Rabu, 28 Mei 2008

Komentar singkat terhadap ( Rancangan ) Undang-Undang Republik Indonesia

Mengkritisi Beberapa Perubahan Yang Signifikan
Ketentuan Tentang Pemerintahan Daerah
Dalam
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Oleh : PAANK.SWBY. Catatan 1)


I. Pendahuluan
Pada tanggal 29 September 2004 DPR-RI dan Presiden-RI telah menyetujuibersama Rancangan Undang Undang Tentang Pemerintahan Daerah untuk disahkanmenjadi Undang Undang.
Sesuai dengan prosedur yang berlaku, Presiden kemudian mengesahkanRancangan Undang Undang Tentang Pemerintahan Daerah tersebut menjadi UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004.
Lahirnya Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerahsebagai pengganti Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang PemerintahanDaerah, diharapkan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang timbul dibidang penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sebagai akibat berlakunya UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mulai berlakusejak tanggal 19 Nopember 1999.
Salah satu dorongan yang sangat penting untuk melakukan perubahan terhadapbeberapa ketentuan dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999, antara lain adalahuntuk meluruskan kembali pemahaman penerapan sistem desentralisasi atau daerahotonom, tanpa mengesampingkan pemahaman bahwa sistem ketatanegaraan yangdianut oleh Republik Indonesia adalah Negara Kesatuan .
Penegasan bentuk Negara Republik Indonesia adalah Negara Kesatuan denganjelas dapat kita baca dalam Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Dasar Tahun 1945 baiksebelum maupun setelah dilakukan 4 (empat) kali perubahan.
Sebagaimana kita ketahui melalui pemberitaan di berbagai media Cetak ataumedia Elektronik, penerapan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 TentangPemerintahan Daerah telah menimbulkan berbagai permasalahan dalampenyelenggaraan pemerintahan daerah. Keadaan yang demikian apabila tidak segeradiambil langkah-langkah penanggulangannya, dikhawatirkan dapat membahayakaneksistensi atau kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Permasalahan yang timbul sebagai akibat berlakunya Undang Undang Nomor 22Tahun 1999 antara lain.
1. seolah terputus hubungan secara hierarki dan administrasi antara Pemerintah Pusatdan Pemerintah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota, antara lainsebagai akibat ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang Undang Nomor 22 Tahun1999 tentang Pemerintahan Daerah Catatan 2) ;
2. timbul gep yang mencolok mengenai kesejahteraan masyarakat antara daerah yangsurplus dan daerah yang minus ;
3. timbul kerancuan dalam pengelolaan sumberdaya alam antara kewenanganPemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan dikhawatirkan dapat mengancamkeutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal tersebut sebagaiakibat ketentuan yang rancu dalam Pasal 10 Undang Undang Nomor 22 Tahun1999 tentang Pemerintahan daerah ;
4. terdapat gejala atau usaha dari beberapa daerah yang ingin memisahkan diri dariNegara Kesatuan Republik Indonesia. Disisi lain sistem Negara Kesatuan sudahdengan penuh pengorbanan diperjuangkan oleh para pendiri Negara RepublikIndonesia ; dan/atau
5. timbulnya permasalahan di bidang penerapan peraturan perundang-undanganantara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah, sebagai akibat adanya ketentuandalam Tap MPR Nomor III/MPR/2000, yang dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan tidak mencantumkan Peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Catatan 3)
Beberapa daerah menolak penerapan Peraturan Menteri, sedangkan sesuai denganketentuan Pasal 7 Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak semua kewenanganPemerintah Pusat diserahkan kepada Pemerintah Daerah.
II. Perubahan Yang Signifikan Terhadap Beberapa Ketentuan Undang UndangNomor 22 Tahun 1999 Yang Diatur Dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam tulisan singkat ini dicoba untuk mengkritisi terhadap beberapa ketentuandalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yangselain merupakan penyempurnaan secara signifikan terhadap ketentuan dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah juga menampungberbagai perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat yang sebenarnya kurangtepat jika pengaturannya dijadikan satu dengan pengaturan tentang penyelenggaraanPemerintahan Daerah.
Dikatakan mengkritisi "beberapa ketentuan" karena dengan keterbatasan waktuyang diberikan, sulit untuk dapat mencermati seluruh ketentuan dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 yang berjumlah 240 (dua ratus empat puluh) pasaltersebut.
Selanjutnya, karena Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 sifatnya jugamenampung perkembangan kebutuhan pengaturan yang sebenarnya tidak tepat biladiatur menjadi satu dalam Undang Undang tentang Pemerintahan Daerah, maka bilakita cermati terdapat kejanggalan mengenai substansi yang diatur dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004
Kejanggalan tersebut antara lain pengaturan mengenai Komisi Pemilihan UmumDaerah, Panitia Pemilihan, Panitia Pemungutan Suara, dan Kampanye Pemilihan, yangjuga menjadi materi dari Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Dikatakan kejanggalan, karena dalam Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, judul suatu Peraturan harus mencerminkan substansi yang diatur.
Oleh karena itu, substansi yang diatur dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004sesuai dengan judulnya, haruslah yang terkait langsung mengenai PemerintahanDaerah.
Beberapa ketentuan dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, juga masihmenimbulkan ketidak pastian hukum dalam penerapannya, antara lain ketentuan yangdiatur dalam Pasal 16 ayat (3), Pasal 17 ayat (3), dan Pasal 18 ayat (7), karenapendelegasian pengaturan lebih lanjut dalam Pasal-Pasal tersebut tidak disebut secarajelas instrument hukum yang digunakan, misalnya Peraturan Pemerintah ataukahPeraturan Presiden. Rumusan yang digunakan adalah dengan "Peraturan Perundang-undangan" sedangkan peraturan perundang-undangan banyak jenisnya.
Ketentuan dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berhasil dicermatiantara lain :
1. Terdapat sistematika yang tidak tepat meletakkannya atau merumuskannya,yakni pada BAB IV Bagian Kedelapan Paragraf Ketujuh, yang menyatakantentang "Ketentuan Pidana Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil kepala Daerah".
Cara penulisan dan peletakan ketentuan pidana yang demikian tidak lazim dalamTeknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan. Ketentuan Pidanaseharusnya diletakkan sebelum BAB tentang Ketentuan Peralihan. ApabilaKetentuan Peralihan tidak ada, letak Ketentuan Pidana sebelum BAB KetentuanPenutup dengan judul KETENTUAN PIDANA, tanpa menyebut objeknya.
2. Terdapat beberapa rumusan norma yang tidak jelas sehingga sulit dalampenerapannya, misalnya :
a. ketentuan Pasal 216 ayat (2) disebutkan bahwa: Perda, sebagaimanadimaksud pada ayat (1) wajib mengakui dan menghormati... danseterusnya. Perda adalah benda mati apakah bisa mengakui danmenghormati ?
b. ketentuan Pasal 219 ayat (1) disebutkan bahwa : Pemerintah memberikanpenghargaan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Ketentuandalam Pasal tersebut tanpa diikuti pernyataan lebih lanjut mengenai berbagaihal yang terkait dengan "pemberian penghargaan" misalnya dalam bidangapa, bagaimana persyaratannya, apa kriterianya, serta dalam bentuk apapenghargaan diberikan.
Ketentuan seperti Pasal 219 ayat (1) adalah Pasal mandul yang sulit dalampelaksanaannya.

c. ketentuan Pasal 220
Ketentuan dalam Pasal 220 inipun merupakan Pasal yang mandul dan samasekali tidak memperhatikan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, dalam halmerumuskan sanksi maka harus jelas berupa sanksi pidana, perdata, atausanksi administratif. Selanjutnya dalam hal sanksi administratifpun, harusdirumuskan secara tegas dan rinci apa bentuk dari sanksi administratiftersebut.
4. Definisi / batasan pengertian
Dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak hanya substansi dalambatang tubuh Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang dilakukanpenyempurnaan, tetapi juga mencakup definisi / batasan pengertian.Penyempurnaan terhadap definisi / batasan pengertian sangat penting karenadefinisi/batasan pengertian merupakan peletak dasar pemahaman atasnorma/substansi yang diatur dalam Bab berikutnya.
Penyempurnaan yang sangat signifikan antara lain mengenai definisi tentang :
a. Pemerintahan Daerah
Dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai definisi"Pemerintahan Daerah" dibuat penegasan "dalam sistim dan prinsip NegaraKesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945".
Penegasan tersebut mempunyai makna yang sangat signifikan untuk lebihmenegaskan bahwa penyelenggaraan pemerintahan oleh Pemerintah daerahtidak terlepas dari ikatan hierarki dan hubungan administrasi denganPemerintah Pusat atau dengan Pemerintah Daerah lainnya.
Dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 penegasan "dalam ikatanNegara Kesatuan Republik Indonesia" dapat dijumpai pada definisi "DaerahOtonom" dan "Desentralisasi". Penegasan tersebut dicantumkan juga dalamdefinisi "Daerah Otonom" dan "Desentralisasi" dalam Undang UndangNomor 32 Tahun 2004, walaupun dengan rumusan yang berbeda.
Dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 digunakan frasa secara tidakkonsisten, yakni "dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia"(dalam definisi Desentralisasi) dan " dalam ikatan Negara KesatuanRepublik Indonesia" (dalam definisi "Daearah Otonom")
Dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 frasa yang digunakan sudahkonsisten, karena menggunakan frasa yang sama yakni "dalam sistim NegaraKesatuan Republik Indonesia".
b. Pemerintah Daerah
Definisi "Pemerintah Daerah" dipertegas dengan menyebut secara jelasterdiri dari Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagaiunsur penyelenggara Pemerintah Daerah Catatan 4). Dalam definisi ini jelas dapatdipahami siapa pelaksana dan apa fungsinya dalam penyelenggaraanPemerintahan Daerah. Definisi dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun2004 ini lebih konkrit dibandingkan dengan definisi dalam Undang UndangNomor 22 Tahun1999.

c. Otonomi Daerah
Dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 "Otonomi Daerah"didefinisikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan menguruskepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri . danseterusnya.
Dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 pengertian "OtonomiDaerah" dikembalikan secara proporsional dalam konteks Negara Kesatuandengan menghilangkan frasa "menurut prakarsa sendiri" dan diganti denganrumusan "mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintah dankepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan". Walaupun sama-sama menggunakan kata "sendiri" namun dalamkonteks keseluruhan frasa, antara kedua rumusan tersebut mempunyaimakna yang sangat berbeda.
d. Tugas Pembantuan
Definisi "Tugas Pembantuan" dilakukan penyederhanaan tanpamenyebutkan "disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumberdayamanusia . dan seterusnya, tetapi lebih ditekankan pada ketentuan siapayang memberikan tugas dan siapa yang diberi tugas". Definisi yangdemikian lebih tepat, karena beda antara merumuskan definisi dan norma.
1. Posisi Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Pasal 4 ayat (2) Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 menentukan bahwadaerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) artinya Provinsi, Kabupaten, atauKota masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubunganhierarki satu sama lain.
Ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) inilah yang dalam perjalanan sejarahpenerapan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 banyak menimbulkanpermasalahan, bahkan timbul kesenjangan atau konflik dalam penyelenggaraanpemerintahan baik antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah maupunantara Pemerintah Daerah Provinsi dengan Pemerintah Daerah Kabupaten /Kota.
Ketentuan Pasal 4 ayat (2) ini mengakibatkan pula berbagai permasalahan dalammenegakkan peraturan perundang-undangan tingkat pusat yang tidak secarategas terdapat dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimanaditetapkan dalam Tap MPR Nomor III/MPR/2000.
Ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999tersebut dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 dilakukan perubahansecara mendasar yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (4), ayat (5), ayat (6) danayat (7). Ketentuan dalam Pasal 2 ayat (4) menegaskan bahwa "PemerintahDaerah" dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungandengan Pemerintah dan dengan Pemerintah Daerah lainnya.
Ayat (5) menegaskan "hubungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputihubungan wewenang keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdayaalam, dan sumberdaya lainnya.
Ketentuan dalam Pasal 2 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebutdimaksudkan untuk menghilangkan polemik pemahaman bahwa tidak adahubungan secara hierarki antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerahatau antara Pemerintah Daerah yang satu dengan Pemerintah daerah yanglainnya.


2. Pembagian Urusan Pemerintahan
Urusan Pemerintahan yang tidak dilimpahkan kepada Pemerintahan Daerah,dalam Pasal 10 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 dirumuskan lebih tegasdari pada yang dirumuskan dalam Pasal 7 dan Pasal 11 Undang Undang Nomor22 Tahun 1999. Penyempurnaan rumusan dilakukan sebagai berikut :
a. untuk bidang pertahanan keamanan, dipisahkan menjadi bidang pertahanandan bidang keamanan.
Pemisahan kedua bidang tersebut adalah sebagai konsekwensi daripemisahan Kepolisian Negara Republik Indonesia dari Tentara NasionalIndonesia sebagaimana ditetapkan dalam Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 joPenegasan Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian NegaraRepublik Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam Tap MPR NomorVII/MPR/2000.
b. istilah peradilan diganti dengan yustisi.
Penggantian istilah tersebut sangat tepat karena yang tidak dilimpahkankepada Pemerintahan Daerah bukan bidang peradilan saja tetapi jugamencakup bidang-bidang lain yang tercakup dalam pengertian justisi,misalnya bidang keimigrasian.
3. Penyelenggara Pemerintahan
Dalam Pasal 19 ayat (1) disebutkan bahwa Penyelenggara Pemerintahan adalahPresiden dibantu oleh 1 (satu) orang Wakil Presiden, dan oleh menteri negara.
Rumusan dalam Pasal 19 ayat (1) tersebut bila dibandingkan dengan ketentuandalam Pasal 4 ayat (1) Undang Undang Dasar Tahun 1945 terdapat pengurangan"bobot" kewenangan Presiden dan dirumuskan secara tidak konsisten. Hal inikarena Pasal 4 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 menyebutkan Presidenadalah pemegang kekuasaan pemerintahan. Dengan demikian bukanpenyelenggara pemerintahan.
4. Pemilihan Kepala Daerah
Dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagaimana ditentukan dalamPasal 39 ayat (1) Kepala Daerah dipilih dalam rapat Paripurna DPRD.
Sejalan dengan perkembangan sitem ketatanegaraan, khususnya dalampemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Aayat (1) Catatan 5) Undang Undang Dasar Tahun 1945 yakni Presiden dan Wakil Presidendipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh Rakyat, maka dalam ketentuanPasal 24 ayat (5) jo Pasal 56 ayat (1) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004,untuk Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah juga ditentukan dipilih dalamsatu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.
Adanya ketentuan dalam Pasal 24 ayat (5) jo Pasal 56 ayat (1) inilah kemudiandiperlukan pengaturan mengenai mekanisme pelaksanaannya. Oleh karena itu,dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 walaupun sebenarnya agakjanggal, memasukkan pengaturan tentang Komisi Pemilihan Umum Daerah,Panitia Pemilihan, Panitia Pemungutan Suara, dan Kampanye Pemilihan dalamUndang Undang tentang Pemerintahan Daearah. Pertimbangan dari pembentukUndang Undang barangkali adalah agar tidak terjadi kefakuman hukum.
Guna ketertiban, sesuai dengan ketentuan dalam Teknik Penyusunan Peraturanperundang-undangan, sebaiknya sistem yang kurang tepat semacam ini janganterulang kembali.
5. Tindakan Penyidikan Terhadap Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah danAnggota DPRD.
Walaupun tindakan penyidikan terhadap Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah,dan Anggota DPRD masih diperlukan adanya izin tertulis dari Presiden (untukKepala dan wakil Kepala Daerah) Catatan 6) dan dari Menteri Dalam Negeri atas namaPresiden (untuk Anggota DPRD Provinsi) dan Gubernur atas nama MenteriDalam Negeri (untuk Anggota DPRD Kabupaten dan Kota) Catatan 7), namun ketentuandalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 sudah lebih menjamin adanyakepastian hukum, karena dalam Pasal 36 ayat (2) dan dalam Pasal 53 ayat (2),telah ditegaskan bahwa bila dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hariizin tidak diberikan, penyidikan dapat dilakukan.
Satu hal yang masih perlu dipertimbangkan apakah waktu 60 (enam puluh) haritersebut tidak terlalu lama ? Hal ini sangat terkait dengan pengamanan "alat-alatbukti".
6. Keikutsertaan Masyarakat Dalam Penyiapan Dan Pembahasan Rancangan Perda.
Ketentuan dalam Pasal 139 ayat (1) yang mengatur tentang keikutsrtaanmasyarakat dalam penyiapan dan pembahasan Rancangan Perda bila dikaitkandengan penjelasan Pasal tersebut, maka terdapat keganjilan kalau hakmasyarakat dilaksanakan hanya berdasarkan Peraturan Tata Tertib DPRD. Halini karena penyiapan Rancangan Perda bisa dilakukan juga oleh Pemerintah(Gubernur, Bupati, atau Walikota) Catatan 8).
Kalau dikaitkan dengan ketentuan dalam Pasal 27 Undang Undang Nomor 10Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengenaiTata Cara mempersiapkan Perda yang berasal dari Gubernur, Bupati atauwalikota diatur dengan Peraturan Presiden. Sedangkan sesuai dengan ketentuanPasal 40 ayat (1) Catatan 9) yang diatur dalam Peraturan Tata Tertib Dewan PerwakilanRakyat Daerah adalah "Tata Cara Pembahasan Rancangan Perda".
II. Kesimpulan
1. Sebagaimana pepatah yang sering kita dengar, tidak ada gading yang tak retak,maka demikian juga dalam setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,walaupun sudah diusahakan sesempurna dan sekomprehensif mungkin, biasanyaselalu saja masih terdapat kekurangannya.
2. Namun demikian, pepatah tersebut jangan dijadikan alasan pema'af, manakalakesalahan terjadi karena kekurang hati-hatian atau kekurang cermatan dalammengharmonisasikan dengan berbagai ketentuan peraturan perundang-undanganyang terkait, atau kurang memperhatikan ketentuan dalam Teknik PenyusunanPeraturan Perundang-undangan.

~~~~~~~~*****~~~~~~~-


Catatan 1 *) - Mantan Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan HAM-RI
- Anggota Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan HAM -RI
- Anggota Forum 2004

Catatan 2 1) Pasal 4 ayat (1) Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 berbunyi :
(2) Daerah-daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain.

Catatan 3 2) Tap MPR Nomor III/MPR/2000 berdasarkan ketentuan dari Pasal 4 Tap MPR Nomor I/MPR/2003 tetapberlaku sampai terbentuknya Undang Undang. Oleh karena itu dengan terbentuknua Undang-UndangNomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mulai berlaku sejak tgl 1Nopember 2004, Tap MPR Nomor III/MPR/2000 menjadi tidak berlaku.
Catatan 4 3) Bandingkan pengertian Pemerintah Daerah dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang disebutsebagai "Badan Eksekutif Daerah".
Catatan 5 4) Perubahan Ketiga Undang Undang Dasar 1945 yang disahkan tanggal 10 November 2001
Catatan 6 5) Pasal 36 ayat (1) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
Catatan 7 6) Pasal 53 ayat (1)
Catatan 8 7) Lihat Pasal 140 ayat (1) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Pasal 26 Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Catatan 9 8) Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Tidak ada komentar: