Check and Balance Bernama KPK
oleh : PAANK.SWBY.(*)
Beberapa saat lalu (22/04), KPK gagal melakukan penggeledahan ruang kerja anggota DPR yang diduga penerima suap dalam kasus pengalihan fungsi hutan lindung di pulau Bintan karena dihalangi oleh “institusi” DPR. Prosedur dan ”unggah-ungguh” dijadikan alasan penolakan DPR atas penggeledahan tersebut, meskipun ijin dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah dikantongi oleh penyidik KPK. Hilangnya “pendadakan” dalam penggeledahan tersebut bisa saja membuyarkan unsur seperti mencegah penghilangan barang bukti.
Belum lama berselang, DPR juga berseteru dengan grup musik Slank, dalam kasus lirik lagu ”gosip jalanan” yang dianggap menghina institusi. Upaya menuntut grup musik anak muda tersebut akhirnya urung dilakukan oleh Badan Kehormatan DPR, menyusul kasus ”tertangkap tangan”-nya anggota DPR oleh KPK dalam kasus yang sama. Adalah memalukan lembaga DPR melawan grup musik yang hanya beranggota
Sebagai sebuah lembaga negara penghasil aturan perundangan kenyataan tersebut terasa sangat ironis. Meluapnya ”air bah” aspirasi rakyat untuk memberantas KKN memaksa DPR menelorkan undang-undang antikorupsi, kolusi dan nepotisme. DPR pula yang membidani lahirnya KPKPN, lembaga cikal bakal KPK hari ini. DPR antikorupsi tatkala melahirkan institusi KPK sebagai terobosan atas kebuntuan mandulnya aparat penegak hukum (
Pertanyaannya adalah apakah DPR sebuah lembaga kebal hukum. Jawabannya tentu saja tidak. Yusuf Kalla (Republika,
Beberapa saat sebelumnya, SBY menyampaikan agar para penegak hukum dan pemberantasan korupsi menghindari upaya menjebak (Tempo,
Check and balance
KPK menjelma menjadi lembaga ”superbody” yang ditakuti oleh para pelaku korupsi memang harus terjadi. KPK telah melakukan penggeledahan di MA, BI dan kementerian tanpa penghalang berarti. Langkah-langkah pencegahan, penegakan hukum pemberantasan korupsi oleh KPK telah bergerak di negeri ini.
Pada tahun 2007, data ICW menunjukkan terdapat 3 orang Gubernur, 41 orang Bupati dan 5 Walikota terlibat korupsi, dari berstatus penyidikan, penyelidikan dan penuntutan maupun yang sudah divonis bersalah (Forum Keadilan, 07-13 Januari 2008). Pada periode sebelumnya, sampai Maret 2006, menurut Mendagri terdapat tidak kurang 1.100 pejabat pemerintah terlibat/diperiksa dalam kasus korupsi, yaitu 7 orang Gubernur, 60 orang Bupati/Walikota, 8 orang kepala Daerah, 327 orang anggota DPRD Provinsi dan 735 orang anggota DPRD Kabupaten/Kota. Sederhananya, komisi negara seperti KPK telah mengambil peran check and balance menerobos kebuntuan akibat merebaknya korupsi.
Seharusnya DPR-lah lembaga yang melakukan fungsi check and balance, sebagai salah satu amanat reformasi yang didengung-dengungkan partai-partai saat kampanye. Bahwa DPR diperkuat untuk menjadi penyeimbang kekuasaan ”tak terbatas” presiden seperti di era Orba. Menjadi anggota DPR di era sekarang dengan kekuasaan yang semakin besar, seperti membahas dan menetapkan APBN serta mengawasi pelaksanaannya, memilih gubernur BI serta pimpinan lembaga-lembaga negara lainnya seharusnya digunakan untuk memperjuangkan amanat rakyat.
Sepertinya telah terjadi pergeseran perilaku korupsi di negara kita, yang seolah memperkuat adagium Lord Acton, ”power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”. Kekuasaan DPR yang semakin besar, mengakibatkan beralihnya kecenderungan korupsi. Banyaknya kasus anggota DPRD yang berurusan dengan aparat hukum dalam kasus korupsi seakan menjadi ketok palu atas pergeseran tren ini.
DPR yang berisikan partai-partai dengan berbagai aliran politik seharusnya berintrospeksi diri. Adalah naif DPR seolah lupa bahwa ia adalah wakil rakyat yang harus menyambung lidah rakyat atau memperjuangkan kepentingan nasional serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan, hakikat nilai religius.
Ternyata DPR berisi partai-partai politik dengan berbagai tingkat gradasi penolakan terhadap korupsi. Hasil rilis KPK tentang jumlah pengembalian uang gratifikasi oleh berbagai parpol seakan memberikan potret gradasi sikap antikorupsi partai-partai yang ada. Terdapat partai menengah dengan pengembalian jumlah uang gratifikasi terbesar, sementara partai-partai besar ”hanya” mengembalikan sedikit saja uang gratifikasi.
Rakyat semakin pintar
Kasus kemenangan pasangan cagub-cawagub ”HADE” di Jawa Barat dan ”Syampurno” di Sumatera Utara yang bukan unggulan dalam kalkulasi politis, seharusnya menyadarkan para anggota DPR yang terhormat. Juga dalam kasus DKI Jakarta, calon salah satu parpol menengah mampu ”mengimbangi” pasangan cagub-cawagub gabungan parpol-parpol besar. Bahwa rakyat bisa bersikap atas incumbent ataupun menghukum tingkah polah wakilnya di DPR jika dianggap menghianati kepercayaan yang diberikan. Tumbangnya calon kepala daerah partai-partai besar oleh protest voter, orang-orang muda yang menginginkan perubahan, menjadi sebuah peringatan dini.
Wacana pembubaran KPK yang dihembuskan beberapa anggota DPR lebih merupakan reaksi gugup daripada reaksi cerdas dan dewasa. Negara dengan tingkat korupsi rendahpun akan mempertahankan lembaga semacam ”KPK” untuk mengurangi pencurian uang rakyat oleh aparat. Jika dibubarkan, maka korupsi akan merebak tak terkendali. Mao Zedong pernah mengatakan, ”apapun jenis kucingnya, yang penting bisa menangkap tikus”. Keberadaan KPK telah memberikan harapan bagi rakyat negeri ini demi terwujudnya pemerintahan yang bersih.
Upaya sebagian anggota DPR untuk mengeliminir KPK adalah langkah yang bukan saja tidak populis, namun juga telah menggoreskan ingatan rakyat, partai jenis apa yang mewacanakannya. Rakyat hari ini tidak terlalu bodoh untuk menilai partai yang tidak mendukung pemberantasan korupsi. Kekalahan calon partai-partai besar dalam beberapa Pilkada telah membuktikan hukuman rakyat tersebut. Apakah dengan fenomena diatas, partai-partai politik tidak mau melakukan perubahan mindset dan kalkulasi ulang akan positioning-nya atas gerakan antikorupsi. Atau memang bandul politik sudah ditakdirkan bergeser menjelang pilpres 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar