Rabu, 28 Mei 2008

OTORITAS DAN PERAN DPD

OTORITAS DAN PERAN DPD
KINI DAN MASA DATANG

oleh: PAANK.SWBY.


A. Pendahuluan
Dalam sistem Ketatanegaraan Negara Republik Indonesia saat ini dianut sistem bikameral dalam kekuasaan legislatifnya. Dalam perspektif Teori Trias Politika, kekuasaan legislatif merupakan cermin kekuasaan rakyat. Kekuasaan rakyat itu diwakili oleh suatu Lembaga yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum (Pemilu). Hak-hak politik rakyat diimplementasikan secara demokratis melalui pemilu. Oleh karena itu, pemilu merupakan jembatan yang menentukan apakah wakil-wakil rakyat dalam lembaga legislatif terpilih sesuai keinginan rakyat atau tidak. Aspirasi rakyat yang disalurkan melalui pemilu merupakan cara konstitusional untuk menentukan keinginan rakyat itu. Wakil-wakil rakyat dalam sistem Undang-Undang Dasar (UUD 1945), terletak pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). DPR ini sekaligus menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pada masa Orde Lama dan Orde Baru MPR ini merupakan Lembaga Tertinggi Negara yang tidak memiliki tandingan kekuasaan (no rival authority). MPR masa lampau memiliki komponen anggota yang terdiri dari Anggota DPR, Utusan Daerah, Utusan Golongan dan Pengangkatan. Untuk Tingkat Pusat disebut DPR, DPRD Provinsi untuk Tingkat Provinsi, DPRD Kabupaten untuk Tingkat Kabupaten.
Di Amerika Serikat, Badan Legislatif disebut dengan congress yang terdiri dari dua kamar, disebut bicameral. Hal ini sama dengan Negara Inggris, Perancis dan Belanda. Kamar-kamar tersebut adalah sebagai berikut1):
a. Senate (senat)
b. House of Pepresentative (badan perwakilan).
Di Negara Belanda, lembaga legislatif ini bernama Staten Generaal, juga berbentuk bicameral, yang masing-masing disebut dengan2):
a. Earste Kamer. Dipilih oleh anggota-anggota Dewan Provinsi.
b. Tweede Kamer. Dipilih langsung oleh rakyat.
Di Indonesia, saat ini Lembaga Legislaitif telah bergeser menjadi Bicameral. Selain DPR dikenal pula lembaga baru yaitu DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Dengan Pergeseran ini MPR-pun berubah komposisinya. Kini, MPR terdiri dari Anggota DPR dan DPD3).
DPD merupakan lembaga baru yang keberadaannya diakui oleh UUD 1945 yang telah diamandemen. Wacana memasukkan DPD dalam konstitusi telah digagas sejak membicarakan Amandemen I UUD 1945 pada Tahun 1999. Selanjutnya dalam Amandemen II Tahun 2000, Amandemen III Tahun 2001 dan Amandemen IV Tahun 2002. Keberadaan DPD tersebut tetap diakui dan resmi menjadi lembaga parlemen negara. DPD ini merupakan representasi provinsi. Jumlah Anggota DPD setiap provinsi sama meskipun suatu provinsi populasi penduduknya lebih besar dari provinsi yang lain. Jumlah Anggota DPD hanya sepertiga jumlah anggota DPR4).
Dengan adanya DPD aspirasi daerah yang mungkin berbeda-beda dapat diformulasikan dalam bentuk kanalisasi yang lebih sejajar kedudukannya dengan DPR terutama keberadaannya di MPR.
Pemantapan wacana memasukkan DPD dalam konstitusi lebih tampak jelas keberadaannya setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengadakan Sidang Tahunan pada Tahun 2001. Fraksi-fraksi dalam MPR menyetujui DPD sebagai salah satu komponen Anggota MPR, selain DPR. Pemantapan DPD dalam kontitusi semakin kuat ketika pada Tahun 2002 dilakukan Amandemen keempat sebagai penyempurnaan terhadap Amandemen ketiga. Dengan adanya DPD dalam konstitusi berarti bertambah satu kamar lagi dalam parlemen sehingga parlemen kita menjadi bikameral.

B. Otoritas DPD
Meskipun DPD merupakan lembaga baru dalam sistem parlemen di era reformasi, tetapi lembaga ini cukup menarik perhatian. Daya tarik DPD karena karakteristiknya mewakili teritorial daerah yang secara "sub - culture"berbeda-beda. Bahkan aspirasi dan kepentingannyapun berbeda. Namun, secara fenomonologis perbedaan itu suatu keragaman yang akan diangkat oleh DPD dalam posisinya sebagai kamar tersendiri dalam perjuangan parlemen. Untuk memperjuangkan aspirasi daerah secara nasional mungkin saja dilakukan oleh DPD. Hal ini disebabkan karena DPD memiliki otoritas atau wewenang yang dilindungi dan ditentukan oleh konstitusi. Dalam UUD 1945 DPD diatur dalam bab tersendiri, yaitu dalam Bab VII A. Dalam bab ini hanya terdapat dua Pasal yang mengatur DPD. Pertama, Pasal 22C yang terdiri dari empat ayat, Kedua, Pasal 22D yang terdiri dari empat ayat.
Otoritas DPD ditentukan dalam Pasal 22D. Berdasarkan Pasal 22D ini otoritas DPD terdiri dari tiga hal:
1. Mengajukan kepada DPR Rancangan Undang-Undang.
2. Membahas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah.
3. Melaksanakan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang.
Dalam hal pengajuan Rancangan Undang-Undang, DPD dapat mengajukan kepada DPR Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan:
1. Otonomi daerah
2. Hubungan pusat dan daerah
3. Pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah.

4. Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi serta yang berkenaan dengan pembangunan keuangan pusat dan daerah.

Segala sesuatu yang berkaitan dengan pengajuan Rancangan Undang-Undang ini5), merupakan otoritas DPD. Lembaga ini merupakan salah satu lembaga negara yang memiliki otoritas mengerjakan Rancangan Undang-Undang, selain DPR dan Presiden6 ).
Pertimbangan tertulis DPD salah satu otoritas lain yang sangat penting ketika membahas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pasal 137 ayat (1) Peraturan Tata Tertib DPR menyebutkan: "Terhadap Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Pajak, Pendidikan dan Agama, DPR menerima dan menindaklanjuti pertimbangan tertulis yang disampaikan oleh DPD, sebelum memasuki tahap pembahasan antara DPR dengan Presiden". Dalam hal ini pertimbangan DPD itu dapat dipandang sebagai bukti bahwa keberadaan DPD tersebut adalah penting. Pertimbangan tersebut disampaikan secara tertulis melalui Pimpinan DPR paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya surat dari Pimpinan DPR. Tetapi, apabila DPD belum juga memberikan pertimbangannya, DPD dianggap tidak memberikan pertimbangan dan pembahasan terhadap Rancangan Undang-Undang dapat dilaksanakan7). Peluang ini mestinya dimanfaatkan oleh DPD jika saatnya membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Kinerja dan kualitas Anggota DPD sangat menentukan apakah peluang itu digunakan dan dimanfaatkan atau tidak. Oleh karena itu pada tataran pembahasan Rancangan Undang-Undang keterlibatan DPD sangat penting. Selain dalam konteks APBN, masih terdapat beberapa kewenangan DPD untuk melakukan pembahasan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 yang sama objeknya dengan hak mengajukan Rancangan Undang-Undang8). Selain, memberikan pertimbangan tentang RAPBN, juga yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. Jadi, otoritas DPD sebenarnya tidak terbatas pada soal otonomi daerah saja. Spektrum otoritasnya lebih luas. Masalahnya adalah apakah DPD mampu melaksanakan misinya sesuai otoritas atau kewenangan yang diberikan oleh konstitusi dan hukum positif lainnya, inilah pertanggungjawaban moril dan politik yang diemban oleh anggota DPD terhadap konstituennya.
Otoritas lainnya yang tak kalah pentingnya adalah melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang9), fungsi pengawasan DPD ditugaskan dalam Pasal 22D ayat (3). Selain menjalankan fungsi legislatif secara terbatas, DPD juga memiliki fungsi pengawasan yang juga terbatas pada hal-hal yang berkenaan dengan pelaksanaan undang-undang yang mengatur kepentingan sebagaimana disebut dalam ayat ini. Dengan demikian, baik dari segi fungsi legislatif maupun fungsi pengawasan, kedudukan DPD ini jelas tidak setara dengan kedudukan DPR. Dengan perkataan lain, hal ini menegaskan bahwa bikameralisme yang dianut oleh UUD kita adalah "soft becameralism", bukan "strong becameralism"10). Pembagian seperti ini tidak begitu penting jika DPD secara maksimal memainkan perannya dalam melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang. Meskipun orang menyebut dengan adanya DPD itu berarti telah menjadi "soft becameralism", namun "role"dan "action"nya-lah yang lebih urgen dan signifikan.

C. Peran dan Prospek DPD ke Depan
Melihat otoritas DPD yang pada hakekatnya memuat dimensi kedaerahan dan nasional, sebenarnya peran DPD itu penting sekali walaupun terbatas dan tidak bisa dikatakan kecil. Saya kurang sependapat dengan pandangan Reni Dwi Purnomowati, yang mengemukakan peran DPD terlalu kecil diberikan oleh konstitusi11). Peran DPD tidak dapat dipandang kecil. Legalitas DPD dalam konstitusi memberi corak makna yang besar terhadap perannya sebagai lembaga negara. Tidak mungkin dengan peran yang kecil suatu lembaga negara di tampung eksistensinya dalam konstitusi. Mungkin yang lebih tepat dikatakan perannya adalah terbatas bukan kecil. Dengan peran yang terbatas itu akan memiliki gaung dan manfaat yang besar jika peran anggota DPD dapat dimaksimalkan. Fungsionalisasi DPD akan maksimal paling tidak harus didukung oleh beberapa faktor:
a. Sumber daya manusia yang berkualitas.
b. Memiliki kepekaan dan "sense of belonging"terhadap konstituen dan rakyat.
c. Sarana dan prasarana yang memadai.
d. Mengerti hukum dan politik serta pengetahuan legal - drafting.
Sekurang-kurangnya empat faktor tersebut harus dimiliki oleh Anggota DPD jika peran mereka ingin dimaksimalkan. Kalau tidak, penyakit yang sering melanda sebagian Anggota DPR di masa lampau yang sering disebut sebagai "4D plus 1C"mudah-mudahan tidak menjadi penyakit baru yang justeru tidak diperlukan di era reformasi sekarang ini12). Hal yang lebih parah lagi Ketua DPRD Kartosuro - Solo pada bulan Agustus 2005 tertangkap basah sedang main judi di salah satu Hotel. Bagaimana mungkin wakil rakyat mampu memperjuangkan aspirasi rakyat jika wakil rakyat itu sendiri tidak memberi contoh yang baik terhadap masyarakat.
Faktor skill-capability dan morality seorang anggota parlemen tidak dapat diabaikan. Wakil Rakyat adalah pionir perjuangan dan pembaharuan kepentingan dan nasib rakyat ke depan. Menyongsong masa depan bangsa dan negara, DPR harus memberi andil yang besar sesuai peran yang telah ditentukan oleh konstitusi. Jika ada Anggota DPD tidak mau dan tidak memiliki kemampuan bekerja mengemban aspirasi rakyat, maka yang bersangkutan dapat diberhentikan. Dalam Pasal 88 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD antara lain menyebutkan: "Anggota DPD diberhentikan karena: a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota DPD". Pada huruf c nya menyebutkan: "dinyatakan melanggar sumpah/janji kode etik DPD, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai Anggota DPD". Jadi, kalau Anggota DPD ada yang sama sekali tidak melaksanakan kewajibannya, maka hanya akan merugikan negara. Oleh karenanya, peran yang nilainya "nihil"ada baiknya dilakukan pemberhentian menurut prosedur yang berlaku. Maksud pandangan ini agar dapat dicapai peran yang relatif maksimal dari DPD kini dan dimasa yang akan datang.

D. Kesimpulan
Dari uraian terdahulu dapatlah disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia saat ini dianut sistem Bikameralisme dalam Parlemen dimana terdapat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), kamar pertama: DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan Kamar kedua: DPD (Dewan Perwakilan Daerah).

2. DPD memiliki otoritas yang terbatas sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 (Amandemen Keempat). Otoritas DPD tercermin dalam kewenangannya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22D ayat (1), (2) dan (3) UUD 1945

3. Dimensi otoritas DPD memuat spektrum nasional dan kedaerahan. Dalam hal pembahasan Rancangan Anggaran Pendapat dan Belanja Negara (RAPBN) pertimbangan DPD diperlukan oleh DPR. Dalam hal ini misalnya tampak dimensi nasionalnya. Sedangkan dalam hal mengajukan dan membahas Rancangan Undang-Undang Otonomi Daerah, tampak dimensi kedaerahannya.

4. Peran DPD harus dimaksimalkan sesuai peran yang telah digariskan oleh konstitusi. Peran tersebut paling tidak harus didukung oleh beberapa faktor yaitu:

a. Sumber daya Anggota DPD yang berkualitas,
b. Memiliki kepekaan dan rasa tanggungjawab terhadap konstituennya,
c. Harus didukung sarana dan prasarana yang memadai,
d. Mengerti hukum, politik dan "legal drafting".

5. Anggota DPD yang tidak fungsional dan tidak melaksanakan kewajibannya dapat diajukan pemberhentiannya dan diganti dengan orang yang "capable"dan mau memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat. Pemberhentian itu harus dilakukan menurut prosedur yang berlaku. Langkah ini ditempuh untuk mencapai peran maksimal DPD sebagai kamar perjuangan rakyat kini dan masa datang.


DAFTAR PUSTAKA

H. Inu Kencana Syafiie, Filsafat Pemerintahan Mencari Bentuk Good Governance yang Sebenarnya Secara Universal, Jakarta, Penerbit PT. Perca

Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945. Setelah Perubahan Keempat, Jakarta Pusat, Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Tahun 2002
Konstitusi Negara Asing, Terjemahan, Jakarta: Biro Humas dan Hubungan Luar Negeri Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Tahun 2003.
Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, Tahun 2004
Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Tahun 2005
Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Restu Agung, Tahun 2003
Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Jakarta: BP. Cipta Jaya, Tahun 2003

Tidak ada komentar: