Rabu, 28 Mei 2008

Catatan Kecil Mengenai

PAANK.SWBY




1. Salah satu butir ketentuan dalam Lampiran UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Pedoman Tehnik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan) mengatur mengenai ‘pelimpahan kewenangan-mengatur’ (atau: ‘pelimpahan kewenangan membuat peraturan perundang-undangan’). Di dalam Pedoman tersebut, pelimpahan kewenangan-mengatur ini disebut dengan istilah ‘delegasi’. Istilah ‘delegasi’ untuk menyebut pelimpahan kewenangan-mengatur tersebut tidak seluruhnya tepat, karena kita mengenal juga jenis pelimpahan kewenangan-mengatur yang lain, yaitu atribusi dan, juga, mandat).
Tulisan ini tidak bermaksud membahas perbedaan antara berbagai istilah tersebut menyangkut isi, lingkup dan substansinya. Perhatian hanya akan diberikan pada ketentuan mengenai rumusan ‘delegasi’ sebagaimana yang terdapat di dalam Pedoman Tehnik tersebut.
Pedoman yang mengatur mengenai delegasi dapat ditemukan pada beberapa tempat, namun kita hanya akan melihat pada nomor 167 dan 168 saja. Pedoman nomor 167 dan 168 berbunyi sebagai berikut:
"167. a. Jika materi yang didelegasikan [itu] sebagian sudah diatur pokok-pokoknya di dalam peraturan perundang-undangan yang mendelegasikan tetapi materi itu harus diatur hanya di dalam peraturan perundang-undangan yang didelegasikan dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, gunakan kalimat Ketentuan lebih lanjut mengenai . diatur dengan ..
b. Jika pengaturan materi tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan lebih lanjut mengenai . diatur dengan atau berdasarkan . .
168. a. Jika materi yang didelegasikan sama sekali belum diatur pokok-pokoknya di dalam peraturan perundang-undangan yang mendelegasikan dan materi itu harus diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang diberi delegasi dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, gunakan kalimat Ketentuan mengenai . diatur dengan . .
b. Jika pengaturan materi tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan mengenai . diatur dengan atau berdasarkan . .

2. Isi dari kedua butir pedoman tersebut diambil dari pedoman tehnik perundang-undangan Belanda (aanwijzingen voor de wetgevingstechniek). Materi dalam pedoman tehnik Belanda tersebut pada dasarnya muncul sehubungan adanya beberapa ketentuan di dalam Grondwet (UUD Belanda) baru mengenai pembentukan (atau: cara lahirnya) suatu wet (baca: peraturan perundang-undangan). Dari aspek yang berkaitan dengan isi peraturan perundang-undangan, Grondwet tersebut menggunakan suatu terminologi yang dimaksudkan untuk menunjukkan materi-muatan apa saja yang oleh Grondwet diberikan kepada pembentuk-undang-undang untuk dikerjakannya sendiri, dan (materi muatan) apa saja yang merupakan sebagian atau seluruh tugas pembentuk undang-undang yang boleh untuk dilimpahkan atau diserahkan kepada organ-organ lain.
Di dalam sistematika yang telah dipilih yang kemudian menjadi cetak-biru Grondwet baru, penggunaan istilah ‘regels’ [atau ‘regelt’] (baca: ‘mengatur’) dan ‘bij of krachtens’ (baca: ‘dengan atau berdasarkan’) menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang pada dasarnya diberi kewenangan untuk melimpahkan atau menyerahkan sebagian atau seluruh tugasnya kepada organ-organ lain. Dari sistematika yang dipilih tersebut, terlihat bahwa ketentuan di atas menunjuk pada pengertian ‘delegasi’.
Di balik rumusan kalimat sederhana tersebut terdapat banyak perdebatan selama pembahasan di parlemen Belanda saat itu. Bagi pembentuk-Undang-Undang-Dasar dirasa penting untuk memberi kejelasan mengenai hal-hal apa sajakah yang harus dikerjakan dan dilimpahkan kepada pembentuk-undang-undang [biasa]. Penekanan diberikan bukan pada soal kewenangan delegasi tersebut dan pembatasannya, tetapi pada soal larangan delegasi. Bagi pembentuk-undang-undang-dasar, tidak menjadi masalah apakah dan kapan delegasi diizinkan. Masalahnya lebih pada soal, bagaimana jika berdasarkan pertimbangan pembentuk-undang-undang-dasar, hal-hal itu harus seluruhnya dilakukan sendiri oleh pembentuk undang-undang [biasa]. Persoalan berkembang pada ruang-lingkup kewenangan delegasi dan terminologi yang digunakan. Jikalau dibolehkan delegasi, seberapa jauhkah rentang kebolehan tersebut? Haruskah ada pembedaan antara penyerahan kewenangan membuat peraturan perundang-undangan dan pemberian mandat kepada pemerintah? Haruskah dibedakan antara penyerahan dalam lingkup pemerintahan itu sendiri (peraturan pemerintah) dan penyerahan kepada badan-badan publik yang lebih rendah? Apakah penggunaan istilah delegasi di sini tidak akan menimbulkan kerancuan jika dikaitkan dengan adanya pembedaan antara delegasi dan atribusi dalam literatur? Terhadap semua pertanyaan ini, terminologi yang digunakan secara sederhana dalam Grondwet baru tidak memberikan jawaban dan juga memang tidak dimaksudkan untuk menjawab hal itu.

3. Dari uraian singkat mengenai latar-belakang di atas dapat bahwa ketentuan dalam pedoman Belanda pada dasarnya dimaksudkan pula untuk menjabarkan apa yang disebut di dalam Grondwet dengan kata ‘regels/regelt’ dan ‘bij of krachtens’. Di dalam Undang-undang Dasar kita hanya ditemui penggunaan kata ‘mengatur/diatur’ dan tidak ada kata ‘dengan atau berdasarkan’. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pedoman tehnik kita hanya memberi petunjuk pada tingkatan yang lebih rendah dari Undang-Undang Dasar, sebagaimana dapat dilihat pada pedoman nomor 167 dan 168. Dengan kata lain, jika menurut pedoman tehnik Belanda permasalahan mengenai penggunaan rumusan itu ada mulai pada tingkat undang-undang ke bawah, maka menurut pedoman tehnik Indonesia, permasalahan itu hanya ada di tingkat yang lebih rendah dari undang-undang.
Sama seperti pedoman belanda, ketentuan dalam Pedoman Indonesia nomor 167 dan 168 tidak dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan apakah –atau kapan– suatu delegasi atau, lebih tepatnya, suatu delegasi-lebih-lanjut (subdelegasi) dibolehkan atau tidak. Dua butir itu hanya memberi petunjuk mengenai bunyi rumusan yang digunakan untuk menyatakan ke(tak)bolehan melakukan subdelegasi.
Rumusan ‘diatur dengan atau berdasarkan...’ menunjukkan bahwa pembuat-undang-undang memberi keleluasaan kepada organ lebih rendah untuk menyerahkan pembuatan peraturan lebih rendah kepada organ yang lebih rendah lagi; subdelegasi dibolehkan. Jadi, undang-undang dapat, misalnya, menentukan bahwa pengaturan mengenai syarat, tata-cara, dan lingkup suatu perizinan tertentu diatur di dalam peraturan pemerintah atau dapat juga peraturan pemerintah itu dibolehkan untuk menyerahkan pengaturan mengenai hal itu kepada menteri.
Penggunaan rumusan ‘diatur dengan ...’ menyatakan bahwa pembentuk-undang-undang tidak membolehkan organ lebih rendah penerima delegasi untuk mendelegasikan lagi kepada organ lebih rendah kewenangan untuk membuat peraturan mengenai suatu hal tertentu; artinya, organ penerima delegasi harus mengatur sendiri semua materi di dalam peraturan yang dibuatnya; subdelegasi dilarang.

4. Praktek di dalam penyusunan rancangan dan pembahasan di DPR selama ini menunjukkan bahwa berbagai kalangan, baik instansi pemerintah (termasuk Departemen Kehakiman Dan HAM sendiri) maupun DPR, belum sepenuhnya memahami butir pedoman ini atau, dari sudut-pandang lain, memanfaatkan celah kemungkinan yang diberikan oleh pedoman ini. Pengamatan menunjukkan bahwa di tiap peraturan yang ada, delegasi atau perintah pengaturan lebih lanjut selalu (hanya) menggunakan rumusan tunggal ‘diatur dengan ...’. Boleh dikata, tidak pernah ada peraturan yang memuat rumusan ‘diatur dengan atau berdasarkan...’
Di pihak lain, pernah beberapa kali dikontarkan pendapat untuk lebih dapat mengontrol pengaturan materi yang terdapat di dalam peraturan pelaksana. Sebagaimana diketahui materi yang diatur di dalam undang-undang dapat sedikit banyak dikontrol melalui pembahasan di lembaga perwakilan rakyat. Pengontrolan ini tidak dapat begitu saja dilakukan bagi materi peraturan pelaksana, misalnya peraturan pemerintah, keputusan presiden (sekarang: peraturan presiden) atau peraturan menteri, oleh karena pembahasannya bersifat intern dan tidak lagi melibatkan lembaga eksternal. Memang di dalam undang-undang telah diletakkan rambu-rambu mengenai apa yang harus dimuat di dalam peraturan pelaksana, namun rambu-rambu itu bersifat makro dan penjabaran lebih lanjutnya dalam tingkat mikro boleh dikata sama sekali tergantung pada keinginan organ penerima delegasi, padahal dalam banyak hak justru sustansi pengaturan dalam tingkat mikro ini yang kadang-kadang dirasakan orang menimbulkan keberatan. Organ lebih tinggi dapat sebenarnya melakukan pengontrolan dengan memilih rumusan delegasi yang paling sesuai dengan apa yang dikehendaki.

5. Pernah ada pemikiran untuk menghilangkan pembedaan dua jenis rumusan delegasi ini sehingga hanya ada satu jenis rumusan saja, yaitu ‘diatur dengan...’, mengingat bahwa di dalam prakteknya rumusan ‘diatur dengan atau berdasarkan...’ tidak pernah digunakan. Dengan alasan keberhati-hatian (lebih baik ada daripada tidak), pembedaan dua jenis rumusan delegasi ini masih tetap dipertahankan di dalam pedoman tehnik. Kalau pada waktu-waktu yang lalu, pembedaan ini tidak pernah diperhatikan, orang dapat mencari alasan pemaafnya dengan mengatakan bahwa pedoman tehnik tersebut hanya merupakan suatu pedoman saja dan apalagi hanya dimuat di dalam peraturan setingkat keputusan presiden. Setelah pedoman itu sekarang menjadi Lampiran yang merupakan bagian takterpisahkan dari undang-undang, masih akan kita lihat bagaimana penerapannya di masa depan.
Jika selama ini butir ini tidak diperhatikan orang, mungkin karena dirasa tidak ada relevansi atau urgensinya, maka barangkali ada baiknya untuk dikemukakan bahwa pernah ada kasus di pengadilan (Belanda) yang menguji dan kemudian membatalkan putusan suatu instansi lebih rendah yang digugat oleh seseorang yang menyatakan bahwa instansi lebih rendah tersebut tidak mempunyai kewenangan untuk membuat peraturan (yang dirasa merugikan orang tersebut) karena di dalam peraturan yang lebih tinggi tidak ada delegasi kepada instansi lebih rendah tersebut berdasarkan bunyi rumusan delegasi yang digunakan dalam peraturan yang lebih tinggi yang (katanya) menjadi dasar hukum pembuatannya. Artinya, berdasarkan kasus nyata, rumusan delegasi yang digunakan ternyata mempunyai konsekuensi yuridis yang cukup serius.

6. Persoalan praktis ke depan seandainya butir pedoman ini ingin digunakan di dalam penyusunan rancangan peraturan adalah bahwa pedoman 167 dan 168 tersebut memberikan petunjuk yang tidak lengkap. Masih ada pertanyaan: apakah semua bentuk ‘delegasi’ harus menggunakan rumusan ‘dengan atau berdasarkan..’, apakah rumusan itu berlaku bagi delegasi ke instrumen yang bersifat mengatur, yang bersifat menetapkan (beschikking), atau keduanya, bagaimana hubungan antara undang-undang payung dan undang-undang organiknya, apa dan bagaimana konsekuensi dari, misalnya, suatu undang-undang yang sekedar menyatakan bahwa sesuatu hal akan diatur dengan undang-undang lain, dan masih ada banyak pertanyaan lain yang serupa.

Tidak ada komentar: