Rabu, 28 Mei 2008

Judicial Review

Judicial Review
di
Mahkamah Konstitusi


PAANK SWBY.


PENDAHULUAN
Judicial review dalam sistem hukum common law acapkali dipahami sebagai upaya pengujian peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh badan peradilan, walaupun dalam konteks cakupan kewenangan yang lebih luas, karena kadangkala menguji pula produk administrasi (administrative Acts).
Pada umumnya, judicial review merupakan nomenklatur yang berpaut dengan kegiatan judisiil ‘in which a superior court had power to determine questions of constitutional validity of enactment of the legislature’ (Khaterine Lindsay, 2003 : 15).
Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar ditetapkan dalam Pasal 24 C UUD NRI Tahun 1945 (Perubahan ketiga) sebagai salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi RI adalah constitutional court yang ke-78 di dunia, dibentuk berdasarkan Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945 juncto Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945, di kala Perubahan Ketiga UUD NRI Tahun 1945, diputuskan dalam Rapat Paripurna MPR RI ke-7 ( lanjutan 2), tanggal 9 November 2001, Sidang Tahunan MPR-RI.
Sesungguhnya, dalam rapat besar BPUPKI yang berlangsung pada tanggal 15 Juli 1945 (kurang lebih 59 tahun yang lalu), telah muncul usulan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Anggota Moh. Yamin menghendaki agar Mahkamah Agung (‘Balai Agung’) menjadi pula badan yang membanding, yakni ‘. apakah undang-undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat tidak melanggar Undang-Undang Dasar Republik atau bertentangan dengan hukum adat yang diakui, ataukah tidak bertentangan dengan syariah agama Islam’. Anggota Soepomo tidak menyetujui gagasan Moh. Yamin. Dikatakan, pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar hanya dikenal dalam suatu sistem pemerintahan yang mengenal pemisahan kekuasaan secara tegas (maksudnya guna check and balances antara tiga kekuasaan itu). ‘Menurut pendapat saya, tuan Ketua, dalam rancangan Undang-Undang Dasar ini, kita memang tidak memakai sistem yang membedakan prinsipil antara 3 badan itu, artinya tidak, bahwa kekuasaan kehakiman akan mengontrol kekuasaan membentuk undang-undang (RM. AB. Kusuma, 2004 : 299)’.
Dalam pada itu, menurut Soepomo, para ahli hukum Indonesia juga sama sekali tidak mempunyai pengalaman untuk tugas sedemikian. Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar bukan wewenang Mahkamah Agung, tetapi wewenang badan peradilan khusus (‘pengadilan spesial’) yang namanya Constitutioneel – hof, semacam di Austria, Cekoslowakia dan Jerman di zaman Weimar. ‘Kita harus mengetahui tenaga kita belum begitu banyak, kita harus menambah tenaga-tenaga, ahli-ahli tentang hal itu. Jadi buat negara yang muda dan untuk mengerjakan itu, saya kira belum waktunya’ kata Soepomo lebih jauh. Tatkala Ketua Radjiman menanyakan peserta, siapa yang menyetujui usul Yamin, Yamin sendiri meminta agar hal dimaksud ditunda saja.
Suardi Tasrif menyayangkan bahwa perbedaan pendapat kedua pembicara tersebut berakhir secara inkonklusif (1971 : 197). ‘Neither fish, nor fowl (bukan ikan, bukan daging)’, kata Tasrif.

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final guna -antara lain- menguji undang-undang terhadap UUD. Putusan final Mahkamah, sebagaimana dimaksud Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 tidak membuka peluang bagi upaya hukum banding, kasasi ataupun upaya hukum lainnya.
Berbeda halnya dengan hak uji (toetsingsrecht) undang-undang yang dimiliki Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung diberi kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, sebagaimana dimaksud Pasal 24 A UUD NRI Tahun 1945. Kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung merupakan bagian dari fungsi peradilan (justitieele functie) mahkamah dalam pemeriksaan tingkat kasasi namun pengujian peraturan perundang-undangan sedemikian dapat pula dimohonkan langsung kepada Mahkamah Agung (vide pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Pengujian undang-undang yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji secara konstitusionalitas suatu undang-undang, menguji sejauh mana undang-undang yang bersangkutan bersesuai atau bertentangan (tegengesteld) dengan UUD. Constitutie is de hoogste wet! Manakala Mahkamah Konstitusi memandang suatu undang-undang bertentangan dengan UUD maka undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Menurut Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, terdapat 2 (dua) macam pengujian undang-undang, yakni :
- Pengujian undang-undang secara formal (formele toetsing), yakni pengujian terhadap suatu undang-undang dilakukan karena proses pembentukan undang-undang tersebut dianggap pemohon tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar.
- Pengujian undang-undang secara materiil (materieele toetsing), yakni pengujian terhadap suatu undang-undang dilakukan karena terdapat materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap pemohon bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
Dalam hal suatu pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD maka undang-undang tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Apabila suatu materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang dinyatakan mahkamah bertentangan dengan UUD maka materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat ( Pasal 57 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003).
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan. Undang-undang yang diuji tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD (Pasal 57 ayat 3 dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003).
Mahkamah Konstitusi tidak membatalkan keberlakuan suatu undang-undang tetapi menyatakan bahwasanya suatu undang-undang, atau materi ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat (not legally binding). Mahkamah tidaklah dapat mengubah rumusan redaksi ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang.

LEGAL STANDING
Legal standing (lazim dialihbahasakan : kedudukan hukum) mendasari pembenaran subyektum pencari keadilan mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke hadapan Mahkamah Konstitusi. Pemohon harus dapat mendalilkan legal standing yang mendasari pengajuan permohonan pengujiannya itu. Legal standing adalah entitle atau hak yang membenarkan subyektum mengajukan permohonan pengujian undang-undang.
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 menentukan bahwasanya pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu :
a. perorangan warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang perorang yang mempunyai kepentingan sama;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat, atau;
d. Lembaga negara.
Penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945.
Hanya subyektum (‘pihak’) yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yang dapat dipandang memiliki legal standing guna pengajuan permohonan pengujian undang-undang ke hadapan mahkamah. Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dianggap merugikan itu. (Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003).
Di sini berlaku adagium hukum : point d’etre point d’action, artinya tanpa kepentingan maka tidak ada gugatan (tindakan). Apabila subyektum tidak ternyata dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya maka yang bersangkutan dipandang tidak memiliki kepentingan guna mengajukan permohonan pengujian undang-undang. Zonder belang, het is geen rechsingang.
Putusan Mahkamah Konstitusi RI nomor 011-017/PUU-I/2003 tanggal 24 Februari 2004 dalam pertimbangan hukumnya, memandang Para Pemohon I, Prof. Dr. Deliar Noer dan kawan-kawan tidak memiliki legal standing guna pengujian Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD yang mengatur hal larangan menjadi anggota DPR, DPD dan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota bagi mereka yang ‘bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau orang yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam G 30 S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya’, karena mahkamah memandang tidak terbukti adanya keterkaitan sebab akibat (causal verband) yang menunjukkan bahwasanya hak konstitusional mereka dirugikan oleh berlakunya Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Para Pemohon dimaksud bukan bekas anggota PKI, termasuk organisasi massanya, dan bukan pula orang yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam G 30 S/PKI serta bukan bekas anggota organisasi terlarang lainnya. Dalam pada itu, Para Pemohon II, Payung Salenda dan kawan-kawan memenuhi persyaratan legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Sebagian para Pemohon adalah bekas tahanan politik. Mereka telah ditahan atau dipenjara karena dituduh terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam peristiwa G 30 S/ PKI.

KEWENANGAN PROSEDURAL
Selain kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi berkenaan dengan pengujian undang-undang terhadap UUD, sebagaimana dimaktub dalam Pasal 24 C UUD NRI Tahun 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, terdapat pula kewenangan prosedural mahkamah, berdasarkan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Dikemukakan, bahwasanya undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan UUD NRI Tahun 1945, yakni terhitung sejak perubahan pertama UUD pada tanggal 19 Oktober 1999. Undang-undang yang diundangkan sebelum perubahan UUD tidak dapat diajukan permohonan pengujian. Maksud pembentuk undang-undang agar tidak terjadi tumpukan berkas perkara (‘een papieren muur’) yang dikuatirkan bakal tidak mampu ditangani mahkamah.
Namun, dalam perkara Machry Hendra, SH, hakim pengadilan negeri Padang, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 004/PUU-I/2003 tanggal 30 Desember 2003, pernah menyampingkan (opzij leggen, to put aside, exeption d’illegalite) Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tatkala pemohon memohonkan pengujian Pasal 7 ayat 91) huruf g Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Mahkamah bukan menyatakan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tidak mengikat secara hukum, tetapi menyampingkan pasal dimaksud guna menguji pasal undang-undang tertentu.
Penyampingan pasal undang-undang tidak membatalkan atau menyatakan tidak sahnya suatu ketentuan undang-undang atau peraturan perundangan lainnya, tetapi dalam kasus tertentu, ketentuan undang-undang atau peraturan perundang-undangan itu karena satu dan lain hal, dikesampingkan (Benjamin Mangkudilaga, 2002 : 91).

POST SCRIPTUM
Terdapat wacana yang mengusulkan agar pengujian di Mahkamah Konstitusi tidak sebatas undang-undang tetapi juga bagi Rancangan Undang-Undang (RUU) yang tengah dibahas di DPR. S. Tasrif (1971 : 209) memandang lebih tepat kiranya manakala Mahkamah Konstitusi yang digagaskannya juga diberi kewenangan menguji RUU yang bermasalah. Tatkala Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa suatu RUU bertentangan dengan UUD maka RUU dimaksud dicabut dan tidak dibahas lagi di DPR.
Dalam kaitan pembentukan undang-undang, sebagaimana dimaksud Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945, pengujian RUU dapat diadakan pada tahap pembahasan DPR dengan Presiden, kala belum mendapatkan persetujuan bersama dari DPR dan Presiden. Mungkin dapat dibandingkan dengan kewenangan Conseil constitutionnel di Perancis yang dapat menguji ‘ all constitutional statutes before they are promulgated and all standing orders of the Houses of Parliament before they come into force, to check that they are in conformity with the Constitution ‘ (article 61 dari The French Constitution of 1958).

Kepustakaan :
2003, Lindsay, Khaterine, Federal Constitutional Law, Law Book co.
2002, Mangkudilaga, Benjamin, Jalan Tengah Pengujian Peraturan Undang-Undang, Penerbit Buku Kompas, Jakarta
1971, Tasrif, Suardi, Fraksi Karya Pembangunan & Mahkamah Konstitusi, dalam Menegakkan Rule of Law Di Bawah Orde Baru, Peradin, Jakarta.

Tidak ada komentar: