Rabu, 28 Mei 2008

KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD)

KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD)
DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG

Oleh: PAANK.SWBY.



ABSTRAK
Kewenangan membentuk undang-undang (legislatif) merupakan salah satu fungsi yang sangat startegis dalam penyelenggaraan suatu negara, oleh karena dalam kewenangan itulah secara nyata kedaulatan yang diakui dalam negara tersebut dilaksanakan. Kenyataan ini merupakan konsekuensi yang logis, oleh karena dengan suatu rumusan undang-undang setiap orang maupun setiap lembaga dalam suatu negara dapat terikat olehnya, dan wajib tunduk pada ketentuan-ketentuan yang dirumuskan di dalamnya.
Pembentukan undang-undang yang baik dapat terlaksana apabila kewenangan pembentukan undang-undang tersebut dilakukan oleh lembaga yang mempunyai suatu legitimasi yang kuat dalam suatu negara, dan didukung oleh kemampuan yang memadai dari anggota lembaga tersebut.
Dalam UUD 1945 (setelah Perubahan) ditetapkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang, walaupun demikian ditetapkan pula bahwa Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah berhak/dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Keikutsertaan Dewan Perwakilan Daerah dalam pembentukan undang-undang tersebut sampai sekarang tidak dirumuskan dengan jelas baik dalam Perubahan UUD 1945 maupun dalam undang-undang, seihingga diperlukan kajian yang lebih mendalam terhadap kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam pembentukan undang-undang.

Pendahuluan
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2002 telah mengakibatkan berbagai perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara di Indonesia. Salah satu perubahan yang sangat mendasar adalah kewenangan di bidang perundang-undangan, khususnya kewenangan membentuk undang-undang.
Perubahan kewenangan pembentukan undang-undang merupakan akibat dari perubahan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 yang dilakukan pada Perubahan Pertama dan Perubahan Kedua UUD 1945. Selain itu juga munculnya suatu lembaga negara baru yang diatur dalam Pasal 22C dan Pasal 22D, yaitu Dewan Perwakilan Daerah (selanjutnya ditulis DPD) yang diberikan kewenangan untuk menampung dan menyalurkan aspirasi dan kehendak daerah dalam pembentukan undang-undang yang berhubungan dengan pelaksananan otonomi daerah.Catatan 1
Peranan DPD dalam pembentukan undang-undang tersebut sampai saat ini belum jelas terlihat, oleh karena sampai saat ini belum ada suatu rancangan undang-undang yang disahkan oleh Presiden menjadi undang-undang. Ketiadaan peraturan yang memadai bagi DPD menjadikan kendala dalam menyalurkan kewenangan yang dimilikinya, sehingga diperlukan suatu kajian yang lebih luas tentang hal tersebut.

Pembentukan Undang-Undang
Sebelum membahas tentang lembaga pembentuk undang-undang terlebih dahulu penulis perlu mengemukakan tentang apa makna dari pembentukan peraturan perundang-undangan (dalam hal ini pembentukan undang-undang), sehingga dapat dilihat sejauh mana setiap lembaga (dalam hal ini DPR, Presiden, dan DPD) mempunyai kewenangan dalam pembentukan undang-undang.
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditetapkan, bahwa yang dimaksudkan dengan istilah "Pembentukan Peraturan Perundang-undangan"adalah proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.Catatan 2
Berdasarkan rumusan dalam Pasal 1 angka 1 tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembentukan suatu undang-undang, juga dimulai dari tahap perencanaan dan persiapan yang berhubungan dengan pengajuan permohonan prakarsa atau usul inisiatif pembentukan rancangan undang-undang, tahap perumusan atau penyusunan yang biasanya menghasilkan suatu draft rancangan undang-undang, dan diikuti dengan tahap pembahasan, kemudian dilanjutkan dengan tahap pengesahan serta pengundangan.
Untuk mengetahui kewenangan DPD dalam pembentukan undang-undang perlu dikaji pula tentang lembaga-lembaga yang berwenang membentuk undang-undang, dengan dilandasi oleh beberapa tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut, dan dari ketentuan dalam UUD 1945, undang-undang serta peraturan lain yang terkait lainnya.

Lembaga Pembentuk Undang-Undang
Dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 (sebelum Perubahan) dirumuskan bahwa, "Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat", sedangkan dalam Pasal 20 ayat (1) dirumuskan bahwa, "tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat."Berdasarkan ketentuan dalam kedua pasal tersebut maka kewenangan membentuk undang-undang dilaksanakan oleh dua lembaga, yaitu Presiden dan DPR.
Sesudah Perubahan UUD 1945 kewenangan pembentukan undang-undang dalam pasal-pasal tersebut dilakukan perubahan, sehingga secara keseluruhan pasal-pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5

(1) Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.Catatan 3

Pasal 20

(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.

(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.

(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.

(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.Catatan 4

Pasal 21

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang.Catatan 5

Dengan perubahan rumusan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 (Perubahan) tersebut terdapat sejumlah pendapat yang menganggap telah terjadi perubahan yang mendasar terhadap kewenangan pembentukan undang-undang, oleh karena setelah Perubahan UUD 1945 Presiden hanya berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, sedangkan kekuasaan membentuk undang-undang (legislatif) merupakan wewenang dari DPR (saja!).
Penulis mempunyai pendapat yang berbeda terhadap hal tersebut, oleh karena walaupun Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 (Perubahan) menetapkan bahwa kekuasaan membentuk undang-undang merupakan wewenang DPR, namun ketentuan dalam Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945 telah memudarkan wewenang tersebut. Berdasarkan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 suatu rancangan undang-undang harus dibahas dan disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, selain itu Pasal 20 ayat (4) UUD 1945 merumuskan bahwa Presiden mempunyai wewenang untuk mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama menjadi undang-undang.
Pendapat tersebut diajukan dengan alasan bahwa, dalam UUD 1945 (Perubahan), kewenangan membentuk undang-undang (legislatif) tidak hanya ditentukan dalam Pasal 20 ayat (1), tetapi dirumuskan dalam keseluruhan Pasal 20 UUD 1945. Rumusan suatu ketentuan dalam suatu peraturan tidak dapat hanya dibaca dan dipahami dari rumusan satu ayat, atau satu pasal saja, tetapi harus dibaca dan dipahami secara keseluruhan sehingga terlihat sistem yang berlaku dalam peraturan tersebut.
Di samping pasal-pasal di atas, masih terdapat rumusan yang mengatur tentang pengajuan suatu rancangan undang-undang yang berasal dari DPD. Keikutsertaan DPD dalam proses pembentukan undang-undang dirumuskan dalam Pasal 22D UUD 1945 (Perubahan) sebagai berikut:

Pasal 22D

(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

(3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.Catatan 6

Dari rumusan dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22D UUD 1945 (Perubahan), maka suatu rancangan undang-undang dapat berasal dari Presiden, dari DPR, dari anggota DPR, serta dari DPD. Selain itu, dari keempat pasal tersebut mengatur bahwa, pembentukan undang-undang dapat meliputi tahap pengajuan rancangan undang-undang, pembahasan dan persetujuan bersama, pemberian pertimbangan, pengesahan, dan pengundangan.

KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH MENURUT PASAL 22D UUD 1945

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 22D UUD 1945 (Perubahan), kewenangan DPD dapat dibedakan dalam beberapa bidang, yaitu:
1. Bidang legislasi (pembentukan undang-undang).

Dalam bidang legislasi DPD mempunyai wewenang untuk mengajukan suatu rancangan undang-undang kepada DPR serta ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan:
a. otonomi daerah,
b. hubungan pusat dan daerah,
c. pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
d. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta

e. perimbangan keuangan pusat dan daerahCatatan 7

2. Bidang konsultasi (pemberian pertimbangan).

Dalam bidang konsultasi atau pemberian pertimbangan, DPD mempunyai kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara, dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Termasuk pula dalam fungsi konsultatif DPD adalah terkait dengan dimilikinya wewenang untuk ikut memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan [Pasal 23F ayat (1) UUD 1945].Catatan 8
Penulis berpendapat bahwa, bidang konsultasi atau pemberian pertimbangan ini pada dasarnya berkaitan erat dengan bidang legislasi (pembentukan undang-undang), sehingga bidang ini dapat disatukan dengan pembahasan bidang legislasi (nomor 1 di atas).

3. Bidang kontrol (pengawasan).

Dalam bidang kontrol (pengawasan), DPD mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai:
a. otonomi daerah,
b. pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah,
c. hubungan pusat dan daerah,
d. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,

e. pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama.

Hasil pengawasan terhadap hal-hal tersebut kemudian disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.Catatan 9

Dari ketiga bidang tersebut, kewenangan DPD yang berhubungan erat dengan pembentukan undang-undang adalah bidang legislasi dan bidang konsultasi. Namun demikian, oleh karena rumusan dalam Pasal 22D tersebut masih terlalu umum, maka pelaksanaan kewenangan DPD dalam pembentukan undang-undang perlu ditinjau dari undang-undang yang merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari UUD 1945.

KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG

Kewenangan DPD dalam melaksanakan fungsi legislasi atau pembentukan undang-undang sebagaimana dikemukakan di atas, kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, serta peraturan lainnya yang terkait.
1. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003.

Dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD dirumuskan bahwa, DPD mempunyai fungsi: a. pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu; dan b. pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu.Catatan 10
Kewenangan DPD yang dirumuskan dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 (Perubahan) tersebut dirumuskan pula dalam Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 dengan rumusan yang sama. Selain itu, dalam Pasal 42 ayat (2) dan ayat (3) dirumuskan bahwa setelah rancangan undang-undang dari DPD itu diajukan kepada DPR, maka DPR mengundang DPD untuk membahasnya sesuai tata tertib DPR, yang dilakukan sebelum DPR membahasnya bersama Pemerintah.Catatan 11
Suatu hal yang perlu dilihat secara seksama adalah rumusan dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003, yang memberikan kewenangan kepada DPD untuk ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, yang diajukan oleh DPR atau Pemerintah. Dalam pembahasan ini DPR akan mengundang DPD untuk membahas rancangan undang-undang tersebut bersama Pemerintah pada awal Pembicaraan Tingkat I sesuai Peraturan Tata Tertib DPR. Pembahasan rancangan undang-undang tersebut dilakukan bersama antara DPR, DPD, dan Pemerintah. Ketiga lembaga tersebut diberikan kewenangan untuk memberikan tanggapan dan pandangan, yang kemudian akan dijadikan masukan untuk pembahasan lebih lanjut oleh DPR dan Pemerintah.
Selain itu, dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 merumuskan sebagai berikut:

(1) DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk tertulis sebelum memasuki tahapan pembahasan antara DPR dan pemerintah.

(3) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi bahan bagi DPR dalam melakukan pembahasan dengan pemerintah.Catatan 12

Apabila dilihat dari rumusan Pasal 41 sampai dengan Pasal 44 tersebut, kewenangan DPD sebagai pembentuk undang-undang hanya sebatas pengajuan terhadap rancangan undang-undang yang ditetapkan dalam Pasal 22D UUD 1945 (Perubahan). Hal tersebut tertulis dalam rumusan Pasal 43 dan Pasal 44, yang menyatakan bahwa, pandangan, pendapat, dan tanggapan serta pertimbangan yang diberikan oleh DPD hanya dilakukan pada awal Pembicaraan Tingkat I (sesuai Tata Tertib DPR), dan merupakan masukan untuk pembahasan lebih lanjut antara DPR dan Pemerintah. Dengan demikian, DPD tidak mempunyai kewenangan dalam menentukan setuju atau tidak, menolak atau menerima terhadap rancangan undang-undang tersebut dalam tahap pembahasan dan pemberian persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah.

2. Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.

Dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dirumuskan bahwa, (1) rancangan undang-undang baik yang berasal dari DPR, Presiden, maupun dari DPD disusun berdasarkan Program Legislasi Nasional, (2) Rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan pusat dan daerah.Catatan 13
Selanjutnya dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) dirumuskan bahwa, rancangan undang-undang yang berasal dari DPD dapat diajukan oleh DPD kepada DPR, yang selanjutnya diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR dan Peraturan Tata Tertib DPD.Catatan 14
Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang mengatur tentang keterlibatan DPD hanya dirumuskan dalam pasal-pasal tersebut, sehingga lebih jelas lagi bahwa kewenangan DPD tidak setara dengan DPR.

3. Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat.

Dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 15/DPR RI/2004-2005 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.Catatan 15 yang telah diubah dengan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 07/DPR RI/II/2004-2005 tentang Perubahan Peraturan Tata Tertib DPR RICatatan 16 , dirumuskan tentang tata cara dan proses pembentukan Undang-Undang yang berasal dari DPR, DPD, dan Pemerintah pada Bab XVII tentang Pembentukan Undang-Undang dari Pasal 119 sampai dengan Pasal 137.
Dalam Pasal 119 ayat (3) dirumuskan bahwa, Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR, Presiden, dan DPD. Selain itu dalam Pasal 119 ayat (4) dirumuskan pula seperti ketentuan dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 (sesudah Perubahan) bahwa, DPD dapat mengajukan kepada DPR Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan hubungan pusat dan daerah.
Khusus pengaturan tentang Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPD diatur dalam Pasal 132, yang antara lain menetapkan bahwa, Rancangan Undang-Undang dari DPD diajukan secara tertulis kepada Pimpinan DPR. Setelah Rancangan Undang-Undang dari DPD tersebut diterima oleh Pimpinan DPR, maka dalam rapat paripurna selanjutnya Ketua Sidang akan memberitahukan kepada para anggota DPR tentang masuknya Rancangan Undang-Undang dari DPD serta membagikannya kepada para anggota DPR.
Selanjutnya Badan Musyawarah DPR akan menunjuk Komisi atau Badan Legislasi untuk membahas Rancangan Undang-Undang tersebut, dan menetapkan pembahasannya dilakukan oleh Komisi atau Badan Legislasi.
Komisi atau Badan Legislasi kemudian akan mengundang anggota alat kelengkapan DPD sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari jumlah anggota alat kelengkapan DPR dan melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut.
Laporan hasil pembahasan terhadap Rancangan Undang-Undang tersebut kemudian dilaporkan dalam Rapat Paripurna, dan kemudian disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang akan mewakili Presiden, dan kepada Pimpinan DPD untuk ikut membahas Rancangan Undang-Undang tersebut.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 133 kemudian Rancangan Undang-Undang baik yang berasal dari Presiden, DPR, dan DPD dibahas melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan.
Dalam Pembicaraan Tingkat I Rancangan Undang-Undang akan dibahas dalam Rapat Komisi, Rapat Badan Legislasi, Rapat Panitia Anggaran, atau Rapat Panitia Khusus, bersama-sama Pemerintah;
Pembicaraan Tingkat I ini meliputi:

(1) a.pemandangan umum Fraksi terhadap rancangan undang-undang yang berasal dari Pemerintah atau tanggapan Pemerintah terhadap rancangan undang-undang yang berasal dari DPR;

b. jawaban Pemerintah atas pemandangan umum Fraksi atau jawaban Pimpinan Komisi, pimpinan Badan Legislatif, pimpinan Panitia Anggaran, atau Pimpinan Panitia Khusus atas tanggapan Pemerintah;

c. pembahasan rancangan undang-undang oleh DPR dan Pemerintah dalam rapat kerja berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).

(2) Dalam Pembicaraan Tingkat I dapat:

a. diadakan Rapat Dengar Pendapat atau Rapat Dengar Pendapat Umum;

b. diundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain apabila materi rancangan undang-undang berkaitan dengan lembaga tinggi negara atau lembaga-lembaga negara yang lain; dan/atau

c. diadakan rapat intern.

Dalam Pembicaraan Tingkat II yang merupakan Rapat Paripurna yang terdiri atas pengambilan keputusan yang didahului oleh:
1) laporan hasil pembicaraan Tingkat I;

2) pendapat akhir Fraksi yang disampaikan oleh anggotanya, apabila dipandang perlu, dapat pula disertai dengan catatan tentang sikap fraksinya; dan

3) pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh Menteri yang mewakilinya.
Setelah pembicaraan dalam Tingkat II selesai, maka Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui oleh DPR dan Presiden tersebut akan dikirimkan kepada Presiden untuk dimintakan pengesahan.Catatan 17

4. Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah.

Dalam Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Nomor 2/DPD/2004 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sebagaimana diubah dengan Keputusan DPD Nomor 4/DPD/2004 tentang Perubahan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, antara lain diatur tentang Panitia Perancang Undang-Undang (Bab X Pasal 52 s/d Pasal 55), Proses Pembuatan Keputusan DPD (Bab XIV Pasal 106 s/d Pasal 108), Usul Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPD (Bab XV Pasal 109 s/d Pasal 114), dan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR atau Pemerintah (Bab XVI Pasal 115 s/d Pasal 117).Catatan 18
Berdasarkan Pasal 111 Peraturan Tata Tertib DPD tersebut, suatu Usul Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPD disusun berdasarkan Program Legislasi Nasional. Usul Rancangan Undang-Undang dapat diajukan oleh Panitia Perancang Undang-Undang dan/atau Panitia Ad Hoc, atau dari sekurang-kurangnya ¼ (seperempat) dari jumlah anggota DPD.
Setelah Usul Rancangan Undang-Undang tersebut melalui proses pembahasan, dan disetujui menjadi Rancangan Undang-Undang Usul DPD dalam Sidang Paripurna, selanjutnya Rancangan Undang-Undang akan disampaikan kepada Pimpinan DPR, dan Presiden. (Pasal 112 Peraturan Tata Tertib DPD)
Menurut Pasal 113 Usul Rancangan Undang-Undang dari DPD tersebut kemudian dibahas bersama oleh DPR dan DPD, dan hasil pembahasan tersebut merupakan Usul Rancangan Undang-Undang dari DPD sebagai bahan pembahasan DPR dengan Pemerintah. Selanjutnya, Rancangan Undang-Undang tersebut akan dibahas pada pembicaraan tingkat I yang dilakukan oleh DPR dan Presiden, sesuai Peraturan Tata Tertib DPR. Pada pembicaraan tingkat I ini DPD akan diundang untuk menyampaikan pendapat dan pandangannya mengenai Rancangan Undang-Undang yang diusulkannya.
Pasal 114 Peraturan Tata Tertib DPD menyatakan bahwa, apabila DPR dan/atau Pemerintah menolak dan/atau melakukan perubahan terhadap materi muatan Usul Rancangan Undang-Undang dari DPD, maka DPD akan meminta penjelasan kepada DPR dan/atau Pemerintah. Setelah DPR dan/atau Pemerintah memberikan penjelasan, Pimpinan DPD akan menyampaikan kepada seluruh anggota DPD, kemudian DPD akan memberikan jawabab atas penjelasan tersebut kepada DPR.
Dalam hal adanya Rancangan Undang-Undang yang berhubungan dengan otonomi daerah, sesuai Pasal 22D yang berasal dari DPR atau Presiden, maka DPD akan memberi tugas kepada Panitia Ad Hoc/Panitia Perancang Undang-Undang untuk membahas atau menyempurnakannya sebagai bahan pembahasan bersama DPR dan Pemerintah (Pasal 118 Peraturan Tata Tertib DPD).

5. Proses Pengesahan Rancangan Undang-undang.

Setelah rancangan undang-undang (baik yang berasal dari Presiden, DPR, atau DPD) dibahas dan disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, rancangan undang-undang tersebut dikirimkan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan.Catatan 19 Setelah Presiden mengesahkan rancangan undang-undang menjadi undang-undang, kemudian Undang-Undang tersebut akan diundangkan oleh menteri yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang peraturan perundang-undangan ke dalam Lembaran NegaraCatatan 20 agar Undang-Undang itu dapat berlaku dan mengikat umum.


Penutup
Berdasarkan ketentuan dalam a) Pasal 5, Pasal 20, dan Pasal 22D Undang-Undang Dasar 1945 (Perubahan), b) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, c) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, serta d) Keputusan DPR RI Nomor 15/DPR RI/I/2004-2005 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang telah diubah dengan Keputusan DPR RI Nomor 07/DPR RI/II/2004-2005 tentang Perubahan Peraturan Tata Tertib DPR RI, dan e) Keputusan DPD Nomor 2/DPD/2004 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia yang telah diubah dengan Keputusan DPD Nomor 4/DPD/2004 tentang Perubahan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, dapat disimpulkan bahwa kewenangan DPD dalam bidang legislatif (pembentukan undang-undang) hanyalah dalam mengajukan Usul Rancangan Undang-Undang yang bersangkut paut dengan otonomi daerah.
Pengaturan tersebut dilandasi oleh ketentuan dalam Pasal 20 UUD 1945, yang menyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang, yang rancangannya dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama, serta kewenangan pengesahan oleh Presiden.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami adanya keinginan dari anggota-anggota DPD untuk mengajukan perubahan terhadap UUD 1945 (Perubahan). Keinginan tersebut mempunyai landasan pemikiran yang kuat, oleh karena anggota-anggota DPD mempunyai legitimasi lebih kuat sebab mereka dipilih langsung oleh rakyat pemegang kedaulatan, sedangkan anggota DPR dipilih melalui partai.
Dengan berlandaskan ketentuan dalam UUD 1945 (Perubahan), Undang-Undang dan Peraturan Tata Tertib DPR dan Peraturan Tata Tertib DPD tersebut di atas, penyampaian aspirasi rakyat melalui DPD dalam mengajukan rancangan undang-undang yang berhubungan dengan otonomi daerah tidak akan selalu berhasil secara maksimal, oleh karena kewenangan DPD yang terbatas.
Permasalahan di atas timbul oleh karena perubahan terhadap UUD 1945 dilaksanakan dalam empat kali perubahan secara parsial, sehingga tidak terbentuk suatu sistem yang harmonis. Hal ini dapat dilihat khususnya dalam hal pengaturan kewenangan membentuk undang-undang (legislatif) yang ditetapkan pada Perubahan Pertama tanggal 19 Oktober 1999 yang antara lain mengubah ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945, sedangkan pembentukan lembaga DPD baru ditetapkan dalam Perubahan Ketiga yang ditetapkan pada tanggal 9 November 2001, selain itu juga pengaturan tentang susunan dan kedudukan MPR baru ditetapkan dalam Perubahan Keempat pada tanggal 10 Agustus 2002.

-----


DAFTAR PUSTAKA
Sri Soemantri Martosoewignjo, Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah, dalam Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR, 2003)
I Dewa Gede Palguna, Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah, dalam Dewa Perwakilan Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR, 2003)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 15/DPR RI/I/2004-2005 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 07/DPR RI/II/2004-2005 tentang Perubahan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Nomor 2/DPD/2004 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia.
Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Nomor 4/DPD/2004 tentang Perubahan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia.

-----

Catatan 1 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 (Perubahan), Ps. 5 ayat (1), Ps. 20, dan Ps. 22C - Ps. 22D
Catatan 2 Indonesia, Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 1, LN No. 53 Th. 2004, TLN. No.4389, Ps. 1 angka 1.
Catatan 3 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 (sesudah Perubahan), Ps. 5.
Catatan 4 . ----------, Undang-Undang Dasar 1945 (sesudah Perubahan), Ps. 20.
Catatan 5 ----------, Undang-Undang Dasar 1945 (sesudah Perubahan), Ps. 21
Catatan 6 . ----------, Undang-Undang Dasar 1945 (sesudah Perubahan), Ps. 22D.
Catatan 7 Sri Soemantri Martosoewignjo, Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah, dalam Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR, 2003), hlm. 19.
Catatan 8 I Dewa Gede Palguna, Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah, Ibid, hlm. 65.
Catatan 9 Ibid.
Catatan 10 Indonesia, Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, UU No. 23, LN No. 92 Th. 2003, TLN. No.4310, Ps. 41
Catatan 11 Ibid., Ps. 42.
Catatan 12 Ibid., Ps. 44.
Catatan 13 ----------, Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No. 10, LN. No. 53 Th. 2004, TLN No.4389, Ps. 17.
Catatan 14 Ibid. , Ps. 19.
Catatan 15 Indonesia, Keputusan DPR RI Tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, No. 15/DPR RI/I/2004-2005.
Catatan 16 -----------, Keputusan DPR RI Tentang Perubahan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, No.07/DPR RI/II/2004-2005.
Catatan 17 Ibid.
Catatan 18 Indonesia, Keputusan DPD Tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah, No. 2/DPD/2004.
Catatan 19 ----------, Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Ps. 37
Catatan 20 Ibid., Ps. 48

ke ataske atas


LDj © 2004 ditjen pp

Tidak ada komentar: