Rabu, 28 Mei 2008

Bukan Sekadar Lembaga Pemberi Pertimbangan:

Bukan Sekadar Lembaga Pemberi Pertimbangan:
Peran Dewan Perwakilan Daerah dalam Proses Legislasi

Oleh: PAANK.SWBY.



Abstrak
Ada peribahasa yang mengatakan: tiada rotan akar pun jadi. Peribahasa ini agaknya ungkapan yang tepat untuk mengungkap peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam proses legislasi. Sebab, "rotan"yang dibutuhkan - wewenang penuh DPD dalam proses legislasi- tidak dimiliki oleh DPD. Sudah digariskan dalam konstitusi, wewenang DPD yang hanya memberikan pertimbangan dalam keseluruhan fungsi lembaga perwakilan: legislasi, pengawasan, dan anggaran (budgeter). Sementara keseluruhan pengambilan keputusan dilakukan oleh DPR. Makalah ini diawali dengan mengkritik posisi DPD yang semacam ini. Namun secara tentunya apa yang ada di depan mata harus disikapi. Peluang harus diambil dalam segala keterbatasan yang ada. Kenyataan bahwa keanggotaan DPD terdiri dari wakil-wakil yang dipilih langsung tanpa melalui partai, dapat dilihat sebagai suatu peluang. DPD harus cerdik dalam memanfaatkan sistem perwakilan ini, dengan menggunakan mekanisme yang ada sekarang. Sumber daya yang dimiliki oleh DPD, baik dalam hal dukungan dana, maupun dukungan kelembagaan juga dapat dilihat sebagai peluang. Namun untuk dapat memaksimalkan peran DPD ini, diperlukan strategi yang baik. Semua ini harus dilakukan sebagai bagian dari upaya membangun sistem bikameral yang efektif di mana yang akan datang.

I. Pendahuluan

Pijakan yang tidak kuat akan membuat sulit bagi seseorang untuk melangkah lebih jauh. Barangkali inilah yang terjadi ketika keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan proses legislasi ingin dibahas dalam satu bahasan. Agak sukar untuk menjelaskan beberapa aspek dalam fungsi legislasi DPD karena masih ada kontroversi seputar keberadaan DPD sendiri. Kontroversi DPD berkisar pada keberadaannya sebagai bagian dari lembaga perwakilan rakyat.
Susunan, kedudukan, dan wewenang DPD memang dinyatakan dengan jelas di dalam Pasal 22D Undang-Undang Dasar (UUD) dan Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 22/2003). Namun bila ditilik lebih lanjut dan dibandingkan dengan teori dan prinsip-prinsip mengenai lembaga perwakilan, seperti akan dijabarkan lebih lanjut di bawah, fungsi legislasi DPD sendiri perlu dipertanyakan. Benarkah DPD memiliki "fungsi legislasi"? Ataukah DPD sesungguhnya hanya merupakan badan penasehat lembaga legislatif?
Pertanyaan di atas perlu ditelaah terlebih dulu untuk bisa melihat bagaimana sesungguhnya DPD menjalankan perannya dalam proses legislasi.
Ada dua pandangan mengenai keberadaan DPD sebagai bagian dari parlemen bikameral. Pandangan pertama menganggap apa yang sudah ada sekarang selayaknya diterima karena sudah digariskan dalam konstitusi. Pandangan ini bisa jadi dipengaruhi oleh cara pandang yang legal formal atau oleh pandangan pragmatis mengenai apa yang harus segera dilakukan pada saat ini.Catatan 1 Pandangan yang kedua, menganggap bahwa DPD masih jauh dari harapan akan parlemen bikameral sehingga perlu ada perombakan dulu sebelum bicara ke soal yang lebih teknis.Catatan 2 Di tengah dua pandangan yang berhadapan ini, ada suatu pandangan lain, yang dapat dilihat lebih sebagai strategi dalam menyikapi keberadaan DPD yang masih kontroversi. Pandangan ini menyatakan ketidaksetujuannya dengan disain DPD yang ada di dalam UUD, namun tetap memperhitungkan kesulitan untuk melakukan perubahan konstitusi untuk kelima kalinya.Catatan 3
Tanpa berpretensi untuk menjadi terlalu melebar ke mana-mana, makalah ini mencoba untuk berdiri pada posisi di tengah. Penulis berpandangan, konsep bikameral dalam UUD perlu ditinjau terlebih dulu untuk dapat mengelaborasi lebih jauh mengenai bagaimana seharusnya peran DPD dalam proses legislasi. Karena itu, makalah singkat ini akan memeriksa tiga pertanyaan penting seputar peran DPD dalam pembentukan undang-undang. Pertama, sejauh mana DPD mempunyai fungsi legislasi dalam konteks peraturan perundang-undangan yang sekarang? Kedua, bagaimana seharusnya peran legislasi DPD yang ideal? Terakhir, bagaimana seharusnya DPD memainkan peran yang harus dimainkannya dalam konteks peraturan perundang-undangan yang sekarang?

II. Dewan Perwakilan Tanpa Fungsi Legislasi

Pembicaraan mengenai parlemen bikameral mulai muncul paling tidak sejak 1998. Semangat pembaruan ketika itu melahirkan beberapa pemikiran tentang perombakan sistem ketatanegaraan. Mulai dari penyatuan ‘atap' peradilan, pemilihan presiden langsung, sampai soal parlemen bikameral. Para pakar hukum tata negara mengemukakan pendapat dalam berbagai forum, kolom di surat kabar, maupun tulisan di jurnal ilmiah. Penelitian PSHK pada tahun 2000 menyimpulkan bahwa pandangan-pandangan mengenai parlemen bikameral yang banyak dikemukakan pada saat itu dilandaskan pada tiga alasan. Pertama, kebutuhan dalam pembenahan sistem ketatanegaraan yang berkaitan dengan supremasi MPR dan adanya anggota-anggota yang tidak dipilih dan tidak efektif (utusan golongan dan utusan daerah). Kedua, kebutuhan untuk mengakomodasikan masyarakat daerah secara struktural. Ketiga, kebutuhan Indonesia saat ini untuk menerapkan sistem checks and balances dan mendorong demokratisasi.Catatan 4
Pembicaraan mengenai DPD sudah dimulai sejak amandemen kedua pada tahun 2000. Pandangan pro dan kontra dari fraksi-fraksi pun bermunculan. Kebanyakan fraksi yang tidak sepakat menunjuk pada kekuatiran akan perpecahan bangsa karena sistem bikameralisme merujuk pada sistem yang kerap diterapkan oleh negara-negara federal. Sebagian fraksi lainnya menyoroti pentingnya ada lembaga yang berdampingan dengan DPR dalam menjalankan fungsi perwakilan rakyat.Catatan 5 Kekuatiran ini ditambah dengan kenyataan bahwa referensi mengenai penerapan dewan yang mewakili daerah di Indonesia pun hanya satu, yaitu Senat, yang ada pada saat diterapkannya Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS 1949). Acuan ini semakin menguatkan pandangan bahwa bikameral yang kuat identik dengan negara federal.
Menarik untuk dicatat, ketakutan yang berlebihan akan perpecahan bangsa masih saja muncul bahkan ketika Pasal 22D UUD yang menentukan keberadaan DPD sudah ditetapkan pada tahun 2001. Anggota Badan Pekerja MPR (periode 1999-2004) dari Utusan Golongan Sudijarto misalnya, dalam sebuah forum yang diadakan pada bulan Maret 2002 menyatakan, mengubah sistem perwakilan yang selama ini ada dari sistem unikameral menjadi bikameral berpotensi menghancurkan negara bangsa.Catatan 6 Pada saat itu, ia masih berpendapat, Pasal 22D akan gugur dalam amandemen berikutnya tahun 2002 karena Pasal 2 (1) UUD tentang Struktur MPR belum berubah.Catatan 7
Fakta bahwa sebagian besar anggota MPR yang membahas kelahiran DPD adalah anggota DPR juga berkontribusi terhadap penolakan sistem bikameral. Dapat dimaklumi, walaupun tidak serta merta dapat dibenarkan, kehadiran sebuah lembaga baru yang akan menjadi ‘pesaing' dalam hal relasi politik akan ditolak oleh lembaga yang sudah ada.
Maka, di tengah kontroversi kehadirannya sekitar tahun 2000 sampai 2002 itu, keberadaan DPD yang termuat dalam beberapa pasal dalam UUD didisain secara limitatif. Tampaknya, ada kompromi-kompromi politik yang harus diambil karena perbedaan pendapat yang begitu besar. Dikatakan dalam Pasal 22D UUD:

1. DPD dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

2. DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

3. DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Seluruh ketentuan ini lantas diperjelas dalam UU 22/2003. Tidak banyak yang kemudian bisa digali dari proses pembahasan UU 22/2003, sebab dalam pembahasan, anggota Pansus DPR berargumen bahwa mereka tidak bisa melangkahi konstitusi. Pada saat itu, PSHK dan Koalisi Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) untuk Perubahan UU Politik menyarankan, walau tentu konstitusi tidak bisa dilanggar, paling tidak dibuat berbagai prosedur yang dapat menguatkan keberadaan DPD.Catatan 8 Misalnya dalam hal teknis penyampaian masukan dari DPD dan keterbukaan dalam pembahasan masukan. Dengan begitu, harapannya, perdebatan bisa dibawa ke ruang publik sehingga kerja DPD bisa terlihat jelas dan eksistensi DPD dapat dilihat dengan jelas. Namun usul ini tidak sepenuhnya diterima. Sebuah hasil yang sepatutnya diduga, karena pembahas UU 22/2003 adalah sebuah lembaga yang eksistensinya bisa berkurang bila DPD terlalu kuat.
Dikatakan, Indonesia saat ini menerapkan bikameral lemah atau ‘weak bicameralism' atau ‘soft bicameralism'. Betulkah demikian? Yang terlupakan dalam argumen ini adalah bahwa konsep bikameral sendiri sebenarnya tidak diterapkan.Catatan 9
Kata kunci dalam parlemen bikameral adalah ‘kompetisi' antara dewan tinggi dan dewan rendah. Kompetisi ini justru yang didorong untuk memunculkan checks and balances di dalam parlemen itu sendiri. Sebab kebutuhan akan adanya dua dewan dalam satu lembaga perwakilan adalah untuk mewakili konstituensi yang berbeda sehingga terjadi proses deliberasi yang lebih baik.Catatan 10 Karena itu pula, biasanya wewenangnya dibuat sedemikian rupa sehingga ada kelebihan dan kekurangan yang didisain berbeda di antara keduanya. Dengan begitu, dapat terjadi proses yang membatasi kewenangan yang berlebihan dari suatu lembaga politik.
Soalnya, DPD tidaklah mempunyai ‘kekuatan konstitusional' untuk berkompetisi. Karena DPD sesungguhnya tidak mempunyai wewenang sampai pada tingkat pengambil keputusan, termasuk dalam proses legislasi. Seluruh ‘wewenang' DPD hanya sampai pada tingkat memberikan pertimbangan. Kalaupun ia dapat mengajukan rancangan undang-undang, kekuatannya pun tidak mutlak karena Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUD sudah jelas menyatakan bahwa kekuasaan legislasi ada pada DPR; dan setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.Catatan 11 Terlihat jelas, pengambilan keputusan mengenai legislasi hanya dilakukan oleh DPR dan presiden. DPD dapat ikut membahas, tetapi tidak untuk mengambil keputusan. Demikian pula dalam hal mengusulkan rancangan undang-undang. Tata Tertib DPR kemudian memang mengatur adanya pembahasan terhadap rancangan undang-undang usulan DPD, tetapi komisi terkait di DPR dan Badan Legislatif DPR bisa menolak rancangan tersebut dan tidak diwajibkan untuk menerimanya.Catatan 12
Begitu pula dalam konteks fungsi pengawasan, DPD hanya memberikan pertimbangan, yang selanjutnya akan ditindaklanjuti oleh DPR melalui tiga hak kelembagaan DPR, yaitu hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat (Pasal 27 UU 22/2003).
Jadi, apakah dengan begitu DPD dapat dikatakan memiliki fungsi legislasi? Dari jabaran di atas, jelas bahwa DPD hanya mempunyai wewenang memberikan pertimbangan. Fungsi legislasi, semestinya diartikan sebagai fungsi yang utuh untuk melahirkan undang-undang. Dalam konteks DPD, hal ini justru yang tidak dimilikinya.

III. Peran Ideal DPD Dalam Proses Legislasi

Seperti dikatakan di atas, kedua dewan dalam suatu parlemen bikameral biasanya mempunyai ‘kedudukan' yang setara, namun ‘wewenang' yang berbeda, sehingga dapat melahirkan mekanisme kompetisi yang sehat.Catatan 13 Rincian wewenang biasanya kemudian dijabarkan pada subjek undang-undangnya dan pelaksanaan fungsi lainnya (pengawasan dan anggaran). Rincian ini umumnya didasarkan pada basis pemilihannya dan jumlah anggotanya atau kekuatan politiknya. Misalnya, dalam parlemen Amerika Serikat, undang-undang yang berkaitan dengan pajak hanya dapat diajukan oleh House of Representatives, namun Senate memiliki wewenang untuk menyetujui perjanjian-perjanjian internasional dan menyetujui nominasi kandidat presiden .Catatan 14
Dalam penelitian yang pernah dilakukan oleh PSHK pada tahun 2000, dengan melihat kondisi sosial dan politik Indonesia pada saat itu, dirumuskan beberapa rekomendasi konkrit dalam membentuk parlemen bikameral yang efektif.Catatan 15 Studi tersebut secara mendasar merekomendasikan agar pembahasan rancangan undang-undang dilakukan oleh kedua dewan secara bergantian (navette atau shuttle system), apabila suatu RUU disetujui oleh suatu kamar, maka akan dibahas oleh kamar lainnya. Apabila tidak tercapai kesepakatan antara DPR dan DPD untuk menyetujui suatu rancangan undang-undang, maka dibentuk suatu komite gabungan dari DPR dan DPD. Berbeda dengan ‘sidang gabungan', komite gabungan hanya merupakan perwakilan dari masing-masing dewan. Komite ini bertugas mencari jalan keluar dari ketidaksetujuan di antara kedua dewan. Setelah tercapai kesepakatan, masing-masing anggota komite menawarkannya kepada kedua kamar untuk mendapatkan persetujuan.
Rancangan undang-undang yang diajukan oleh presiden harus diajukan melalui DPR. Presiden memiliki kewenangan eksklusif untuk mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pembentukan departemen dan institusi-institusi pemerintahan, hal-hal yang berkaitan dengan pegawai negeri; serta anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Dalam beberapa hal, DPR dan DPD akan bersidang bersama atau bisa disebut sebagai ‘sidang gabungan'. Dalam konteks legislasi, selain prosedur legislasi yang sudah dibahas di atas, sidang gabungan mempunyai kewenangan khusus untuk menolak veto presiden. Mekanismenya, setelah suatu rancangan undang-undang disetujui oleh DPR dan DPD, rancangan undang-undang tersebut disampaikan kepada presiden untuk disahkan. Presiden memiliki hak veto untuk menolak rancangan undang-undang tersebut. Namun sidang gabungan antara DPR dan DPD dapat menolak veto tersebut. Sementara itu, diperlukan juga mekanisme yang memungkinkan pengundangan rancangan undang-undang secara otomatis -tanpa tandatangan presiden—apabila presiden dalam batas waktu tertentu tidak menandatangani atau memveto suatu rancangan undang-undang. Dalam situasi seperti ini, rancangan undang-undang tersebut akan tetap menjadi undang-undang, namun diberi catatan bahwa undang-undang tersebut diundangkan tanpa ditandatangani oleh presiden.

IV. Memanfaatkan Ruang Gerak Yang Sempit

Gambaran di atas, tentu saja, adalah gambaran yang ideal untuk sebuah parlemen bikameral yang efektif. Namun potret senyatanya adalah sebuah DPD yang hanya merupakan pemberi masukan kepada DPR. Ada peran penting lembaga perwakilan yang perlu diingat pada titik ini. Sebuah peran yang menjadi alasan penyebab (rationale) lahirnya "lembaga perwakilan", yaitu peran untuk menjembatani berbagai kepentingan dalam masyarakat. Bila secara konstitusional peran ini sudah dipagari dengan tidak memberikan wewenang pengambilan keputusan dalam proses legislasi, pengawasan, dan anggaran, maka perlu diambil langkah-langkah strategis untuk menyiasati ruang gerak yang sempit ini. Bagian ini akan memeriksa ketentuan yang ada untuk mengidentifikasi peluang dalam memaksimalkan peran legislasi DPD.
Pasal 22D UUD pada dasarnya memberikan tiga peran kepada DPD dalam hal legislasi. Pertama, peran sebagai pengusul rancangan undang-undang dengan subjek tertentu yang berkaitan dengan daerah. Kedua, peran sebagai peserta pembahasan rancangan undang-undang dengan subjek tertentu yang berkaitan dengan daerah, tanpa ikut mengambil keputusan. Ketiga, peran sebagai pemberi pertimbangan bagi rancangan undang-undang yang berkaitan dengan topik-topik yang menjadi ‘urusan pemerintah pusat' namun berkaitan dengan daerah, yaitu APBN, pajak, pendidikan, dan agama. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) Pasal 10, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama merupakan wewenang pemerintah pusat.
Masing-masing peran ini akan dipelajari di bawah, dengan kerangka mekanisme pembahasan rancangan undang-undang di DPR yang berlaku sekarang, berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 10/2004) dan Tata Tertib DPR. Dalam mekanisme ini, ada dua tingkat pembahasan. Pembahasan tingkat pertama diadakan dalam rapat komisi, rapat Badan Legislasi (Baleg) ataupun Panitia Khusus (Pansus). Sedangkan pembahasan tingkat dua diadakan dalam Sidang Paripurna DPR untuk menyetujui rancangan undang-undang tersebut. Setelah disetujui dalam rapat paripurna, sebuah rancangan undang-undang akan dikirimkan kepada Sekretariat Negara untuk ditandatangi oleh presiden, diberi nomor, dan diundangkan.

1. Peran DPD Sebagai Pengusul Rancangan Undang-Undang
Dinyatakan dalam Pasal 42 UU 22/2003 bahwa DPD mengusulkan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, kepada DPR. Selanjutnya, dikatakan dalam pasal yang sama, DPR akan mengundang DPD untuk membahas sesuai Tata Tertib DPR, sebelum DPR membahas rancangan undang-undang dengan pemerintah.
Pasal ini seakan menegaskan bahwa fungsi legislasi sepenuhnya ada pada DPR, bukan DPD. Ketika DPD diberi wewenang untuk mengusulkan rancangan undang-undang, wewenang inipun diletakkan sebelum pembahasan bersama dengan pemerintah dimulai (lihat bagan 1). Nantinya, seakan-akan rancangan undang-undang yang diusulkan DPD sebagai suatu lembaga sama dengan rancangan undang-undang usul inisiatif DPR yang diusulkan oleh suatu alat kelengkapan DPR (Badan Legislasi, Komisi atau Gabungan Komisi) atau tujuh belas orang anggota DPR.
Tata Tertib DPR selanjutnya menegaskan, untuk mengajukan sebuah rancangan undang-undang, pimpinan DPD menyampaikan kepada ketua DPR, rancangan undang-undang beserta naskah akademisnya. Apabila tidak ada naskah akademisnya, maka cukup menyampaikan keterangan atau penjelasannya. Dalam Sidang Paripurna berikutnya setelah RUU diterima oleh DPR, ketua rapat menyampaikan kepada anggota tentang masuknya RUU dari DPD dan DPR akan menugaskan Balegatau Komisi untuk membahas RUU tersebut bersama DPD. Paling lambat lima belas hari sejak ditugaskan, Komisi atau Baleg yang telah ditunjuk mengundang alat kelengkapan DPD untuk membahas RUU tersebut.

2. Peran DPD Sebagai Peserta Pembahasan Rancangan Undang-Undang
Peran DPD sebagai ‘peserta pembahas' randangan undang-undang dinyatakan dalam Pasal 43 UU No. 22/2003. Apabila ada rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, DPR akan berinisiatif untuk mengundang DPD pada awal Pembicaraan Tingkat I sesuai Peraturan Tata Tertib DPR. Pandangan, pendapat, dan tanggapan DPD dijadikan masukan untuk pembahasan lebih lanjut antara DPR dan pemerintah.
Sama halnya dengan perannya untuk mengusulkan rancangan undang-undang, untuk perannya yang satu ini, DPD juga tidak mempunyai peran yang penting. Pandangan dari DPD yang didapatkan oleh DPR selama pembahasan, di atas kertas, sifatnya akan sama dengan pandangan yang didapatkan dari fraksi-fraksi di dalam DPR.

3. Peran DPD Sebagai Pemberi Pertimbangan Atas Rancangan Undang-Undang
Dalam hal memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang, Pasal 44 UU 22/2003 telah mengatur bahwa DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama, dalam bentuk tertulis. Pertimbangan tertulis diberikan sebelum memasuki tahapan pembahasan antara DPR dan pemerintah dan akan menjadi bahan bagi DPR dalam melakukan pembahasan dengan pemerintah.

4. Peran DPD dalam Perencanaan Legislasi
Berdasarkan UU 10/2004, ada satu tahap penting dalam proses legislasi, yaitu proses perencanaan, yang dibuat dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas, Pasal 15 ayat (1) UU 10/2004). Namun sekali lagi DPR ‘luput' memperhitungkan keberadaan DPD dalam proses perencanaan legislasi.
Dikatakan dalam Pasal 16 ayat (1) UU 10/2004 bahwa penyusunan Prolegnas dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi, dalam hal ini Badan Legislasi. Sementara itu, dalam Pasal 17 ayat (1) UU 10 Tahun 2004 dinyatakan bahwa rancangan undang-undang, baik yang berasal dari DPR, presiden, maupun DPD disusun berdasarkan Prolegnas. Pasal ini merupakan ketentuan mengenai tahap pembentukan undang-undang. Sedangkan dalam tahap perencanaan yang diatur dalam Pasal 15 dan 16, keterlibatan DPD tidak diatur. Pasal 17 ayat (3) UU 10/2004 selanjutnya menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu, DPR atau presiden dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas. Namun peluang penambahan pengusulan RUU ini tidak diberikan kepada DPD.Catatan 16
Padahal wewenang DPD untuk mengajukan rancangan undang-undang (yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah) jelas diakui dalam Pasal 22D ayat (1) UUD dan Pasal 42 ayat (1) UU 22/2003. Apabila DPD tidak dilibatkan dari awal, maka akan sulit untuk memasukkan rencana yang dibuat DPD mengenai rancangan undang-undang yang mungkin diusulkannya. Biasanya dalam praktek hanya diperbolehkan penambahan 10%-15% topik baru dari jumlah daftar RUU dalam Prolegnas.Catatan 17 Alhasil, bisa jadi usulan-usulan RUU dari DPD akan sulit untuk diterima karena tidak sesuai dengan Prolegnas.
Meski konstruksi UU 10/2004 dalam hal Prolegnas ini nyata mengabaikan keberadaan DPD, Baleg DPR sebagai lembaga yang diserahi tanggung jawab untuk menyusun Prolegnas dalam proses penyusunan Prolegnas pada November 2004 sampai Februari 2005 lalu tetap mengundang DPD untuk memberikan masukan. Pada akhirnya, sebagian masukan DPD diterima, namun Prolegnas yang dihasilkan Baleg itu masih mendapatkan kritik keras dari DPD karena dianggap tidak mengikutsertakan DPD.Catatan 18 Dalam masukannya yang diberikan secara resmi kepada Baleg DPR, DPD juga pernah menegaskan posisinya untuk diikutsertakan dalam perencanaan legislasi. Dikatakan:
"Oleh karena itu, inisiatif dari Badan Legislasi DPR untuk mengundang DPD merupakan hal yang baik dan patut dihargai. Namun DPD juga sangat mendorong agar UU No. 10 Tahun 2004 ini segera diubah agar memasukkan DPD dalam proses perencanaan serta membuka kemungkinan penambahan RUU dalam masa persiapan pembentukan undang-undang, agar sesuai dengan ketentuan dalam UUD."Catatan 19

Bagan 1. Proses Pembentukan UU: RUU Usul DPD
(Sumber: Erni Setyowati dkk, Panduan Pemantauan Proses Legislasi (Jakarta: PSHK, 2005))

5. Peluang dan Strategi
Kelemahan yang diuraikan di atas, secara legal formal, memang tidak dapat ditolak karena konstruksinya sudah ditentukan dalam konstitusi. Namun aspek hukum yang menutup peluang penguatan peran legislasi DPD tidak serta merta menutup rapat penguatan secara politik peran DPD dalam proses legislasi. Masih ada celah-celah prosedural untuk menguatkan DPD secara politik, yang nantinya mesti digabungkan dengan berbagai strategi penguatan kelembagaan DPD dan upaya pembentukan bikameral yang lebih efektif.
Dalam konteks tersebut, paling tidak ada dua peluang yang bisa dimanfaatkan. Pertama, keberadaan naskah akademik dalam pengusulan rancangan undang-undang oleh DPD. Naskah akademik memang tidak diwajibkan dalam UU 10/2004. Namun sebagaimana disinggung di atas, Tata Tertib DPR mensyaratkan adanya naskah akademik atau penjelasan untuk disertai dengan rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPD kepada DPR. Naskah akademik ini dapat dilihat manfaatnya dari dua aspek.
Dari aspek proses, pembuatan naskah akademik dapat digunakan untuk lebih banyak mendapatkan pandangan masyarakat, dengan memaksimalkan peran DPD sebagai lembaga perwakilan yang mempunyai basis konstituensi yang ‘lebih jelas' dalam hal wilayah, yaitu wilayah provinsi. Hal ini juga sejalan dengan Pasal 53 UU 10/2004 yang menyatakan hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang. Apabila DPD memaksimalkan unsur partisipasi publik dalam penyusunan naskah akademik dan rancangan undang-undang, DPD dapat dilihat sebagai lembaga yang mampu menjadi fasilitator bagi partisipasi masyarakat, yang selama ini didambakan.
Anggota DPD dapat menggunakan kesempatan kunjungan kerja untuk menggali masukan ini. Bukan hanya melalui seminar atau diskusi publik. Melainkan dengan memperbanyak dialog dan kunjungan langsung kepada pemangku kepentingan (stakeholders) rancangan undang-undang dimaksud. Untuk itu semua, dibutuhkan prosedur standar penyusunan naskah akademik oleh DPD. Sebagai gambaran, untuk dapat memaksimalkan naskah akademik ini, sejak awal perlu ada analisis pemangku kepentingan: apa masalah sosial yang dituju oleh rancangan undang-undang dimaksud dan siapa saja yang terkait dengan masalah tersebut. Yang dimaksud dengan pemangku kepentingan di sini tidak hanya aparat birokrasi dan universitas. Yang lebih penting lagi adalah kelompok masyarakat yang akan terkena dampak dari implementasi undang-undang itu nantinya. Lantas masukan dan kritik yang didapat pun harus diolah dengan baik, termasuk memberikan respon yang disertai argumentasi apabila masukan dan kritik yang diberikan dianggap tidak relevan atau tidak perlu dimasukkan dalam rancangan undang-undang tersebut.
Dari aspek substansi, adanya naskah akademik akan sangat membantu DPD dalam memperjuangkan substansi yang dianggap pokok dan perlu masuk dalam rancangan undang-undang. Naskah akademik juga akan membantu dalam hal pembuatan DIM sebagai alat pembahas dengan DPR. Memang hasilnya nanti akan banyak tergantung pada keputusan yang diambil DPR dan pemerintah sesuai Pasal 20 UUD. Meski begitu, paling tidak DPD akan dapat mempergunakan metode-metode hubungan masyarakat (humas atau public relation) untuk terus mengkomunikasikan diskusi yang terjadi selama pembahasan dengan DPR. Perlu ada transparansi yang baik serta kemampuan humas yang baik. Dengan demikian, perdebatan juga dibawa ke ruang publik. Masyarakat kemudian dapat menilai sendiri seberapa maksimal DPD telah memperjuangkan kepentingan masyarakat dan seberapa responsif DPR terhadap masukan yang diberikan oleh DPD. Dengan asumsi, DPD telah mendapat simpati masyarakat karena proses penyusunan naskah akademik dan rancangan undang-undang yang partisipatif.
Peluang kedua, terkait pula dengan yang pertama, DPD sebagai lembaga baru perlu memaksimalkan pengembangan kapasitas kelembagaannya. Pemanfaatan momen penyusunan naskah akademik niscaya tidak akan dapat optimal jika tidak ada prosedur dan dukungan kelembaan yang memadai. DPD sebagai lembaga yang baru di Senayan menjadi suatu peluang tersendiri. Banyak perhatian, tenaga, pemikiran, dan sumber daya, yang mungkin dimobilisasi untuk membangun kapasitas DPD. Bahkan, kelemahan organisasi dan manajamen di DPR, bila memang dapat diidentifikasi, akan menjadi masukan yang baik bagi pembentukan kapasitas kelembagaan DPD.
Hal penting yang perlu dilihat pertama kali adalah perlunya institusi pendukung berupa perancang profesional serta tim peneliti. Idealnya, DPD nantinya tidak lagi akan membahas secara rinci kata-kata, titik-koma, pasal per pasal, untuk setiap rancangan undang-undang. Perlu ada sekelompok tenaga perancang dan tim peneliti yang diorganisasikan secara profesional di bawah DPD. Sebagai perbandingan, dengan mempelajari kelemahannya, adalah staf perancang yang ada di bawah Asisten I Sekretaris Jenderal DPR dan Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi (P3I) DPR. Memang ada beberapa kritik terhadap keberadaan staf perancang dan P3I yang belum dimanfaatkan secara maksimal oleh anggota DPR.Catatan 20 Untuk itu, DPD nantinya tidak hanya perlu membuat organisasinya, tetapi juga membuat prosedur yang efektif agar asistensi dari staf perancang ini dapat maksimal. Staf inilah yang nantinya harus dapat membantu anggota DPD dalam melakukan analisis pemangku kepentingan, pemetaan masalah sosial yang akan diatur dalam suatu rancangan undang-undang, sampai dengan menggali, mengolah, dan merespon masukan yang didapat dari masyarakat dalam berbagai dialog yang dilakukan oleh anggota DPD.
Yang sama pentingnya adalah pembuatan mekanisme pembahasan yang jelas dan transparan. Walaupun peraturan perundang-undangan tidak menentukan jangka waktu untuk membahas suatu rancangan undang-undang, akan baik bila DPD membuat ukuran-ukuran yang jelas dalam pembahasan rancangan undang-undang. Sebagai sebuah proses politik, tentunya pembahasan rancangan undang-undang tidak akan dapat dibatasi secara ketat dari segi waktu. Namun patokan lama pembahasan yang jelas akan membuat akuntabilitas DPD lebih baik. Tentu saja perpanjangan waktu pembahasan sangat dimungkinkan demi menghasilkan substansi rancangan undang-undang yang lebih baik. Akan tetapi untuk dapat mempertanggungjawabkan perlu ada penjelasan kepada publik mengenai alasannya, sebagai bentuk pertanggungjawaban DPD yang dalam operasional menggunakan uang publik pembayar pajak.
Secara umum, prosedur yang jelas dan terukur untuk membahas suatu rancangan undang-undang termasuk naskah akademiknya untuk diusulkan kepada DPR, prosedur pembahasan dengan DPR, serta prosedur dalam memberikan pertimbangan kepada DPR, sangat diperlukan bagi DPD. Suatu preseden yang baik yang telah dilakukan oleh DPD adalah pembuatan mekanisme yang rinci dan terukur mengenai pedoman pengawasan pelaksanaan undang-undang tertentu. Wewenang DPD dalam Pasal 46 UU 22/2003 ini diturunkan menjadi Keputusan DPD No.2/DPD/2005 tentang Pedoman Pengawasan DPD RI Atas Pelaksanaan Undang-Undang Tertentu. Di dalam keputusan ini dimuat: ruang lingkup, objek, dan macam pengawasan, asas dan kerangka peraturan perundang-undangan, mekanisme pengawasan, tindak lanjut hasil pengawasan, norma pengawasan, serta laporan.
Model sistematisasi wewenang pengawasan ini dapat digunakan untuk membuat prosedur standar dalam (i) pengusulan rancangan undang-undang tertentu; (ii) pembahasan rancangan-undang-undang tertentu; dan (iii) pemberian pertimbangan untuk rancangan undang-undang tertentu. Beberapa hal penting yang perlu dimuat dalam standar prosedur, yang mungkin saja dibuat dalam bentuk Keputusan DPD sebagaimana untuk mekanisme pengawasan ini, adalah:

1. Prosedur internal penyetujuan suatu masalah sosial yang akan dibuat menjadi usulan rancangan undang-undang. Hal ini merupakan aspek kelembagaan yang penting mengingat keberagaman anggota DPD sendiri. Yang perlu diingat adalah pentingnya menyepakati bukan hanya judul rancangan undang-undang, tetapi juga topik dan tujuan pengaturannya. Perhatian hanya pada judul seringkali mengecoh pembahasan substansi.

2. Pembentukan tim yang membahas dan menyusun naskah akademik dan rancangan undang-undang, yang terdiri dari staf sekretariat DPD (perancang dan peneliti), serta sekelompok anggota DPD sendiri yang akan mengawasi kerja tim penyusun. Tim penyusun ini bertugas melakukan riset, upaya menggali masukan masyarakat, serta menyusun hasil riset dan masukan menjadi naskah akademis dan rancangan undang-undang.

3. Prosedur internal untuk mengawasi kerja tim penyusun agar sesuai dengan tujuan yang disepakati bersama.

4. Mekanisme standar penyusunan naskah akademis dan rancangan undang-undang yang terdiri dari:

a. Identifikasi pemangku kepentingan rancangan undang-undang dimaksud, baik di tingkat daerah maupun pusat.

b. Pengundangan para pemangku kepentingan tersebut untuk memberikan masukan tertulis dalam jangka waktu yang cukup untuk membuat masukan yang berkualitas, misalnya dalam waktu satu bulan. Sebab, waktu yang terlalu singkat juga tidak akan efektif untuk mendapatkan masukan yang substansial.

c. Pengundangan para pemangku kepentingan untuk berdiskusi secara langsung dengan tim penyusun dengan jadwal yang jelas dan terbuka.

d. Penyebarluasan gagasan pokok rancangan undang-undang dimaksud kepada seluruh anggota DPD untuk mendapatkan masukan ketika melakukan kunjungan kerja. Bila mungkin, tim penyusun juga membuatkan bahan simulasi atau pertanyaan kunci yang akan memudahkan anggota DPD mengkomunikasikan gagasannya kepada masyarakat luas dan mendapatkan masukan yang substansial. Pembahasan juga sebaiknya dilakukan dalam bentuk diskusi-diskusi kecil yang terarah dengan fasilitator diskusi yang mengacu pada keluaran (output) yang direncanakan, bukan sekadar agenda acara. Pendekatan semacam ini akan lebih efektif daripada mengadakan seminar biasa dengan satu-dua orang pembicara dan curah pendapat dari para peserta dalam waktu yang singkat.

e. Tim penyusun mengkoleksi dan memilah masukan dari masyarakat yang didapat dari para pemangku kepentingan. Untuk bahan-bahan yang dianggap tidak relevan atau tidak dapat dimasukkan dalam rancangan undang-undang dimaksud, dibuatkan surat jawaban disertai alasan penolakannya.

5. Keterbukaan mekanisme pembahasan (atau pemberian pertimbangan) kepada DPR, yang mencakup:

a. Akses masyarakat terhadap naskah pengusulan, pembahasan, atau pertimbangan tertulis DPD kepada DPR. Naskah-naskah ini dapat ditampilkan dalam situs internet DPD maupun media lainnya yang tersedia, termasuk pada kantor-kantor konstituensi anggota DPD di provinsi-provinsi.

b. Informasi DPD kepada publik, melalui konferensi pers atau diskusi, mengenai kemajuan pembahasan dimaksud. Termasuk dalam upaya ini adalah penyebarluasan kemajuan tersebut melalui kunjungan kerja anggota.

6. Pemberian Laporan akhir kepada publik, yang isinya proses pembahasan dengan DPR, termasuk sejauh mana DPR dan pemerintah merespon pemikiran yang disampaikan DPD. Pemberian laporan akhir ini dilakukan secara tertulis dan dapat disebarluaskan melalui situs internet, konferensi pers, serta dalam dialog-dialog ataupun diskusi yang dilaksanakan selama kunjungan kerja.

Tentunya masih banyak langkah lainnya yang dapat digali untuk menguatkan institusi dan prosedur internal DPD ini. Yang terpenting, kata kunci yang mestinya dijadikan acuan dalam mengembangkan dua hal ini adalah ‘menguatkan legitimasi DPD sebagai lembaga perwakilan'. Kata kunci ini lantas perlu diturunkan ke prinsip-prinsip partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas politik. Harapannya, dengan adanya penguatan-penguatan ini, keberadaan DPD akan semakin didukung oleh masyarakat dan pada gilirannya bisa menguatkan dukungan untuk pembentukan bikameral yang efektif.

V. Penutup
Tulisan singkat ini beranjak dari mempersoalkan kembali keberadaan DPD sebagai bagian dari parlemen bikameral. Hal ini perlu dilakukan karena ternyata sulit untuk memulai argumen mengenai peran ideal DPD dalam proses legislasi karena DPD memang jauh dari ideal lembaga perwakilan. Tulisan ini berasumsi bahwa DPD sesungguhnya bukan bagian dari parlemen bikameral. Malah sebenarnya UUD hasil amandemen belum menerapkan bikameral, karena DPD tidak mempunyai fungsi-fungsi lembaga perwakilan.
Sudah digariskan dalam konstitusi, wewenang DPD yang hanya memberikan pertimbangan dalam keseluruhan fungsi lembaga perwakilan: legislasi, pengawasan, dan anggaran (budgeter). Sedangkan keseluruhan pengambilan keputusan dilakukan oleh DPR.
Namun bagaimanapun, DPD perlu lebih cerdik dalam memanfaatkan peluang-peluang dalam keterbatasan ini. Kenyataan bahwa keanggotaan DPD terdiri dari wakil-wakil yang dipilih langsung tanpa melalui partai, dapat dilihat sebagai suatu peluang. Juga dapat dilihat sebagai peluang, sumber daya yang dimiliki oleh DPD, baik dalam hal dukungan dana, maupun dukungan kelembagaan. Namun untuk itu semua, diperlukan strategi yang matang serta kelihaian dalam menggunakan jalur-jalur komunikasi dengan publik dalam menunjukkan kinerjanya. Semua ini harus dilakukan sebagai bagian dari upaya membangun sistem bikameral yang efektif di masa yang akan datang, dengan dua dewan yang memiliki kekuatan setara sehingga dapat berkompetisi dan menghasilkan sistem checks and balances.


DAFTAR PUSTAKA:
Arinanto, Satya. Agar DPD Tak Sekadar ‘Staf Ahli DPR'. Kompas, 6 Oktober 2004.
Asosiasi Ilmu Politik Indonesia dan PAH I Badan Pekerja MPR-RI. Usul Perubahan UUD 45 Di Bidang Politik. Hasil seminar yang diselenggarakan oleh Asosiasi Ilmu Politik Indonesia bekerja sama dengan PAH I BP MPR, Jakarta, April 2000.
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. Usulan DPD kepada Badan Legislasi DPR untuk Program Legislasi Nasional. Tanpa tanggal, 2004.
Feulner, Frank. Menguatkan Demokrasi Perwakilan di Indonesia. Jurnal Hukum Jentera. Edisi 8 Tahun III, Maret 2005: 23-40.
Katharina, Riris. Mekanisme Kerja DPD dan DPR Dalam Bidang Legislasi. <http://www.parlemen.net/site/ldetails.php?guid=bad33b05e44bd8bf51b0463f7cff9245&docid=tpakar>, dikutip 8 Agustus 2005.
Lijphart, Arend, ed., Parliamentary versus Presidential Government. New York: Oxford University Press, 1998.
PSHK dan Koalisi Ornop untuk Perubahan UU Politik (disusun oleh Bivitri Susanti, Erni Setyowati, Reny Rawasita dan Ronald Rofiandri). Kritik dan Rancangan Alternatif RUU Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Bahan Advokasi RUU Susduk, 2003.

PSHK. Masukan PSHK Untuk Badan Legislasi DPR Dalam Penyusunan Program Legislasi Nasional. Masukan yang disampaikan kepada Badan Legislasi DPR pada 11 November 2004.

Sartori, Giovanni. Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives, and Outcomes, 2nd ed. New York: New York University Press, 1997.
Setyowati, Erni, dkk. Panduan Pemantauan Proses Legislasi. Jakarta: PSHK, 2005.
Sherlock, Stephen. Struggling to Change: The Indonesian Parliament in an Era of Reformasi, A report on the structure and operation of the Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Canberra: Center for Democratic Institutions, 2003.
Susanti, Bivitri. Lembaga Perwakilan Rakyat Trikameral, Supremasi DPR dan Sempitnya Ruang Demokrasi Perwakilan: Isi dan Implikasi UU Susduk dan Cermin Carut Marutnya Konstitusi. Jurnal Ilmu Pemerintahan Edisi 20 (2003).
Susanti, Bivitri dkk. Catatan Kinerja Legislasi DPR 1999-2004. Catatan PSHK mengenai Kinerja Legislasi DPR, dipresentasikan pada tanggal 30 September 2003 di S. Widjojo Centre, Jakarta.

________. Menggugat Prioritas Legislasi DPR: Catatan PSHK untuk Masa Sidang DPR 2003-2004. Laporan Penelitian yang disampaikan dalam Diskusi "Menggugat Prioritas Legislasi DPR,"Hotel Indonesia, Jakarta, 2 September 2003.

________. Semua Harus Terwakili: Studi Mengenai Reposisi MPR, DPR, dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia. Jakarta: PSHK, 2000.

The Habibie Center. Sumbang Saran dari Simposium UUD '45 Pasca Amandemen Tentang Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.Jakarta: The Habibie Center, 2004.
United States Department of State. Outline of U.S. Government. Office of International Information Programs, United States Department of State, 2000.

Kliping Berita Koran:
DPD Pertanyakan Status Hukum Prolegnas. Suara Pembaruan, 2 Februari 2005.
DPD Tak Akui Prolegnas DPR, Kompas, 3 Februari 2005.
Presiden Hanya Pidato di DPR. Kompas, 20 Juli 2005
Sistem Bikameral Berpotensi Hancurkan Bangsa. Kompas, 4 Maret 2002.
Zainal M'arif Pesimis Presiden Akan Hadir. Gatra, 19 Juli 2005.


Bivitri Susanti adalah peneliti senior pada PSHK (Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia) yang tengah menjabat sebagai Direktur Eksekutif PSHK sejak Desember 2002. Ia meraih gelar LLM in Law in Development with distinction dari University of Warwick, Inggris dan Sarjana Hukum dari Universitas Indonesia. Bivitri Susanti banyak menulis di berbagai jurnal dan surat kabar serta mempresentasikan berbagai kajian dalam bidang proses legislasi, hukum tata negara, peradilan, dan anti-korupsi.



Catatan 1Pandangan seperti ini utamanya terlihat dari komentar-komentar dari para politisi di DPR maupun dari pemerintah, terutama ketika mengomentari beberapa kontroversi upaya DPD dalam mengukuhkan eksistensinya. Tidak bisa dipungkiri, pandangan ini dikarenakan kepentingan pelaksanaan wewenang mereka pula, namun sebagai suatu cara pikir, hal ini tetap perlu dicatat. Lihat misalnya komentar Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra dalam "Presiden Hanya Pidato di DPR,"Kompas, 20 Juli 2005; komentar Wakil Ketua DPR Zainal Ma'arif dalam "Zainal Ma'arif Pesimis Presiden Akan Hadir,"Gatra, 19 Juli 2005.
Catatan 2Lihat antara lain Satya Arinanto, "Agar DPD Tak Sekadar ‘Staf Ahli DPR',"Kompas, 6 Oktober 2004, Riris Katharina, "Mekanisme Kerja DPD dan DPR Dalam Bidang Legislasi,"<>, dikutip tanggal 8 Agustus 2005, The Habibie Center, Sumbang Saran dari Simposium UUD '45 Pasca Amandemen Tentang Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: The Habibie Center, 2004).
Catatan 3Pandangan ini banyak dikemukakan di seminar-seminar, misalnya dalam Seminar tentang "Siasat Mengoptimalkan Peran Dewan Perwakilan Daerah", yang diselenggarakan oleh CSIS dan Formappi, di CSIS Jakarta, 27 Mei 20; Diskusi "Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia", Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 9 Mei 2005; Seri Focused Group Discussions yang diadakan oleh RiDEP di hotel Santika, Jakarta, pada 8 Juni dan 28 Juni 2005.
Catatan 4Ibid., hlm. 35-36. Lihat juga antara lain Asosiasi Ilmu Politik Indonesia dan PAH I BP MPR RI, "Usul Perubahan UUD 45 Di Bidang Politik,"berdasarkan hasil seminar yang diselenggarakan oleh Asosiasi Ilmu Politik Indonesia bekerja sama dengan PAH I BP MPR, Jakarta, April 2000, serta notulensi-notulensi rapat PAH I BP MPR dan MPR.
Catatan 5Lihat Pandangan Umum Fraksi-Fraksi yang disampaikan dalam Sidang Paripurna MPR tanggal 10 Agustus 2000.
Catatan 6"Sistem Bikameral Berpotensi Hancurkan Bangsa,"Kompas, 4 Maret 2002.
Catatan 7Ibid.
Catatan 8PSHK dan Koalisi Ornop untuk Perubahan UU Politik (disusun oleh Bivitri Susanti, Erni Setyowati, Reny Rawasita dan Ronald Rofiandri). Kritik dan Rancangan Alternatif RUU Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Bahan Advokasi RUU Susduk, 2003.
Catatan 9Lihat juga Bivitri Susanti, "Lembaga Perwakilan Rakyat Trikameral, Supremasi DPR dan Sempitnya Ruang Demokrasi Perwakilan: Isi dan Implikasi UU Susduk dan Cermin Carut Marutnya Konstitusi,"Jurnal Ilmu Pemerintahan Edisi 20 (2003).
Catatan 10Dalam berbagai ulasan mengenai praktek demokrasi modern, dikatakan bahwa ada dua model parlemen bikameral yang berkembang dalam praktek ketatanegaraan di dunia. Pertama, model Westminster (Inggris), di mana lower house (house of commons) muncul sebagai evolusi untuk menyeimbangkan kedudukan parlemen di sana, yang pada awalnya hanya terdiri dari para bangsawan (house of lords). Semangat untuk memperkuat demokrasi perwakilan bagi semua rakyat menumbuhkan model ini. Kedua, model bikameral Amerika Serikat di mana kamar kedua muncul sebagai kompromi politik dalam pembentukan negara federal. Negara-negara bagian yang kecil menginginkan representasi yang lebih kuat dengan adanya kamar pertama yang mewakili wilayah dengan jumlah anggota yang sama untuk tiap negara bagian, tanpa memperhitungkan luas wilayah dan jumlah penduduknya. Mengenai kedua model ini dan sejarahnya, lihat antara lain: Giovanni Sartori, Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives, and Outcomes, 2nd ed. (New York: New York University Press, 1997); Arend Lijphart, ed., Parliamentary versus Presidential Government (New York: Oxford University Press, 1998).
Catatan 11Perlu diingat, perubahan Pasal 20 tersebut dilakukan sebelum perubahan Pasal 22D, yaitu pada tahun 1999.
Catatan 12Peraturan tata tertib DPR tidak secara eksplisit menyatakan bahwa RUU yang diusulkan harus dibahas dan disetujui. Lihat, Pasal 132 ayat (5) Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Catatan 13Lihat juga Frank Feulner, "Menguatkan Demokrasi Perwakilan di Indonesia,"Jurnal Hukum Jentera Edisi 8 Tahun III, Maret 2005: 23-40. Dalam artikel tersebut, wewenang yang berbeda itu dikategorikan sebagai ‘simetris' dan ‘asimetris'.
Catatan 14Outline of U.S. Government, (Office of International Information Programs, United States Department of State, 2000), hlm. 72.
Catatan 15Bivitri Susanti, dkk, Semua Harus Terwakili: Studi Mengenai Reposisi MPR, DPR, dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia (Jakarta: PSHK, 2000).
Catatan 16Lihat juga PSHK, "Masukan PSHK Untuk Badan Legislasi DPR Dalam Penyusunan Program Legislasi Nasional,"11 November 2004.
Catatan 17Bivitri Susanti dkk, "Menggugat Prioritas Legislasi DPR: Catatan PSHK untuk Masa Sidang DPR 2003-2004,"Laporan Penelitian yang disampaikan dalam Diskusi "Menggugat Prioritas Legislasi DPR,"Hotel Indonesia, Jakarta, 2 September 2003.
Catatan 18"DPD Pertanyakan Status Hukum Prolegnas,"Suara Pembaruan, 2 Februari 2005; "DPD Tak Akui Prolegnas DPR, Kompas, 3 Februari 2005.
Catatan 19Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, "Usulan DPD kepada Badan Legislasi DPR untuk Program Legislasi Nasional,"tanpa tanggal, 2004.
Catatan 20Stephen Sherlock, Struggling to Change: The Indonesian Parliament in an Era of Reformasi, A report on the structure and operation of the Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), (Canberra: Center for Democratic Institutions, 2003), hlm. 24-25. Lihat juga: Bivitri Susanti, dkk, "Catatan Kinerja Legislasi DPR 1999-2004,"Catatan PSHK mengenai Kinerja Legislasi DPR, dipresentasikan pada tanggal 30 September 2003 di S. Widjojo Centre, Jakarta.

ke atas

Tidak ada komentar: