Rabu, 28 Mei 2008

MAKNA PERSETUJUAN BERSAMA DALAM PEMBENTUKAN

MAKNA PERSETUJUAN BERSAMA DALAM PEMBENTUKAN
UNDANG-UNDANG SERTA PENANDATANGAN OLEH PRESIDEN ATAS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG YANG TELAH MENDAPAT PERSETUJUAN BERSAMA


PAANK.SWBY. Catatan 1



1. Pengantar

Dengan amandemen Undang-Undang Dasar 1945, telah terjadi pergeseran dalam kekuasaan pembentukan Undang-Undang. Sebelum Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen, kekuasaan pembentukan Undang-Undang titik beratnya berada di tangan Presiden (eksekutif), Catatan 2 tetapi dengan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 kekuasaan pembentukan Undang-Undang bergeser ke Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Catatan 3, yang menentukan : "Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang."
Berdasarkan pada ketentuan tersebut, maka kekuasaan pembentukan undang-undang sekarang ada pada DPR, sedangkan Presiden bukan lagi pemegang kekuasan pembentukan undang-undang, tetapi hanya berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Catatan 4 Meskipun demikian, dalam pembentukan undang-undang tidak berarti DPR bisa jalan sendiri tanpa melibatkan Presiden (pemerintah).
Dengan bergesernya kekuasaan pembentuk undang-undang ke DPR, maka langkah utama yang harus dilakukan adalah mempersiapkan sumber daya manusia yang menguasai dan memahami peraturan perundang-undangan, baik dari segi substansi maupun teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. Untuk memahami teknik penyusunan peraturan perundang-undangan memang tidak terlalu sulit, karena ada pedoman yang bisa dipelajari, yang dituangkan dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3). Pada tanggal 24 Mei 2004 DPR telah menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjadi Undang-Undang.
Hingga saat ditulisnya tulisan ini Rancangan Undang-Undang tentang P3 sudah disetujui oleh DPR untuk menjadi Undang-Undang dan sudah disampaikan kepada Presiden, namun belum ada nomornya karena kemungkinan belum ditandatangani oleh Presiden atau kemungkinan lain sudah ditandatangani oleh Presiden tetapi belum diberi nomor. Hal ini tentu menjadi pertanyaan, mengapa rancangan undang-undang yang sudah lama mendapat persetujuan bersama tetapi belum juga ditandatangani oleh Presiden dan belum diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Seorang anggota DPR pernah menyebutkan di Harian Kompas bahwa Undang-Undang P3 adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Tetapi setelah dikonfirmasikan ke Sekretariat Kabinet, bukan Nomor 10, bahkan belum ada nomornya. Dari informasi yang ada, Undang-Undang P3 sudah diberikan "kavling" (kemungkinan nomor 10) agar Undang-Undang yang disetujui belakangan tidak terhenti prosesnya. Dari sejarah pembuatan Undang-Undang, barangkali Undang-Undang P3 merupakan satu-satunya Undang-Undang yang mengalami proses semacam ini. Oleh karena itu, perlu diselidiki di mana terhentinya proses ini, apakah di Sekretariat Negara (Sekretariat Kabinet) atau di Presiden. Kasus ini sudah barang tentu menjadi preseden yang tidak baik dan tidak perlu terjadi lagi di masa yang akan datang.
Namun, apapun masalahnya secara hukum Undang-Undang tentang P3 sudah sah dan wajib diundangkan. Untuk sahnya Undang-Undang tentang P3 memang tidak ada masalah, karena Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia telah memberikan jalan keluar secara tegas, yaitu Undang-Undang tentang P3 demi hukum telah sah. Tetapi bagaimana mengenai pengundangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Saat ini yang melakukan pengundangan Undang-Undang dalam Lembaran Negara Republik Indonesia adalah Sekretariat Negara. Bagaimana kalau Sekretariat Negara tidak melakukan pengundangan. Dalam kasus ini berarti Sekretariat Negara telah melanggar konstitusi. Kewajiban Sekretariat Negara adalah mengundangkan Undang-Undang dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tanpa melihat adanya "sesuatu" di balik tidak ditandatanganinya Undang-Undang tersebut oleh Presiden. Jadi, Presiden boleh saja tidak mendatangani, tetapi Sekretariat Negara tidak ada alasan hukum untuk tidak mengundangkan Undang-Undang tersebut.
Untuk memahami substansi peraturan perundang-undangan memang tidak mudah dan diperlukan waktu yang tidak sedikit, karena hal ini menyangkut berbagai hal yang sangat mendasar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Misalnya, menyangkut pengetahuan dan prinsip-prinsip peraturan perundang-undangan, harmonisasi antara satu peraturan perundang-undangan dan peraturan perundang-undangan yang lain, kewenangan antara satu instansi dan isntansi yang lain.
2. Makna Persetujuan Bersama
Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa "Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama." Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa dalam pembentukan Undang-Undang DPR tidak bisa jalan sendiri tanpa ada persetujuan dari Presiden. Kedua-duanya, baik DPR maupun Presiden harus setuju, tidak bisa DPR setuju tetapi Presiden tidak setuju. Keduanya harus berjalan seiring untuk setuju bersama. Jadi, meskipun kekuasaan pembentukan undang-undang berada di tangan DPR, tetapi tanpa ada persetujuan dari pemerintah, maka suatu rancangan undang-undang tidak akan menjadi undang-undang.
Frasa "persetujuan bersama" dalam pasal ini tidak selalu bermakna untuk "setuju", tetapi bisa juga dimaknakan untuk "tidak setuju". Ketidaksetujuan bisa saja terjadi manakala antara DPR dan Pemerintah tidak sepakat mengenai substansi yang diatur dalam rancangan undang-undang. Makna "tidak setuju" secara tersirat terdapat dalam ketentuan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menentukan : "Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu."
Memang dalam Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tidak dirumuskan secara tegas bahwa apabila tidak mendapat persetujuan bersama, maka rancangan undang-undang tersebut ditolak menjadi undang-undang. Namun, kalimat "rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu" sama artinya bahwa rancangan undang-undang tersebut ditolak menjadi undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk masa persidangan itu. Syarat "persetujuan bersama" ini berlaku, baik terhadap rancangan undang-undang yang datang dari DPR maupun rancangan undang-undang yang datang dari pemerintah.
Pasal 20 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan : "Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang." Ketentuan ini dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 37 Undang-Undang P3. Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang P3 menentukan bahwa : "Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang." Penyampaian rancangan undang-undang tersebut disertai surat pengantar pimpinan DPR. Secara formal, rancangan undang-undang menjadi Undang-Undang setelah disahkan oleh Presiden.
Kemudian, ayat (2)-nya menentukan bahwa : Penyampaian rancangan undang-undang tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Tenggang waktu 7 (tujuh) hari dianggap layak untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan undang-undang, misalnya teknis penulisan rancangan undang-undang ke lembaran resmi Presiden, penandatanganan, pengesahan, dan pengundangan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Pertanyaannya adalah bagaimana apabila Dewan Perwakilan Rakyat "nekad" menyampaikan rancangan undang-undang yang disetujui secara aklamasi oleh fraksi-fraksi di DPR tetapi tidak disetujui oleh Presiden tersebut kepada Presiden untuk disahkan berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945?
Jawaban terhadap pertanyaan tersebut adalah bahwa apabila suatu rancangan undang-undang tidak mendapakan persetujuan bersama, maka Presiden secara hukum tidak perlu mengesahkan rancangan undang-undang tersebut. Dalam hal ini Presiden tidak termasuk kategori melanggar konstitusi apabila tidak mengesahkan rancangan undang-undang selama tidak terjadi "persetujuan bersama" atas rancangan undang-undang tersebut. Oleh karena itu, Presiden tidak ada kewajiban hukum untuk mengesahkan rancangan undang-undang yang tidak mendapat "persetujuan bersama". "Persetujuan bersama" di sini adalah bahwa antara DPR dan Presiden (menteri yang mewakili) harus sama-sama setuju terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas di DPR. Baik DPR maupun Presiden (menteri yang mewakili) keduanya harus setuju, tidak bisa yang setuju hanya salah satu saja, DPR saja atau Pemerintah saja. Dengan demikian, "persetujuan bersama" di sini mutlak sifatnya dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.
3. Pengesahan oleh Presiden
Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama antara DPR dan Presiden tetapi tidak disahkan oleh Presiden, maka dalam waktu 30 hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan. Ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut kemudian dijabarkan dalam Pasal 38 Undang-Undang P3. Pengesahan rancangan undang-undang tersebut dilakukan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari. Jadi, apabila Presiden diam, maka Presiden dianggap telah menyetujui rancangan undang-undang tersebut.
Secara teori, terkait dengan tindakan diam ini ada 2 makna, yaitu tindakan diam itu bermakna setuju atau tindakan diam itu bermakna menolak. Mana yang akan dianut hanya masalah pilihan saja. Di Amerika, apabila Presiden sampai dengan tanggal 31 Desember tidak melakukan apa-apa (diam) terhadap rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh parlemen, maka Presiden dianggap memveto (menolak) rancangan undang-undang tersebut. Berbeda dengan Indonesia, apabila Presiden tidak menandatangani rancangan undang-undang sampai dengan 30 hari, maka Presiden dianggap menyetujui rancangan undang-undang tersebut.
Secara logika, mestinya suatu rancangan undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden (menteri yang mewakili) tidak perlu sampai tidak ditandatangani oleh Presiden, karena persetujuan tersebut sebetulnya sudah ada sejak Presiden, melalui Amanat Presiden (ampres), menunjuk menteri yang terkait untuk mewakili Presiden dalam pembahasan rancangan undang-undang tersebut di DPR. Seyogyanya apabila dalam pembahasan di DPR tidak terjadi kata sepakat mengenai suatu masalah antara DPR dan Pemerintah, menteri yang mewakili berkonsultasi terlebih dahulu dengan Presiden. Dengan demikian, ketidaksepakatan itu seharusnya terjadi pada waktu pembahasan rancangan undang-undang di DPR, bukan melalui cara Presiden tidak menandatangani rancangan undang-undang yang sudah mendapatkan persetjuan bersama.
Dengan tidak ditandatangani oleh Presiden, maka dalam jangka waktu 30 hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama, maka rancangan undang-undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Dalam Pasal 38 ayat (3) ditentukan bahwa pengesahan rancangan undang-undang yang tidak ditandatangani oleh Presiden dilakukan dengan membubuhkan kalimat : "Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945." Kalimat pengesahan tersebut dibubuhkan pada halaman terakhir Undang-Undang sebelum pengundangan naskah Undang-Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Konsekuensi hukum dari ketentuan ini adalah bahwa Presiden tidak bisa menyatakan dirinya tidak terikat dengan Undang-Undang tersebut dengan dalih Presiden tidak menandatangani Undang-Undang tersebut. Ditandatangani atau tidak oleh Presiden, Undang-Undang tersebut tetap sah dan wajib diundangkan. Apabila suatu Undang-Undang telah diundangkan, maka semua orang dianggap tahu mengenai Undang-Undang tersebut. Inilah yang dalam teori lazim dikenal sebagai fiksi hukum. Dengan fiksi hukum ini orang tidak bisa berdalih tidak terikat oleh suatu Undang-Undang yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dengan alasan orang tersebut tidak tahu kalau ada Undang-Undang tersebut.
Memetik pelajaran dari kasus Undang-Undang P3, maka instansi yang bertanggung jawab terhadap pengundangan Undang-Undang yang diatur dalam Undang-Undang P3, pada hari ke 31 setelah suatu Undang-Undang mendapatkan persetujuan bersama tetapi tidak ditandatangani oleh Presiden, mempunyai kewajiban untuk segera mengundangkan Undang-Undang tersebut dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Di masa yang akan datang, Instansi yang berwenang dan bertangung jawab terhadap pengundangan Undang-Undang harus melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang P3. Kasus seperti Undang-Undang P3 cukup terjadi sekali saja dan tidak perlu terulang lagi di masa yang akan datang.


Catatan 1 Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Departemen Kehakiman dan HAM. Meraih gelar SH dari UGM Yogyakarta, MH dari UNPAD Bandung dan Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Indonesia Jakarta.

Catatan 2 Pasal 5 UUD 1945 ayat (1) sebelum amandemen menentukan : "Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat."

Catatan 3 Penulisan secara lengkap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan naskah lengkap UUD 1945 setelah mengalami empat kali amandemen.

Catatan 4 Hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Tidak ada komentar: