Rabu, 28 Mei 2008

ABRI dan Masa Depan Demokrasi Indonesia

ABRI dan Masa Depan Demokrasi Indonesia

Mukadimah: ABRI dan Demokrasi

Tidak mungkin terhindarkan bahwa pembicaraan ini harus dimulai dengan pendapat yang cukup umum di kalangan masyarakat luas mengenai ABRI dan demokrasi. Pendapat itu, seperti telah kita ketahui bersama, terbagi antara yang optimis dan pesimis. Yang optimis mengatakan bahwa ABRI dapat, dan harus, memainkan perannya sendiri dalam usaha bersama menumbuhkan demokrasi. Dan yang pesimis mengatakan sebaliknya, yaitu bahwa tidak mungkin ABRI sebagai kekuatan militer memiliki komitmen yang sejati kepada nilai-nilai demokratis. Pendapat ini dikaitkan dengan premis dasar bahwa "militerisme" dengan sendirinya bertantangan dengan demokrasi.

Tapi mungkin persoalannya harus dilihat dari beberapa sudut yang khas suatu masyarakat atau negara. Misalnya, untuk Indonesia, sudah biasa diajukan argumen bahwa ABRI atau kekuasan militer di sini mempunyai latar belakang sejarah yang khusus berkenaan dengan proses-proses kelahirannya selaku tentera rakyat. Dari sudut pandang ini, ABRI tidak lain adalah penumbuhan dan pengembangan lebih lanjut dari badan yang menghimpun para pejuang kemerdekaan yang "kebetulan" bersenjata, mendampingi para pejuang kemerdekaan lainnya yang tidak bersejata. Dari situ ditemukan pembenaran bagi pelibatan ABRI dalam proses-proses sosial-politik yang melandasi konsep yang unik, yaitu "dwifungsi ABRI".

Mungkin di sini tidak lagi terlalu relevan untuk memperdebatkan absah-tidaknya pandangan tersebut. Yang lebih relevan, mengingat hal-hal yang sudah given tentang ABRI, bagaimanakah kiranya peran positif ABRI dalam usaha bersama mewujudkan demokrasi di masa depan. Agaknya peran itu berpusar sekitar tiga hal:

Pertama, demokrasi tidak mungkin tanpa adanya prinsip-prinsip yang dipra-anggapkan sebagai dengan sendirinya benar (presumed truth) dan diterima oleh semua warga negara. Dalam hal negara kita, prinsip-prinsip itu ialah Pancasila dan makna UUD 45. (Sebagai perbandingan, Amerika Serikat, misalnya, mendasarkan seluruh konsep dan kiprah demokrasinya atas prinsip-prinsip yang terkandung dalam dokumen Deklarsi Kemerdekaan dan Konstitusi. Semua prinsip itu melandasi konsep Keamerikaan (Americanism). Maka peran ABRI dalam demokrasi, sesuai dengan doktrinnya sendiri, ialah mempertahakan presumed truth itu dan mengembangkannya sebagai titik tolak kiprah demokrasi Indonesia.

Kedua, demokrasi tidak mungkin tanpa stabilitas dan keamanan. Berkenaan dengan ini, sudah sejak awal tahun 60-an Bung Hatta, seorang tokoh yang dipandang sebagai "hati nurani" bangsa, memperingatkan kepada mereka yang bersangkutan, bahwa demokrasi yang dilaksanakan secara tidak bertanggung jawab sehingga menimbulkan situai kaotik akan mengundang lawan demokrasi itu sendiri. Sebab situasi kaotik akan memberi pembenaran bagi tampilnya seorang kuat (strong man) yang akan mengatasi kekacauan dengan bertindak sebagai diktator, tiran atau malah fasis. Maka ABRI jelas sekali akan membantu pengembangan demokrasi jika tetap mampu menjaga stabilitas dan keamanan. Tetapi dengan sendirinya hal itu harus dilakukan sedemikian rupa sehingga serasi dan seiring dengan pelaksanaan nilai-nilai demokrasi itu sendiri, yang intinya ada dalam pelaksanaan kebebasan-kebebasan asasi, yaitu kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul dan berserikat, selain penghormatan kepada hak-hak asasi pribadi semua warga negara.

Lebih jauh, di mana pun stabilitas dan keamanan adalah prasyarat bagi pembangunan yang lestari dan lancar, menuju kemakmuran. Demokrasi tidak mungkin berjalan dengan baik dan membawa kebaikan jika masyarakat berada di bawah garis kemiskinan. Eksperimen India dengan demokrasi, sekalipun cukup mengagumkan, menunjukkan bahwa demokrai di sana sering "tenggelam" oleh efek-efek negatif kemiskinan. Karena itu, juga untuk demokrasi, ABRI berperan melanjutkan tugas "tradisional"-nya, yaitu menjaga kelestarian pembangunan nasional atas dasar stabilitas dan keamanan. (Tentang korelasi tingkat tertentu kemakmuran dengan demokrasi dibuktikan oleh kecenderungan yang cukup umum negara-negara industri baru untuk semakin menuju kepada tatanan sosial-politik yang demokratis, seperti gejala Korea Selatan dan Taiwan).

Ketiga, para anggota ABRI sendiri harus benar-benar menghayati demokrasi sebagai "cara hidup" (way of life). Tanpa penghayatan seperti itu maka usaha menegakkan demokrasi akan menjadi palsu, seperti patung tanpa nyawa. Di mana-mana, termasuk di negeri kita dengan sendirinya, sering eksperimen demokratis dan perjuangannya terhalang oleh mereka yang mengaku "demokrat" namun tidak menunjukkan sikap pribadi yang demokratis, karena gagal meyakini dan mempraktekkan demokrasi itu sebagai way of life. Misalnya, adalah suatu ironi, bahakan contradictio interminus, bahwa seseorang, atas nama demokrasi, memaksakan pendapat dan kehendaknya sendiri. Jelas sekali bahwa hal itu terjadi karena dominannya unsur vested interest orang atau kelompok bersangkutan.

Demokrasi sebagai Kategori Dinamis

Bahwa negara kita adalah negara demokrasi--sekurangnya demikian itulah cita-cita kita semua--tentu tidak perlu lagi dipersoalkan. Cita-cita itu sudah menjadi tekad para pendiri republik, dan merupakan salah satu unsur dorongan batin mereka yang sangat kuat untuk berjuang merebut, mempertahankan dan kemudian mengisi kemerdekaan.

Untuk memulai pembahasan ini, perlu ditegaskan bahwa dari satu sudut pandangan, demokrasi adalah suatu kategori yang dinamis. Ia senantiasa bergerak atau berubah, kadang-kadang negatif (mundur), kadang-kadang positif (berkembang maju). Oleh karena itu, seperti dikatakan oleh Willy Eichler (ideolog Partai Sosial Demokrat Jerman-SPD), demokrasi akhirnya menjadi sama dengan proses demokratisasi. Karena itu, suatu negara dapat disebut demokratis jika padanya terdapat proses-proses perkembangan menuju ke arah keadaan yang lebih baik dalam melaksanakan nilai-nilai kemanusiaan asasi dan dalam memberi hak kepada masyarakat, baik individu maupun sosial, untuk mewujudkan nilai-nilai itu. Check lists yang dapat digunakan untuk mengukur maju-mundurnya demokrasi ialah sekitar seberapa jauh bertambah atau berkurangnya kebebasan asasi, seperti kebebasan menyatakan pendapat, berserikat dan berkumpul. Masing-masing dari ketiga pokok itu dapat dirinci lebih lanjut dalam kaitannya dengan berbagai bidang kehidupan perorangan dan kemasyarakatan, seperti politik, ekonomi, kebudayaan, akademik (ilmiah), kehukuman (legal), dan seterusnya.

Sudut pandang demokrasi sebagai kategori dinamis memungkinkan terjadinya hal yang dapat disebut ironis, seperti jika sebuah negara yang kini disebut (paling) demokratis--katakanlah Amerika Serikat--justru akan dinilai tidak lagi demokratis jika ia menunjukkan gejala quot;kemandekan" dengan menghambat laju tuntutan dan pelaksanaan kebebasan-kebebasan asasi dari para warganya. Apalagi jika kepada kategori pengujian kedemokrasian negara itu dimasukkan pula unsur seberapa jauh terlaksana dengan nyata prinsip kesamaan umat manusia, maka Amerika dan lain-lain negara Barat menjadi kurang demokratis dibandingkan dengan banyak negara "Dunia Ketiga". Sebab di negara-negara Barat itu masih banyak nampak faham warna kulit atau rasialisme dalam kehidupan sehari-hari.

Maka dari itu juga dapat disebut bahwa suatu negara berkembang pun, dalam perspektif Eichler, mungkin harus dipandang sebagai "lebih demokratis" jika padanya terjadi proses-proses perkembangan kemajuan sejati dalam mewujudkan dan melaksanakan kebebasan asasi, seperti kebebasan menyatakan pendapat, berserikat dan berkumpul. Maka yang amat perlu diperhatikan dalam perspektif tentang demokrasi seperti itu ialah adanya pesan tentang pentingnya proses perkembangan, dan bahayanya kemandekan. Masyarakat demokratis cenderung ribut, tapi keributan dinilai pasti lebih baik daripada ketenangan karena kemandekan.

Jika persoalan itu kita bawa ke negeri kita, maka kita harus melihat ada-tidaknya proses-proses menuju kepada pelaksanaan check lists demokrasi tersebut. Berdasarkan itu barangkali, dalam penglihatan Eichler, Indonesia harus digolongkan sebagai "negara demokratis". Dengan mengatakan negara kita demokratis kita menyisihkan ruang dan hak keabsahan bagi diri kita untuk betul-betul berfikir dan berperilaku demokratis dan untuk menuntut dari semua orang agar berbuat serupa, khususnya dari mereka yang tergolong "penentu kecenderungan" (trend makers) dengan kekuasaan yang efektif.

Demokrasi Pancasila

Modal utama untuk mewujudkan demokrasi di negeri kita ialah Pancasila. Dasar negara itu melengkapi kita dengan prasyarat asasi untuk mewujudkan demokrasi atau tatanan sosial-politik yang membawa kepada kebaikan untuk semua: (1) adanya orientasi hidup transendental, (2) ikatan batin kepada nilai-nilai kemanusiaan, (3) kesadaran akan tanggung jawab bersama (tidak menyerahkan atau mempertaruhkan masalah yang menyangkut kepentingan masyarakat semata-mata kepada kemauan seorang tokoh, betapapun iktikad baiknya, tetapi kepada mekanisme pengawasan umum dalam tatanan sosial politik yang partisipatif), (4) pandangan yang lebih mendahulukan kepentingan masyarakat daripada kepentingan diri pribadi, dan, (5) di tengah antara yang empat itu, prasarana dan wadah persatuan dan kesatuan negara bangsa. Jika perkembangan terakhir di negeri kita dapat dijadikan indikasi (keterbukaan, kesadaran akan hak-hak asasi, proses-proses menuju clean government) maka kita patut optimis. Namun persoalannya ialah seberapa jauh unsur-unsur perkembangan positif itu dapat didorong dan ditumbuhkan ke arah yang terus lebih baik, dan bagaimana tidak membentur dinding-dinding kultur politik "asli" (dalam artian nativisme dan atafisme, yaitu faham bahwa apapun yang berasal dari negeri dan bangsa sendiri serta berasal dari masa lampu akan dengan sendirinya baik dan benar) yang tidak kondusif bagi pandangan-pandangan yang lebih kosmopolit, terbuka dan berwawasan masa depan. Kalau benturan ini terjadi atau sengaja diarahkan ke sana oleh orang atau kelompok dengan vested interest-nya yang terancam, maka optimisme tersebut berbalik menjadi pesimisme.

Demokrasi sebagai Cara Hidup (Way of Life)

Karena itu tantangan masa depan demokrasi di negeri kita ialah bagaimana mendorong proses-proses untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut agar terus berlangsung secara konsisten. Dengan kata lain, bagaimana melaksanakannya sehingga benar-benar menjadi pandangan hidup (way of life) nyata dalam kehidupan sehari-hari. Berikut ini adalah percobaan untuk mendaftar beberapa nuktah penting pandangan hidup demokratis, berdasarkan bahan-bahan yang sedikit banyak telah berkembang, baik secara teoritis maupun praktis, di negeri-negeri yang demokrasinya cukup mapan:

Pertama, pentingnya kesadaran kemajemukan. Ini tidak saja sekedar pengakuan (pasif) akan kenyataan masyarakat yang majemuk. Lebih dari itu, kesadaran kemajemukan menghendaki tanggapan yang positif kepada kemajemukan itu sendiri secara aktif. Seseorang akan dapat menyesuaikan dirinya kepada cara hidup demokratis jika ia mampu mendisiplin dirinya ke arah jenis persatuan dan kesatuan yang diperoleh melalui penggunaan kreatif dari dinamika dan segi-segi positif kemajemukan masyarakat. Masyarakat yang teguh berpegang kepada pandangan hidup demokratis harus dengan sendirinya juga dengan teguh memelihara dan melindungi lingkup keanekaragaman yang luas. Pandangan hidup demokratis seperti ini menuntut moral pribadi yang tinggi.

Kedua, dalam peristilahan politik kita dikenal "musyawarah" (dari bahasa Arab, musyawarah, dengan makna asal sekitar "saling memberi isyarat"). Keinsafan akan makna dan semangat musyawarah menghendaki atau mengharuskan adanya keinsafan dan kedewasaan untuk dengan tulus menerima kemungkinan kompromi atau bahkan "kalah suara". (Nabi Muhammad s.a.w., misalnya, dalam suatu musyawarah untuk menentukan strategi menghadapi serbuan kaum kafir Makkah mengalami kekalahan suara, dan beliau dengan tulus serta teguh menerima keputusan orang banyak dan dalam proses pelaksanaannya beliau menolak second thought yang dikemukakan oleh sementara Sahabat).

Semangat musyawarah menuntut agar setiap orang menerima kemungkinan terjadinya partial functioning of ideals, yaitu pandangan dasar bahwa belum tentu, dan tidak harus, seluruh keinginan atau pikiran seseorang atau kelompok akan diterima dan dilaksanakan sepenuhnya. Korelasi prinsip itu ialah kesediaan untuk kemungkinan menerima bentuk-bentuk tertentu kompromi atau islah. Korelasinya yang lain ialah seberapa jauh kita dewasa dalam mengemukakan pendapat, mendengarkan pendapat orang lain, menerima perbedaan pendapat, dan kemungkinan mengambil pendapat yang lebih baik. Dalam masyarakat yang belum terlatih benar untuk berdemokrasi sering terjadi kejumbuhan antara mengritik yang sehat dan bertanggung jawab dan menghina yang merusak dan tanpa tanggung jawab.

Berkenaan dengan ini, salah satu tantangan nyata bagi kita bangsa Indonesia agaknya ialah situasi kejiwaan atau mind set yang tumbuh dalam bangsa kita akibat kenyataan bahwa selama kemerdekaan sekitar setengah abad ini kita belum pernah hidup selain di bawah pimpinan bapak bangsa (father of nation), yaitu Bung Karno, kemudian Pak Harto. Kedua tokoh yang bijak-bestari itu telah berhasil membawa Indonesia ke tingkat kedewasaan penuh sebagai negara bangsa (nation state). Tetapi pengalaman hidup di bawah ketokohan seorang bapak bangsa dengan kepribadian yang sangat dominan telah membuat kita kurang terbiasa membuat keputusan sendiri (dari bawah) dan kurang mampu melihat serta memanfaatkan alternatif-alternatif (sebab selama ini kita digiring untuk selalu melihat adanya hanya satu alternatif, tanpa banyak pilihan lain). Monolitisme dan absolutisme adalah bertentangan dengan cara hidup demokratis. Maka tantangan besar selanjutnya demokrasi Indonesia dalam masa depan yang dekat ini ialah seberapa jauh kita mampu menampilkan seorang pemimpin nasional yang tidak lagi berperan sebagai bapak bangsa, melainkan sekedar seorang "yang pertama di antara yang sama" (the first among the equlas, primus inter pares).

Ketiga, ungkapan "tujuan menghalalkan cara" mengisyaratkan suatu kutukan kepada orang yang berusaha meraih tujuannya dengan cara-cara yang tidak peduli kepada pertimbangan moral. Pandangan hidup demokratis mewajibkan adanya keyakinan bahwa cara haruslah sejalan dengan tujuan. Bahkan sesungguhnya klaim atas suatu tujuan yang baik harus diabsahkan oleh kebaikan cara yang ditempuh untuk meraihnya. Seperti dikatakan Albert Camus, "Indeed the end justifies the means. But what justifies the end? The means!" Maka antara keduanya tidak boleh ada pertentangan. Setiap pertentangan antara cara dan tujuan, jika telah tumbuh menggejala cukup luas, pasti akan mengundang reaksi-reaksi yang dapat menghancurkan demokrasi. Maka demokrasi tidak terbayang tanpa akhlak yang tinggi.

Contoh akhlak seperti itu ialah sikap ksatria Sultan Saladin--Shalah al-Din al-Ayyubi--yang melindungi prajurit dari kalangan musuhnya, tentara Salib, yang kesasar ke kemahnya dalam keadaan luka parah kemudian diobatinya (dengan merahasiakan rapat-rapat siapa sebenarnya dirinya sebagai komandan tentera Islam) dan setelah sembuh dilepaskan dengan aman. Atau seperti sikap pengurus "Liga Anti Pencemaran Nama" (Anti-Defamation League) dari organisasi Yahudi, B'nai Brith di Amerika yang melindungi seorang aktifis neo-Nazi yang datang melapor setelah melalui gerakan kultusnya membunuh sekian orang tokoh Semitik di sana. Perlindungan itu diberikan atas dasar prinsip bahwa setiap orang berhak dengan bebas menyatakan pendapat, berkumpul dan berserikat--dalam konteks gerakan Neo Nazi yang anti Yahudi itu: biarpun merugikan orang lain--karena percaya bahwa masyarakat akan "dengan bebas" pula to hire and fire suatu ide ataupun gerakan. Sikap seperti itu jelas sekali memerlukan tingkat kepercayaan diri yang tinggi, yang membebaskan seseorang atau kelompok dari kekhawatiran yang berlebihan dan, sebagai konsekwensinya, kecurigaan dan prasangka yang juga berlebihan.

Keempat, permufakatan yang jujur dan sehat adalah hasil akhir musyawarah yang juga jujur dan sehat. Para anggota masyarakat demokratis dituntut untuk menguasai dan menjalankan seni permusyawaratan yang jujur dan sehat itu guna mencapai permufakatan yang juga jujur dan sehat. Permufakatan yang dicapai melalui engineering, manipulasi atau taktik-taktik yang sesungguhnya hasil sebuah konspirasi bukan saja merupakan permufakatan yang curang, cacad atau sakit, malah dapat disebut sebagai pengkhianatan kepada nilai dan semangat demokratis. Karena itu faktor ketulusan dalam usaha bersama mewujudkan tatanan sosial yang baik untuk semua merupakan hal yang sangat pokok. Faktor ketulusan itu, seperti telah disinggung, mengandung makna pembebasan diri dari vested interest yang sempit. Prinsip inipun terkait dengan faham musyawarah seperti telah dikemukakan di atas. Musyawarah yang benar dan baik hanya akan berlangung jika masing-masing pribadi atau kelompok yang bersangkutan mempunyai kesediaan psikologis untuk melihat kemungkinan orang lain benar dan diri sendiri salah, dan bahwa setiap orang pada dasarnya baik, berkesenderungan baik, dan beriktikad baik.

Kelima, dari sekian banyak unsur kehidupan bersama yang baik ialah terpenuhinya keperluan pokok, yaitu pangan, sandang dan papan. Dan karena ketiga hal itu menyangkut masalah sosial dan budaya (seperti masalah mengapa kita makan nasi, bersandangkan sarung, kopiah, kebaya, serta berpapankan rumah joglo, misalnya), maka pemenuhan segi-segi ekonomi itu tidak lepas dari perencanaan sosial-budaya. Warga masyarakat demokratis ditantang untuk mampu menganut hidup dengan pemenuhan kebutuhan secara berencana, dan harus memiliki kepastian bahwa rencana-rencana itu (misalnya, dalam wujud besarnya ialah GBHN) benar-benar sejalan dengan tujuan dan praktek demokratis--yang check list-nya, seperti telah dikemukakan tadi, dapat kita buat berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan universal namun dengan memperhatikan kenyataan kenisbian kultural.

Keenam, kerjasama antara warga masyarakat dan sikap saling mempercayai iktikad baik masing-masing, kemudian jalinan dukung-mendukung secara fungsional antara berbagai unsur kelembagaan kemasyarakatan yang ada merupakan segi penunjang efisiensi untuk demokrasi. Masyarakat yang terkotak-kotak dengan masing-masing penuh curiga kepada lainnya bukan saja mengakibatkan tidak efisiennya cara hidup demokratis, tapi juga dapat menjurus kepada lahirnya pola tingkah laku yang bertentangan dengan nilai-nilai asasi demokrasi. Pengakuan akan kebebasan nurani (freedom of conscience), persamaan hak dan kewajiban bagi semua (egalitarianisme) dan tingkah laku penuh percaya kepada iktikad baik orang dan kelompok lain mengharuskan adanya landasan pandangan kemanusiaan yang positif dan optimis. Pandangan kemanusiaan yang negatif dan pesimis akan dengan sendirinya sulit menghindari perilaku curiga dan tidak percaya kepada sesama manusia, yang kemudian ujungnya ialah keengganan bekerja sama. Berkaitan dengan perkara ini, bagi masyarakat bekas jajahan, masalah colonial legacy yang masih belum seluruhnya terhapus akan menjadi sumber tantangan dan kendala usaha bersama mewujudkan demokrasi.

Ketujuh, dalam keseharian, kita biasa berbicara tentang pentingnya pendidikan demokrasi. Tapi karena pengalaman kita yang belum pernah dengan sungguh-sungguh menyaksikan atau apalagi merasakan hidup berdemokrasi--ditambah kenyataan bahwa "demokrasi" dalam abad ini yang dimaksud adalah demokrasi modern--maka bayangan kita tentang "pendidikan demokrasi" umumnya masih terbatas kepada usaha indoktrinasi dan penyuapan konsep-konsep secara verbalistik. Kejengkelan yang sering terdengar dalam masyarakat tentang adanya kesenjangan antara apa yang dikatakan (ada yang rajin mengajari kita "jangan biarkan kolusi penguasa-pengusaha" tapi yang bersangkutan sendiri justru menjadi contoh mencolok kolusi itu) ialah akibat dari kuatnya budaya "menggurui" (secara feodalistik) dalam masyarakat kita, sehingga verbalisme yang dihasilkannya juga menghasilkan kepuasan tersendiri dan membuat yang bersangkutan merasa telah berbuat sesuatu hanya karena telah berbicara.

Karena pandangan hidup demokrasi modern terlaksana dalam abad kesadaran universal sekarang ini, maka nilai-nilai dan pengertian-pengertiannya harus dijadikan unsur yang menyatu dengan sistem pendidikan kita, tidak dalam arti menjadikannya muatan kurikuler yang klise, tetapi dengan jalan diwujudkan dalam hidup nyata (lived in) dalam sistem pendidikan kita. Kita harus mulai dengan sungguh-sungguh memikirkan--yang toh sudah ada lembaga yang memulainya--untuk membiasakan anak-didik dan masyarakat pada umumnya kepada perbedaan pendapat dan tradisi pemilihan terbuka untuk menentukan pimpinan atau kebijakan. Demokrasi bukanlah sesuatu yang akan terwujud bagaikan jatuh dari langit, melainkan menyatu dengan pengalaman nyata dan eksperimentasi kita sehari-hari. Justru itu demokrasi memerlukan ideologi yang terbuka, yaitu ideologi yang tidak dirumuskan "sekali dan untuk selamanya" (once and for all). Ideologi tertutup (yang precepts-nya dirumuskan "sekali dan untuk selamanya" cenderung ketinggalan zaman (obsolete, seperti terbukti dengan komunisme). Maka Pancasila harus ditatap dan ditangkap sebagai ideologi terbuka, yaitu, lepas dari pengkalimatannya sendiri seperti tercantum dalam UUD 45, penjabaran dan perumusan precepts-nya harus dibiarkan terus berkembang seiring dengan dinamika masyarakat dengan pertumbuhan kualitatifnya, tanpa membatasi wewenang menafsirkan hanya kepada suatu lembaga "resmi" seperti di negeri-negeri komunis. Karena prinsip eksperimentasi itu, maka demokrasi akan terbuka kepada kemugkinan proses-proses "coba dan salah" (trial and error), dengan kemungkinan secara terbuka pula terus-menerus melakukan koreksi dan perbaikan. Justru titik kuat demokrasi, dengan segala kekuarangannya, ialah kemampuannya untuk mengoreksi dirinya sendiri, karena keterbukaannya itu.

Demokrasi dan Pengawasan Sosial

Kiranya harus dipandang dan diterima sebagai hal yang wajar saja bahwa akhir-akhir ini negeri kita ditandai oleh arus deras tuntutan mewujudkan demokrasi dan demokratisasi. Wajar, karena arus itu merupakan salah satu dari banyak konsekwensi alami tingkat perkembangan negara kita, baik yang materiil maupun yang non-materiil. Yang materiil ialah taraf hidup yang makin baik dari masyarakat pada umumnya, dan yang non-materiil ialah taraf kemampuan kognitif yang lebih tinggi daripada sebelumnya, sebagai hasil kesempatan berpendidikan yang bertambah luas.

Sebagai hal yang wajar, kita harus menilai arah perkembangan itu secara positif. Jika dapat dilakukan pembedaan analitis yang tegas dan jelas antara segi makro dan segi mikro arah perkembangan itu, maka barangkali penilaian kita ialah bahwa keseluruhan perkembangan tersebut akan membawa kebaikan bersama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sekalipun segi-segi mikronya mungkin ada hal-hal yang tidak sepadan.

Dengan titik tolak pandangan dasar itu kita ingin bicara tentang demokrasi, demokratisasi dan pengawasan sosial, dengan korelasi kuat sekali kepada ide tentang oposisi. Oleh karena perkataan demokrasi sudah menjadi kata-kata harian, ada kesan seolah-olah pembicaraan tentang hal itu tidak perlu lagi. Tetapi ketika orang menyadari adanya tarik-menarik antara, di satu pihak, pengertian demokrasi sebagai sesuatu yang universal dan, di pihak lain, perwujudan demokrasi itu dalam konteks ruang, seperti faktor geografis yang acapkali berdampak kultural, dan konteks waktu seperti pengalaman kesejarahan suatu bangsa yang menjadi unsur kuat identifikasi diri bangsa itu, maka kita dapati bahwa demokrasi--seperti halnya dengan konsep-konsep besar lainnya, termasuk agama--tidak pernah sederhana. Diskusi, bahkan kontroversi, di negeri kita sekitar masalah itu sudah lama dikenal, sejak dari masa-masa para bapak republik meletakkan dasar pemikiran kenegaraan kita (yang antara lain menghasilkan Pancasila).

Kompleksitas demokrasi yang berada dalam dinamika tarik-menarik antara universalitasnya dan kenisbian kultural dalam perwujudannya tercermin dalam kenyataan tentang banyaknya ragam atau versi demokrasi, dari satu negara ke negara lain. Keragaman itu sedemikian rupa sehingga penilaian terhadap versi yang berbeda-beda itu mendorong penilaian yang berbeda-beda pula, dalam kategori penolakan dan penerimaan, pendukungan dan penentangan. Alexis de Toqueville, misalnya, dalam bukunya yang sudah menjadi klasik, Democracy in America, mendapati bahwa demokrasi ala Amerika Serikat adalah pada hakikatnya sebuah sistem yang memberi peluang kepada mayoritas untuk bertindak semaunya. Demokrasi Amerika, kata sarjana Perancis kenamaan itu, adalah semacam sistem diktator mayoritas.(1) Jika Anda termasuk minoritas, kata de Tocqueville, Anda tidak akan mendapatkan apa-apa, karena semuanya telah ditentukan oleh mayoritas yang memenangkan pemilihan umum. Dan melalui kemenangan dalam pemilihan umum itu sebuah partai mayoritas menyisihkan untuk dirinya semua hak menentukan kebijakan politik, melalui institusi kepresidenan yang amat kuat. Presiden yang memangku jabatan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, yaitu empat tahun, adalah seorang kepala eksekutif yang sangat berkuasa, dan yang tidak dapat dijatuhkan di tengah masa jabatan. Tentu ada perkecualian, seperti Richard Nixon yang dikenakan tuntuan Kongres (impeachment) karena skandal Watergate. Di luar itu, demokrasi ala Amerika adalah sistem politik yang melandasi pemerintahan yang sangat kuat, jauh lebih kuat daripada banyak pemerintahan demokratis di Eropa Barat. Jika pengamatan dan penilaian de Tocqueville benar--sebagaimana banyak orang menerima dan meyakini demikian--bahwa demokrasi Amerika adalah "kedikatoran" atau "tirani mayoritas", maka demokrasi Amerika sesungguhnya boleh dikata bukanlah demokrasi, sebab sebuah kediktatoran atau tirani, betapapun kualifikasinya seperti pelaksanaannya yang oleh mayoritas, sama sekali bukanlah demokrasi.

Namun sudah pasti bahwa mereka yang bersangkutan sendiri, yaitu orang-orang Amerika, akan dengan keras menolak penilaian serupa itu. Demokrasi dalam pengertian yang lebih menyeluruh tidak dapat direduksikan hanya kepada mekanisme-mekanisme pelaksanaan kekuasaan yang antara lain melahirkan kekuasaan mayoritas yang mungkin saja berlangsung atas kerugian minoritas.

Demokrasi adalah lebih banyak daripada sekedar tatanan pemerintahan. Meskipun hal itu amat penting, namun ia harus dipandang sebagai salah satu hasil akhir yang bersifat formal dan struktural. Dan segi-segi kekurangan sudut formal dan struktural demokrasi itu dapat diimbangi dengan usaha perbaikan sambil berjalan, melalui improvisasi berdasarkan pengalaman-pengalaman nyata. Telah dikemukakan di atas, justru kekuatan demokrasi ialah bahwa ia merupakan sebuah sistem yang mampu, melalui dinamika internnya sendiri, untuk mengadakan kritik ke dalam dan perbaikan-perbaikannya, berdasarkan prinsip keterbukaan dan kesempatan untuk bereksperimen. Dan prinsip keterbukaan serta kesempatan bereksperimen itulah salah satu dari ruh demokrasi yang paling sentral.

Keterbukaan itu dengan sendirinya mengandung pengertian kebebasan. Dan logika dari kebebasan ialah tanggung jawab. Seseorang disebut bebas apabila ia dapat melakukan sesuatu seperti dikehendakinya sendiri atas pilihan serta pertimbangannya sendiri, sehingga orang itu secara logis dapat dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia lakukan. Seseorang yang melakukan sesuatu karena terpaksa dengan sendirinya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dilakukannya itu. Seperti dikatakan oleh S.I. Benn dan R.S. Peters,

Mengatakan bahwa seseorang tidak dapat menghindar atau terpaksa melakukan sesuatu yang ia kerjakan adalah sama dengan mengatakan bahwa dia tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya itu. Karenanya dalam pembicaraan tentang keadaan tak mampu menghindar dalam kaitannya dengan kebebasan dan determinisme, kita sesungguhnya juga berbicara tentang konsep pertanggungjawaban.(2)

Oleh karena itu, menurut Bradley, sebagaimana dikutip oleh Benn dan Peters, tanggung jawab dalam kaitannya dengan kebebasan melibatkan beberapa persyaratan:

Pertama, kelangsungan identitas perorangan. Artinya, tindakan yang bebas ialah tindakan yang tetap mencerminkan kepribadian orang bersangkutan. Justru seseorang bebas melakukan sesuatu karena sesuatu itu mencocoki dirinya, sehingga menjadi pilihannya. Maka tidak dapat dinamakan sebagai kebebasan jika seseorang melakukan sesuatu yang tidak merupakan kelanjutan yang konsisten dari kepribadiannya. Dan hanya dengan dasar kontinuitas dan konsistensi itu maka seseorang dapat dipandang sebagai bertanggung jawab atas tindakannya. Dan ini merupakan dasar bagi keharusan adanya freedom of conscience, kebebasan nurani.

Kedua, seseorang disebut bebas dan bertanggung jawab kalau pekerjaan yang dilakukannya benar-benar keluar dari dirinya sendiri, jadi tidak dipaksakan dari luar. Pemaksaan didefinisikan oleh Bradley sebagai "dihasilkannya suatu akibat, dalam jasmani atau ruhani suatu makhluk hidup, dari sesuatu yang tidak terkait sebagai konsekwensi kemauan makhluk itu." ("...the production, in the body or mind of an animate being, of a result which is not related as a consequence to its will.") Dengan perkataan lain, pemaksaan adalah dihasilkannya suatu tindakan yang bertentangan dengan kemauan yang bersangkutan. Karena itu dia tidak dapat disebut sebagai bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukannya.

Ketiga, orang disebut bebas dan bertanggung jawab jika ia berakal, yakni, ia mengetahui keadaan khusus perkara yang dihadapi. Jika ia melakukannya karena tidak mengerti, maka ia tidak dapat dipandang sebagai bertanggung jawab.

Keempat, orang bersangkutan haruslah seorang pelaku moral (moral agent), yaitu orang yang mengetahui aturan umum yang dituntut oleh masyarakatnya. Tanpa pengetahuan itu, seseorang tidak mungkin diperlakukan sebagai bertanggung jawab atas tindakannya.3)

Sudah dibahas ala kadarnnya di atas bahwa demokrasi adalah suatu kategori dinamis, bukan statis. Tidak seperti kategori-kategori statis yang stasioner (diam di suatu tempat), suatu kategori dinamis selal berada dalam keadaan terus bergerak, baik secara negatif (mundur) atau positif (maju). Dalam masalah sosial, suatu nilai yang berkategori dinamis, seperti demokrasi dan keadilan, gerak itu juga mengimplikasikan perubahan dan perkembangan. Karena adanya sifat gerak itu, maak demokrasi dan keadilan tidak dapat didefinisikan "sekali untuk selamanya" (once and for all). Karena itu "demokrasi" adalah sama dan "proses demokratisasi" terus-menerus. Cukup untuk dikatakan bahwa suatu masyarakat tidak lagi demokratis kalau ia berhenti berproses menuju kepada yang lebih baik, dan terus yang lebih baik lagi.

Oleh karena itu, sekali lagi, faktor eksperimentasi, dengan proses-proses coba dan salahnya, tiral and error-nya, adalah bagian yang integral dari ide tentang demokrasi. Suatu sistem disebut demokratis jika ia membuka kemungkinan eksperimentasi terus-menerus, dalam kerangka dinamika pengawasan dan pengimbangan (check and balance) masyarakat. Demokrasi yang dirumuskan "sekali untuk selamanya", sehingga tidak memberi ruang bagi adanya perkembangan dan perubahan, adalah sesungguhnya bukan demokrasi, melainkan kediktatoran. Contoh yang paling mudah untuk hal ini ialah apa yang disebut "Demokrasi Rakyat" model negara-negara komunis. Itulah demokrasi yang dirumuskan "sekali untuk selamanya". Dan pengalaman menunjukkan bahwa begitu orang mencoba merumuskan demokrasi "sekali untuk selamanya" maka ia berubah menjadi ideologi tertutup, padahal mengatakan demokrasi sebagai ideologi tertutup adalah suatu kontradiksi dalam terminologi.

Berdasarkan itu, demokrasi memerlukan ideologi terbuka. Atau, demokrasi itu sendiri adalah sebuah ideologi terbuka. Yaitu ideologi yang membuka lebar pintu bagi adanya perubahan dan perkembangan, melalui eksperimentasi bersama. Karena itu demokrasi adalah satu-satunya sistem yang mampu mengoreksi dirinya sendiri dan membuat perbaikan dan perubahan ke arah kemajuan bagi dirinya sendiri, sebagaimana telah ditegaskan tadi.

Eksperimentasi itu dipertaruhkan kepada dinamika masyarakat, dalam wujudnya sebagai dinamika pengawasan dan pengimbangan (check and balance). Mengapa pengawasan, karena, sebagai ideologi terbuka, demokrasi adalah sistem yang terbuka untuk semua pemeran-serta (partisipan), dan tidak dibenarkan untuk diserahkan kepada keinginan pribadi atau kebijaksanaannya, betapapun wasesa-nya (wise-nya) orang itu. Dan mengapa pengimbangan, karena sistem masyarakat dapat dikatakan sebagai demokratis hanya jika terbuka kesempatan bagi setiap kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi, apapun dan bagaimanapun caranya, dan tidak boleh dibiarkan adanya unsur sebagian mendominasi keseluruhan. Adalah mekanisme ini yang membuat demokrasi di Amerika, misalnya, tidak sepenuhnya merupakan "tirani mayoritas" seperti dikatakan oleh Alexis de Tocqueville. Sebab suatu kelompok "minoritas" selalu mempunyai peluang terbuka untuk memenangkan aspirasinya, melalui berbagai saluran, khususnya berbagai pemilihan umum (untuk senat, wakil rakyat [representatives], presiden, gubernur, dan seterusnya) yang langsung, bebas dan rahasia, serta jujur dan adil.

Dengan begitu terciptalah sistem yang dalam dirinya terkandung mekanisme untuk mampu mengoreksi dan meluruskan dirinya sendiri, serta mendorong pertumbuhan dan perkembangannya ke arah yang lebih baik, dan terus lebih baik. Karena dalam analisa terakhir masyarakat terdiri dari pribadi-pribadi atau, dalam perkataan lain, masyarakat adalah jumlah keseluruhan pribadi-pribadi, maka demokrasi pun sesungguhnya berpangkal kepada pribadi-pribadi yang "berkemauan baik". Akan tetapi karena sifatnya yang personal, kemauan atau iktikad, baik dan buruk, dapat dipandang sebagai "rahasia" yang menjadi urusan pribadi orang bersangkutan. Maka ia akan mempunyai fungsi sosial hanya jika diwujudkan dalam tindakan bermasyarakat, yang bersangkutan dengan orang lain, jadi berdimensi sosial.

Karena tindakan berdimensi sosial itu menyangkut para anggota masyarakat yang menjadi lingkungannya, jauh atau dekat, maka ia tidak dapat dipertaruhkan hanya kepada keinginan atau aspirasi pribadi. Tidak boleh diremehkan adanya kemungkinan seorang pribadi dikuasai oleh kepentingan dirinya sendiri dan didikte oleh vested interest-nya, menuju kepada tirani. Maka dari itu dalam masyarakat selalu diperlukan adanya mekanisme yang efektif untuk terjadinya proses saling mengingatkan tentang apa yang benar dan yang menjadi kebaikan bersama. Dan pada urutannya, proses serupa itu memerlukan kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul, dan berserikat.

Oleh karena itu setiap pengekangan kebebasan-kebebasan tersebut dan pencekalan atau pelarangan berbicara dan mengemukakan pikiran adalah pelanggaran yang amat prinsipil terhadap tuntutan falsafah kenegaraan kita. Di sinilah relevannya pembicaraan tentang perlunya partai oposisi. Yaitu partai atau kelompok masyarakat yang senantiasa mengawasi dan mengimbangi kekuasaan yang ada, sehingga terpelihara dari kemungkinan jatuh kepada tirani.

Harus diakui bahwa ide tentang oposisi adalah sebuah temuan modern. Artinya, sebelum zaman modern ini ide tentang pengawasan sosial sebagai kelembagaan yang dibuat secara deliberate belum ada. Yang ada pada zaman itu ialah pengawasan sosial de facto yang lahirnya dan penerimaannya dalam masyarakat bersifat kebetulan, tidak sengaja, alias accidental. Padahal sesuatu yang terjadi hanya secara "kebetulan" (apalagi jika wujud de facto-nya ada tetapi pengakuan de jure-nya tidak ada), tidak akan berjalan efektif, malah kemungkinan justru mudah mengundang anarki dan kekacauan karena usaha-usaha check and balance berlangsung sekenanya dan tidak dengan penuh tanggung jawab.

Dengan hasil pembangunan yang membuat rakyat kita semakin cerdas dan semakin mampu mengambil peran dalam kehidupan bersama sekarang ini, setiap pengekangan dan pembatasan kebebasan menyatakan pendapat harus diakhiri dengan tegas, dan kita harus menumbuhkan dalam diri kita sendiri kepercayaan yang lebih besar kepada rakyat. Janganlah kita menjadi korban dari keberhasilan pembangunan nasional kita sendiri, karena kita tidak menyadari dinamika masyarakat yang menjadi konsekwensi logisnya, kemudian kita digulung oleh gelombang dinamika perkembangan masyarakat itu.

Namun sesungguhnya prinsip-prinsip kemauan baik pribadi, komitmen sosial, dan mekanisme pengawasan dan pengimbangan melalui kebebasan-kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul dan berserikat, belumlah lengkap dan sempurna. Kembali kepada pribadi, juga kepada kelompok, masih diperlukan adanya sikap tabah dan tulus untuk mendahulukan kepentingan umum dan menyisihkan kepentingan pribadi semata. Ini dapat merupakan hal yang amat berat atas individu-individu, mengingat kecenderungan setiap orang kepada egoisme dan mendahulukan vested interest-nya sendiri. Demokrasi tidak akan terwujud jika tidak ada ketabahan pribadi untuk kemungkinan melihat dirinya salah dan orang lain benar.(4) Dan ini hanya dapat diatasi jika setiap orang memahami dan menerima demokrasi sebagai pandangan hidup, atau way of life. Seperti dikatakan oleh T.V. Smith dan Eduard C. Lindeman,

Orang-orang yang berdedikasi kepada pandangan hidup demokratis mampu bergerak ke arah tujuan itu jika mereka bersedia menerima dan hidup menurut aturan tentang terlaksananya (hanya) sebagian dari keinginan-keinginan. Perfeksionisme (pikiran tentang yang serba sempurna) dan demokrasi adalah dua hal yang saling tidak mencocoki.(5)

Barangkali terlalu banyak kalau dikatakan bahwa demokrasi menuntut adanya tingkat tanggung jawab pribadi yang tinggi. Tetapi memang keterbukaan dan kebebasan yang sejati selalu memerlukan sikap-sikap bertanggung jawab, sikap-sikap yang bebas dari egoisme dan vested interest. Seperti ternyata dari kutipan di atas, kita mampu mendukung pandangan hidup demokratis kalau kita mampu meninggalkan sikap "mau menang sendiri", dan menerima ketentuan bahwa demokrasi akan menghasilkan diterimanya dan dilaksakannya hanya sebagian dari keinginan dan pikiran kita. Oleh karena itu harus selalu ada kesediaan untuk membuat kompromi-kompromi. Apalagi selalu ada kemungkinan bahwa keinginan dan pikiran kita sendiri adalah hasil perpanjangan dari vested interest kita, jadi egois, setidaknya subyektif. Maka prinsip partial functioning of ideals harus benar-benar dimengerti, dihayati dan dipegang teguh. Sudah tentu demikian pula halnya dalam kita melakukan pengawasan sosial yang merupakan bagian amat penting dari mekanisme check and balance, sebagai kekuatan amar ma'ruf nahi munkar (mendorong kebaikan dan mencegah kejahatan).

Penutup

Meskipun berbau agak klise, makalah ini harus ditutup dengan penegasan bahwa untuk negeri kita, paling tidak dalam tahap perkembangannya seperti sekarang ini, ABRI jelas memiliki peranan positif dan penting dalam usaha bersama menumbuhkan dan mengembangkan demokrasi. Substansiasi peran itu (sehingga tidak berbau klise lagi), ialah, barangkali, hal-hal yang dicoba paparkan di atas, yang intinya adalah penghayatan dan pengamalan yang tulus kepada demokrasi sebagai way of life, baik pada tingkat pribadi maupun kelompok.

Oleh karena demokrasi dengan sendirinya mengasumsikan kebersamaan dan partisipasi, maka tidak mungkin demokrasi ditegakkan hanya dengan mengandalkan peran seorang individu atau sebuah kelompok saja. Usaha-usaha menumbuhkan demokrasi harus dalam sistem yang meliputi seluas mungkin dan sebanyak mungkin partisipan, dalam orchestrated efforts, paling tidak usaha bersama dengan saling pengertian pada masing-masing pemeran-serta.

Dari berbagai sudut penilaian, demokrasi adalah masa depan Indonesia yang tidak terlalu jauh. Ini antara lain karena demokrasi, seperti dibuktikan oleh gejala-gejala di negeri-negeri industri baru (NIC's), merupakan akibat logis dan langsung dari tingkat tertentu kemakmuran dan pendidikan yang semakin baik dan merata. Jika kita gagal mengantisipasi itu, maka ada kemungkinan kita akan menjadi korban keberhasilan pembangunan itu sendiri.

Wallahu a'lam.


  1. Lihat pembahasan yang relevan dalam Alexis de Tocqueville, Democracy in America, 2 jilid, New York, Vitage Books, 1945, jil. 1, hal. 264-80
  2. "To say that a man cannot avoid or help doing what he does amounts to saying that he is not responsible for his actions. In dealing therefore with unavoidability in relation to freedom and determinism we have in fact been dealing with the concept of responsibility." (S.I. Benn dan R.S. Peters, The principles of Political Thought, Social Foundations of Democratic States, New York, Collier Books, 1959, hal. 240
  3. Ibid.
  4. Prinsip-prinsip ini, yaitu prinsip kemauan baik pribadi, komitmen sosial, dan mekanisme pengawasan dan pengimbangan melalui kebebasan-kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul dan berserikat, sikap tabah dan tulus untuk mendahulukan kepentingan umum dan menyisihkan kepentingan pribadi semata, dapat kita simpulkan juga dari sistem ajaran agama (Islam) yang dianut oleh sebagian terbesar rakyat kita yaitu dari Al-Qur'an, surat al-'Asr (surat ke-103), yang terjemah lengkapnya adalah kurang lebih demikian:

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang,
Demi masa,
sungguh manusia pasti dalam kerugian,
kecuali mereka yang beriman,
dan yang beramal kebajikan,
lagipula saling mengingatkan sesamanya tentang kebenaran,
dan saling mengingatkan sesamanya tentang ketabahan.

  1. Persons dedicated to the democratic way of life are capable of moving in the direction of that goal if they are prepared to accept and live according to the rule of partial functioning of ideals. Perfectionism and democracy are incompatibles. (T.V. Smith dan Eduard C. Lindeman, The democratic Way of Life, New York, Mentor Book, 1951, hal. 96.

Tidak ada komentar: