Rabu, 28 Mei 2008

POSISI SENTRAL HUKUM TATA NEGARA

POSISI SENTRAL HUKUM TATA NEGARA
DALAM PROSES LEGISLASI

Oleh: PAANK.SWBY.



I. Pendahuluan

Konsiderans-Menimbang huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan:

"bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan."

Menyimak pertimbangan tersebut di atas dikaitkan dengan judul Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, jelaslah bahwa materi muatan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 pada dasarnya menyangkut segi teknis pembentukan peraturan perundang-undangan yang sebagian besar mengenai teknis legal drafting.
Oleh karena itu ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 bukanlah satu-satunya pijakan dalam proses legislasi. Proses legislasi menyangkut berbagai aspek, seperti aspek politik, aspek sosiologi dan aspek filosofi dan paling penting adalah aspek hukum. Aspek hukum yang terdepan adalah Hukum Tata Negara, baik ditinjau dari segi kewenangan legislasi maupun substansi legislasi. Begitu pentingnya aspek substansi terutama dalam kaitan konstitusionalitas undang-undang, Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Menyimak putusan-putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara permohonan pengujian undang-undang, nampak jelas adu argumentasi antara pemohon dan termohon serta pertimbangan Mahkamah Konstitusi adalah permasalahan Hukum Tata Negara.
Didukung oleh putusan Mahkamah Konstitusi dalam mengadili permohonan pengujian undang-undang, nampak bahwa Hukum Tata Negara menempati posisi sentral dalam prosess legislasi. Tulisan ini diharapkan menggugah para perancang undang-undang dan pihak yang terlibat dalam proses pebahasan undang-undang hendaknya memberikan tempat terhormat bagi Hukum Tata Negara dalam proses legislasi. Oleh karena itu pembahasan rancangan undang-undang bukanlah sekedar perdebatan di seputar penggunaan kata-kata atau bahasa. Perdebatan utama adalah menyangkut isu Hukum Tata Negara.
Analisis menyangkut posisi sentral Hukum Tata Negara dalam proses legislasi dilakukan dengan menganalisis putusan Mahkamah Konstitusi menyangkut pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Analisis tidak dilakukan terhadap semua putusan Mahkamah Konstitusi menyangkut pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Putusan yang dipilih adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072/PUU-II/2004 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pemilihan atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan undang-undang yang terkenal dan hampir setiap orang mengetahuinya (tidak sekedar fisik hukum) menyangkut pemerintahan daerah. Diketengahkan argumentasi para pihak dan pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi untuk menunjukan bahwa isu hukum tata negara merupakan titik sentral legislasi yang dapat berakibat pernyataan tidak mempunyai kekuatan mengikat hukum apabila undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Mahkamah ini memfokuskan analisa pertama pada argumentasi hukum tata negara dalam proses pengujian undang-undang dan kedua pada isu konstitusionalitas dalam proses legislasi.

II. Argumentasi Hukum Tata Negara dalam proses pengujian undang-undang terhadap Undang - Undang Dasar 1945

Seperti telah dipaparkan di atas, argumentasi hukum tata negara dalam proses pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 diangkat dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072/PUU-II/2004.
Dalam perkara Nomor 072/PUU-II/2004, pemohon mengajukan tiga isu utama, yaitu:
1. Pemilu termasuk di dalamnya Pilkada
2. Penyelenggaraan Pilkada langsung
3. Independensi penyelenggaraan pilkada langsung
Dari tiga isu tersebut, isu pertama, yaitu Pemilu termasuk di dalamnya Pilkada diketengahkan untuk mencermati argumentasi para pihak menyangkut Hukum Tata Negara. Argumentasi antara pemohon dan Pemerintah sebagai termohon disandingkan dalam matriks di bawah ini.

Isu hukum tata negara: apakah pilkada termasuk Pemilu

PEMOHON


Pemilu termasuk didalamnya Pilkada.
Argumentasi: Perubahan Pasal 18 merupakan perubahan ke II, sedangkan Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 merupakan perubahan ke III, maka secara hukum pelaksanaan pasal 18 harus merujuk pasal 22E

TERMOHON


Dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2001 Pasal 22E lahir melalui perubahan ketiga, tetapi tetap tidak memasukan ketentuan Pasal 18 ayat (4) melainkan hanya ketentuan Pasal 18 ayat (3) yang mengatur mengenai DPRD. Hal ini dapat diartikan bahwa Konstitusi tidak hendak memasukan pemilihan kepala daerah dalam pengertian pemilihan umum sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 22E ayat (1) ...
Dengan demikian Pemilihan Kepala Daerah bukan termasuk dalam rezim pemilihan umum anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, DPRD tetapi masuk dalam rezim pemerintahan daerah


Pendapat Mahkamah Konstitusi
Menyangkut isu hukum tata negara: apakah pilkada termasuk pemilu, Mahkamah Konstitusi menyatakan:

"... Terhadap pendapat apakah Pilkada langsung termasuk kategori Pemilu yang secara formal terkait ketentuan Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 dan segala peraturan penjabaran dari pasal a quo. Mahkamah berpendapat bahwa Pilkada langsung tidak termasuk dalam kategori pemilihan umum sebagaimana dimaksudkan Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945. Namun demikian Pilkada langsung adalah pemilihan umum secara materil untuk mengimplementasikan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu dalam penyelenggaraannya dapat berbeda dengan Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 ..."

Kalau kita bandingkan argumentasi Pemohon dan argumentasi Pemerintah seperti terpaparkan dalam matriks di atas, nampaklah bahwa argumentasi Pemohon tidak jelas argumentasi Hukum Tata Negara. Pemohon berdalih bahwa Pasal 22E lahir dalam perubahan ke III Undang-Undang Dasar 1945 sedangkan Perubahan Pasal 18 lahir dalam perubahan ke II Undang-Undang Dasar 1945. Atas dasar itu pemohon beragumentasi bahwa pelaksanaan Pasal 18 harus merujuk Pasal 22E.
Atas argumentasi Pemohon tersebut dianjurkan pertanyaan hukum sebagai berikut: Apakah tidak mungkin ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang telah dirubah dalam Perubahan ke II Undang-Undang Dasar 1945 dirubah lagi dalam perubahan ke III? Andaikata seperti argumentasi Pemohon ketentuan Pasal 18 dalam pelaksanaannya harus merujuk Pasal 22E pertanyaannya: Apakah hal itu asas hukum tata negara? Apakah argumentasi Pemohon terinspirasi asas preferensi lex posterior? Andaikata benar bahwa argumentasi Pemohon terinspirasi asas preferensi lex posterior (lex posterior derogat legi priori), argumentasi Pemerintah dalam hal ini lebih rasional. Argumentasi Pemerintah menyatakan: ... Hal ini dapat diartikan bahwa Konstitusi tidak hendak memasukan pemilihan kapala daerah dalam pengertian pemilihan umum sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 22E ayat (1) ...
Argumentasi Mahkamah Konstitusi lebih luas dari argumentasi Pemerintah. Argumentasi Pemerintah hanya menunjuk Pasal 22E ayat (1) yang mengatur tentang asas pemilihan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.Berkaitan dengan isu: apakah Pilkada termasuk Pemilu, seyogyanya ketentuan Pasal 22E ayat (2) yang menjadi rujukan. Rumusan dalam Pasal 22E ayat (2) menyatakan: Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Argumentasi Mahkamah Konstitusi merujuk Pasal 22E, tidak hanya ayat (1).
Ditinjau dari segi perumusan norma, rumusan Pasal 22E ayat (2) merupakan norma tertutup dan bukan norma terbuka. Dengan demikian terhadap rumusan Pasal 22E ayat (2) tidak tepat diterapkan Interpretasi ekstensif yaitu interpretasi yang memperluas jangkauan norma tersebut.
Sayangnya dalam argumentasi Mahkamah Konstitusi tidak cukup jelas memaparkan ketentuan Pasal 22E, baik ayat (1) maupun ayat (2), baik dari aspek hukum tata negara maupun dari segi teori norma.
Dari paparan tentang argumentasi pemohon dan argumentasi Pemerintah dilengkapi dengan argumentasi Mahkamah Konstitusi jelaslah bahwa tidak bisa diingkari peran terdepan hukum tata negara dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian peran Hukum Tata Negara haruslah mendapat tempat terdepan dalam proses legislasi.


III. Isu Konstitusionalitas dalam Proses Legislasi

Bab II Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengatur tentang Asas Peraturan Perundangan. Dalam Pasal 5 diatur tentang asas formal dan dalam Pasal 6 diatur tentang asas substansial (bandingkan I.C. van der Vlies, het Wetsbegrip, pp 192-209).
Pasal 5 mengatur asas formal meliputi:
a. kejelasan tujuan
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan
d. dapat dilaksanakan
e. kedayagunaan dan hasil guna
f. kejelasan rumusan
g. keterbukaan
Pasal 6 mengatur asas substansial meliputi:
a. pengayoman
b. kemanusiaan
c. kebangsaan
d. kekeluargaan
e. kenusantaraan
f. bhineka tunggal ika
g. keadilan
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
i. ketertiban dan kepastian hukum
j. keseimbangan, keserasian dan keselarasan
Kalau dicermati rumusan asas substansial dalam Pasal 6 tersebut muncul pertanyaan:
1. apakah asas-asas tersebut dalam Pasal 6 merupakan asas hukum?
2. di manakah tempat asas konstitusionalitas?
Dikaji dari sudut pandang Hukum Tata Negara, supermasi hukum dalam ketatanegaraan Republik Indonesia pertama-tama harus bertumpu pada asas supermasi Undang-Undang Dasar 1945. Asas supermasi Undang-Undang Dasar 1945 didasarkan atas pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat yang menyatakan ... maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia ... Atas dasar itu kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diberikan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Dengan demikian meskipun tidak secara eksplisit dirumuskan dalam Bab II Undang-Undang Nomor10 Tahun 2004, asas konstitusionalitas haruslah merupakan asas sentral dalam proses legislasi. Oleh karena itu isu pertama dan utama dalam proses legislasi adalah isu konstitusionalitas.
Asas konstitusionalitas haruslah diangkat sebagai isu konstitusionalitas agar asas tersebut tidaklah sekedar pajangan. Isu konstitusionalitas sudah harus muncul sejak awal, setidak-tidaknya sudah harus muncul dalam rancangan atau naskah akademik untuk penyusunan rancangan undang-undang. Dalam proses pembahasan rancangan undang-undang hendaknya tersedia check list menyangkut isu konstitusionalitas. Sudah tentu bahwa rumusan dan check list menyangkut isu konstitusionalitas akan sangat bermanfaat andaikata di kemudian hari terhadap suatu undang-undang lahir permohonan pengujian ke Mahkamah Konstitusi.


IV. Penutup

Dari paparan di atas posisi sentral hukum tata negara dalam proses legislasi bertumpu pada asas supermasi hukum yang bertumpu atas asas supermasi Undang-Undang Dasar 1945 dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Berdasarkan asas supermasi Undang-Undang Dasar 1945 lahirlah asas konstitusionalitas dalam proses legislasi. Berdasarkan asas konstitusionalitas, isu konstitusionalitas hendaknya menjadiisu utama dalam proses legislasi.

Tidak ada komentar: