suatu "peraturan" merupakan hasil dari suatu "Keputusan" yang ditujukan untuk mengatur sesuatu hal. Oleh karenaitu, dalam definisi tersebut akan lebih tepat jika digunakan istilah"Keputusan Tertulis" dan ditambah frasa "yang memuat norma hukum".Mengenai "Lembaga" dibatasi dengan "Lembaga Negara"permasalahannya adalah yang berkaitan dengan ketentuan Pasal 7 ayat(2) dari (Rancangan) Undang-Undang tersebut yang menentukanPeraturan Desa sebagai salah satu Jenis Peraturan Perundang-undangan(yang tercakup dalam Perda). Dengan demikian apakah :

a. "badan perwakilan desa" merupakan Lembaga Negara? Perlu adapenegasan mengenai lembaga yang dikategorikan sebagai "LembagaNegara";
b. berarti bahwa peraturan desa dapat memuat ketentan pidana , karenadisamakan dengan Perda yang sesuai dengan ketentuan dalam Pasal14 dapat memuat ketentuan Pidana;
c. anggota badan perwakilan desa merupakan pejabat negara ?;
d. peraturan desa mempunyai kedudukan lebih tinggi dari peraturan menteri, karena diatur secara jelas dalam tata urutan ?; dan
e. peraturan daerah propinsi atau daerah kabupaten/ kota samaderajatnya dengan peraturan desa ?
Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa istilah "Keputusan" untukperaturan perundang-undangan selama ini di gunakan di :
1. Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966, tentang Memorandum DPRGRmengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan TataUrutan Perundangan Republik Indonesia.
Dalam Tap Tersebut Tata Urutan Peraturan Perundangan adalahsebagai berikut :
- Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 ;
- Ketetapan MPR ;
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undnag;
- Peraturan Pemerintah ;
- Keputusan Presiden ;
- Peraturan Pelaksana lainnya seperti :
- Peraturan menteri
- Instruksi Menteri
- Dan lain-lainnya
2. Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum Dan TataUrutan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 2 dari Tap tersebut menentukan Tata Urutan peraturanperundang-undangan Republik Indonesia adalah :
1. Undang-Undang Dasar 1945 ;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RepublikIndonesia;
3. Undang-Undang ;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) ;
5. Peraturan Pemerintah ;
6. Keputusan Presiden ; dan
7. Peraturan Daerah.
3. Berbagai Keputusan Menteri, sesuai dengan ketentuan dalamKeputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999. bahwa pengaturantingkat menteri digunakan istilah " Keputusan Menteri "
Tidak dicantumkannya Keputusan Menteri dalam tata urutan peraturanperundang-undangan, dalam praktek banyak menimbulkan kontroversi,terutama dalam kaitannya dengan pelaksanaan pemerintahan daerah.Terdapat anggapan bahwa pemerintah daerah tidak terikat denganketentuan dalam Keputusan Menteri.
Oleh karena itu, untuk menghilangkan ketidak jelasan ataukeragu-raguan bagaimana posisi dari Keputusan Menteri (yang bersifatmengatur) maka Menteri Kehakiman (pada waktu dijabat oleh Prof. DR.Baharudin Lopa. SH) memberikan suatu klarifikasi terhadap "KeputusanMenteri" dengan maksud agar "terdapat kesamaan pemahaman".Klarifikasi tersebut dalam bentuk surat yang ditujukan kepada paraMenteri dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND)yakni surat tanggal 23 Februari 2001 Nomor M.U.M.01.06.27. Dalamsurat tersebut ditegaskan bahwa kedudukan Keputusan Menteri adalahdiantara Keputusan Presiden dan Peraturan Daerah. Dengan kata lainKeputusan Menteri lebih tinggi dari Peraturan Daerah. Namun perludiingat Peraturan Daerah boleh memuat Ketentuan Pidana, (vide Pasal 71ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang PemerintahanDaerah) sedangkan Keputusan Menteri tidak boleh memuat KetentuanPidana.
Dalam ketentuan Pasal 4 Tap MPR Nomor I/MPR/2003, ditegaskanbahwa Tap MPR Nomor III/MPR/2000, tetap berlaku sampai denganterbentuknya Undang-Undang. Undang-Undang yang dimaksud adalahUndang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undanganyang sesuai dengan ketentuan Pasal 58 dalam ( Rancangan ) Undang-Undang tersebut akan mulai berlaku pada tanggal 1 November 2004.Dengan demikian pada tanggal tersebut Tap MPR Nomor III/MPR/2000tidak berlaku lagi.
Apakah dengan tidak berlakunya lagi Tap MPR Nomor III/MPR/2000,kontroversi di bidang tata urutan atau hierarki peraturan perundang-undangan menjadi selesai?
Masalah mungkin akan tetap muncul karena dalam ( Rancangan )Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,juga tidak ada ketegasan dimana posisi dari Peraturan Menteri atauPeraturan Lembaga yang secara juridis formal mempunyai kewenanganuntuk menetapkan suatu peraturan, misalnya Menteri atau Gubernur BankIndonesia.
3. Pasal 3 ayat (1) jo Pasal 7 ayat (1)
Ketentuan Pasal 3 ayat (1) tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 7 ayat(1) karena :
a. dalam Pasal 3 ayat (1) ditentukan bahwa Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasardalam Peraturan Perundang-undangan, tetapi dalam Pasal 7 ayat (1)Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945dimasukkan sebagai salah satu jenis dari peraturan perundang-undangan ;
b. jika Undang-Undang Dasar Tahun 1945 merupakan hukum dasaratau yang dalam penjelasan Pasal tersebut disebut sebagai "sumberhukum" bagi pembentukan peraturan perundang-undangan di bawahUndang-Undang Dasar, seharusnya tidak termasuk dalam salah satujenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.
3. Pasal 3 ayat (3)
Pasal 3 ayat (3) menentukan bahwa "Penempatan Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Lembaran NegaraRepublik Indonesia tidak merupakan dasar pemberlakuannya"
Bila demikian halnya, maka tidak jelas fungsi dari penempatan UUD1945 dalam Lembaran Negara tersebut. Penjelasan Pasal 3 ayat (3) jugatidak menjelaskan dari norma Pasal 3 ayat (3) tetapi memuat norma baruyang menyatakan bahwa UUD Tahun 1945 berlaku sejak ditetapkanoleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Jadi tidak nyambung antaranorma dan penjelasan.
4. Pasal 4
Ketentuan dalam Pasal 4 dengan rumusan frasa "Peraturan Perundang-undangan di bawahnya" tidak memberikan kejelasan sampai derajad yangmana ? Apakah hanya sampai Peraturan Daerah ( vide Pasal 7 ayat (1)yang kemudian mencakup Peraturan Desa ( vide Pasal 7 ayat (2) huruf c )? Bila demikian, bagaimana dengan jenis peraturan perundang-undanganyang diakui keberadaannya ? ( vide Pasal 7 ayat (4))

5. Pasal 7 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4).
a. dengan tidak diaturnya secara tegas dimana letak "peraturan yangdiakui keberadaannya" ( Pasal 7 ayat (4) ) yang dalam penjelasanPasal tersebut ditulis antara lain " Peraturan Menteri " maka kontroversi mengenai jenis peraturan tersebut sebagai akibat ketentuan dalam Tap MPR Nomor III/MPR/2000 yang juga tidakmenyebut jenis Peraturan Menteri dalam tata urutan peraturanperundang-undangan, belum mendapatkan kejelasan bagaimana penyelesaiannya.
b. ketentuan dalam ayat (4) akan menyulitkan bagi PimpinanDepartemen / Lembaga Non Departemen, atau Lembaga lainnya yangmempunyai kewenangan untuk mengatur hal-hal yang secara teknismenjadi lingkup tugas, wewenang dan tanggung jawabnya, karenadibatasi " sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi ".
6. Pasal 7 ayat (5)
Pasal 7 ayat (5) menentukan bahwa kekuatan hukum PeraturanPerundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana dengan kekuatan hukum dariPeraturan Perundang-undangan yang diakui keberadaannya, apakahhanya cukup bila diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yanglebih tinggi ? ( Pasal 7 ayat (4))
Bagaimana misalnya yang menentukan pembuatan " Peraturan Menteri " adalah Undang-Undang tetapi kemudian substansinya bertentangandengan Peraturan Pemerintah ? sedangkan persyaratan dalam Pasal 7 ayat(5) hanya berlaku untuk peraturan perundang-undangan sebagaimanadimaksud pada Pasal 7 ayat (1) yang tidak mencakup " PeraturanMenteri".
7. Pasal 16 ayat (1) dan ayat (4)
Pasal 16 ayat (1) menentukan bahwa Penyusunan Program LegislasiNasional antara DPR dan Pemerintah dikoordinasikan olehDPR.....dan seterusnya, tetapi kemudian dalam ayat (4) ditentukanbahwa ketentuan mengenai tata cara penyusunan dan pengelolaanProgram Legislasi Nasional diatur dengan Peraturan Presiden.
Apakah tepat Peraturan Presidan mengatur alat kelengkapan dariDPR- RI?
8. Pasal 18 ayat (2)
a. apakah dengan ketentuan Pasal 18 ayat (2) ini berarti RancanganUndang-Undang yang telah diharmonisasikan, dibulatkan, dandimantapkan konsepsinya dibawah koordinasi menteri yang tugas dantanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan, merupakan RUU yang siap kirim ke DPR RI ?
b. bagaimana bila dalam tahap pemantapan konsepsi belum terdapatkebulatan persepsi, bagaimana jalan keluarnya ? ; dan
c. siapa yang mengkoordinasikan Peraturan Perundang-undangandibawah Undang-Undang, karena dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2)disebut secara tegas untuk RUU .
4. Pasal 22
Penyebarluasan RUU yang diatur dalam Pasal 22 ini, sesuai denganpenjelasan Pasal, dibatasi pada RUU yang sedang dibahas di DPR RI.
Pertanyaan : bagaimana dengan RUU yang sedang disiapkan oleh DPRatau Pemerintah, apakah berarti tidak perlu mendapat masukan daripihak-pihak terkait di luar lembaga tersebut ?.
5. Pasal 23 dan Pasal 31
Ketentuan dalam Pasal tersebut bersifat diskriminatif, seharusnya yangdibahas adalah RUU atau Raperda yang disampaikan terlebih dahulu,apakah RUU yang berasal dari DPR ( Pasal 23 ) atau Raperda yangberasal dari DPRD ( Pasal 31 ), ataukah yang berasal dari Pemerintah.Kriteria satu masa sidang menunjukkan kurun waktu yang relatif cukuplama, jadi tidak relevan untuk menentukan yang dibahas tetap RUU dariDPR atau Raperda dari DPRD, kecuali bila ditentukan misalnya "dalamhari dan tanggal yang sama".
6. Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) dan Pasal 36
Ketentuan dalam ayat (3) menyebutkan jika Peraturan PemerintahPengganti Undang-Undang ditolak oleh DPR, maka Perpu tersebut tidakberlaku, tetapi kemudian dalam ayat (4) ditentukan bahwa Presiden harusmengajukan RUU tentang pencabutan Perpu tersebut.
Pertanyaan :
secara juridis formal sejak kapan Perpu tersebut tidak berlaku ? sejakditolak oleh DPR ( Ketentuan ayat(3) ) ataukah baru setelah RUU tentangpencabutan Perpu yang sudah dinyatakan tidak berlaku berdasarkanketentuan ayat (3) disahkan sebagai Undang-Undang ?
Ketentuan dalam ayat (4) mereduksi ketentuan dalam ayat (3). Biladiinginkan adanya Undang-Undang tentang Pencabutan Perpu yangditolak DPR, rumusan dalam ayat (3) akan lebih tepat jika frasa " tidakberlaku " diganti dengan " harus dicabut " Dengan demikian norma diayat (3) dan di ayat (4) menjadi runtut.
7. Pasal 32 ayat (2) dan ayat (3)
Ketentuan dalam ayat (2) yang mengacu ke ayat (1) tidak sejalan denganketentuan dalam ayat (3), karena bila mengacu pada ayat (1) berartipembahasan RUU antara DPR dan Pemerintah, tetapi kemudiandieliminir di ayat (3) bahwa keikut sertaan DPD hanya pada rapat komisi/panitia/ alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.
Ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) menimbulkan kerancuan .
8. Pasal 39
a. ketentuan dalam ayat (3) rancu jika dibandingkan dengan ketentuandalam ayat (1), karena ayat (1) menentukan Peraturan Pemerintahditetapkan untuk melaksanakan Undang-Undang, sedangkan ayat(3) menentukan bahwa Peraturan Pemerintah dapat ditetapkanwalaupun tidak atas permintaan secara tegas dari suatu Undang-Undang;
b. ketentuan dalam ayat (2) tidak ada kepastian hukum berapa lamaharus ditetapkan batas waktu penetapan Peraturan Pemerintah danPeraturan lainnya sebagai pelaksanaan suatu Undang-Undang. Apakonsekwensinya jika dalam Undang-Undang tidak terdapatketentuan tentang penetapan batas waktu Penetapan PeraturanPemerintah atau Peraturan lainnya?
15. Pasal 44 ayat (2)
Ketentuan mengenai teknik penyusunan peraturan Perundang-undanganyang merupakan lampiran tidak terpisahkan dari ( Rancangan ) Undang-Undang ini, perlu dicermati kembali karena masih banyak yang tidakkonsisten, sehingga menyulitkan bagi pemakai.
Misalnya :
1. cara penulisan untuk hal yang sama pada pedoman Nomor5, Nomor 6, dan Nomor 7, berbeda beda , jadi mana yangmesti diikuti.
2. pada pedoman Nomor 8 dan Nomor 9 digunakan istilahyang beda padahal untuk maksud yang sama .
Pada pedoman Nomor 8 digunakan istilah " disisipkan "sedangkan pada pedoman Nomor 9 digunakan istilah "ditambahkan "
3. tidak ada suatu petunjuk kapan ketentuan pidana bolehdirumuskan secara kumulatif, alternatif, atau kumulatifalternatif ( Pedoman Nomor 95 ), sehingga akanmenyulitkan dalam penerapannya.
16. Pasal 48
Ketentuan tersebut tidak sesederhana hanya pengalihan pelaksanaantugas, tetapi akan berdampak pula pada status kepegawaian bagi merekayang selama ini bertugas menangani Pengundangan PeraturanPerundang-undangan dalam Lembaran Negara. Selain itu, juga mengenaipenyiapan sarana dan prasarananya. Permasalahan berikutnya adalahberkaitan dengan mekanisme penyiapannya. Mengingat yangmenandatangani pengesahan Undang-Undang atau penetapan PeraturanPemerintah adalah Presiden, pemilihan Sekretaris Negara yangmelakukan pengundangan sepertinya lebih beralasan. Pengalihan tugastersebut dikhawatirkan lebih memperpanjang jalur birokrasi, oleh karenaitu perlu ditinjau kembali ketentuan dalam Pasal ini.

IV. Kesimpulan
Perlu peninjauan kembali terhadap beberapa substansi ( Rancangan ) Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, agar keberadaanUndang-Undang tersebut berdaya guna dan berhasil guna.

catatan 1 *) -Mantan Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-undangan Departemen Kehakiman & HAM RI
- Staf Ahli Perundang-undangan pada Asisten I Sekretariat Jenderal DPR RI.

Tidak ada komentar: