Rabu, 28 Mei 2008

PENGANTAR MEMAHAMI

PENGANTAR MEMAHAMI
UNDANG-UNDANG TENTANG
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Oleh : PAANK.SWBY.




1. Pendahuluan
Pada tanggal 24 Mei 2004, Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan Pemerintah telah menyetujui bersama Rancangan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjadi Undang-Undang. Undang-undang tersebut merupakan undang-undang organik, karena melaksanakan secara tegas perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 22A yang menyatakan bahwa ketentuan mengenai tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.
UUD 1945, Pasal 20 ayat (5): " Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Dalam hal Presiden tidak menandatanganinya sampai dengan batas waktu yang ditetapkan Undang-Undang Dasar 1945, dan Menteri Sekretaris Negara tidak pula menjalankan kewajiban konstitusional untuk mengundangkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, telah mendorong timbulnya perbincangan publik yang melahirkan berbagai tanggapan. Catatan 1
Sebagian berpendapat bahwa berdasarkan konstitusi suatu rancangan undang-undang yang telah memperoleh persetujuan bersama DPR dan Presiden namun Presiden tidak menandatanganinya setelah melampaui batas waktu 30 hari, maka rancangan tersebut sah menjadi undang-undang, hanya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat orang banyak (legally binding force) jika belum dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan tidak ada nomornya. Catatan 2 Pendapat lain mengatakan bahwa hak veto Presiden berdasarkan konstitusi untuk tidak mengesahkan undang-undang berarti Presiden sebagai kepala pemerintahan tidak bertanggung jawab terhadap pelaksanaan undang-undang tersebut. Pandangan lain menyebutkan Sekretaris Negara dianggap tidak menjalankan kewajiban konstitusi jika tidak mengundangkan suatu undang-undang yang telah mendapatkan persetujuan bersama walaupun Presiden tidak menandatangani (mengesahkan)nya. Ada pula pendapat lain yang menganggap undang-undang belum ada, karena persetujuan bersama DPR dan Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 persetujuan tadi oleh Presiden diwujudkan dengan pembubuhan tanda tangan Presiden atas undang-undang sebelum dimuat dalam lembaran negara.
2. Pembentukan Undang-Undang dalam Konstitusi
Sebagai telaah sejarah perundang-undangan (wetshistorie), dapat dikemukakan bahwa sejak proklamasi 17 Agustus 1945, Republik Indonesia telah melewati 4 kali berlakunya Undang-Undang Dasar, yaitu: (1) Undang-Undang Dasar 1945; Catatan 3 (2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat Catatan 4; (3) Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia; Catatan 5 dan (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diubah (diamendemen) dengan empat kali perubahan. Catatan 6
UUD 1945 (sebelum perubahan) tidak menjelaskan tentang pembentukan undang-undang dengan lengkap, melainkan hanya menegaskan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR Catatan 7 Mengenai proses pembentukan undang-undang hanya menyebutkan bahwa rancangan undang-undang yang tidak mendapat persetujuan DPR tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan berikutnya. Catatan 8 Selain itu pada bagian lain, yaitu mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja, UUD 1945 menyatakan bahwa hal itu ditetapkan dengan undang-undang, dan apabila DPR tidak menyetujui yang diusulkan Pemerintah, maka Pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu. (Pasal 23 ayat (1). Catatan 9
Konstitusi RIS (1950) yang terdiri dari 197 pasal dan UUDS (1950) yang terdiri dari 146 pasal mengatur tentang pembentukan undang-undang. Pasal 127 – Pasal 143 Konstitusi RIS memuat Bagian II tentang "Perundang-undangan" yang mengatur tentang kekuasaan perundang-undangan federal. Catatan 10 Bagian II UUDS (1950) yang terdiri dari 146 pasal juga memuat pengaturan tentang "Perundang-undangan" (Pasal 89 – Pasal 100). Catatan 11
UUD 1945 mengalami empat kali perubahan fundamental dalam waktu relatif sangat pendek. Majelis Permusyawaratan Rakyat yang diberi wewenang untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar (Pasal 3 ayat (1), sebagai perwujudan keinginan rakyat untuk melakukan reformasi di bidang hukum.
Perubahan UUD 1945 sangat mempengaruhi mekanisme penyelenggaraan negara dan urusan pemerintahan, sehingga berbagai lembaga negara diwajibkan untuk melakukan pembenahan yang menyangkut fungsinya untuk disesuaikan dengan perubahan tersebut.
Berkaitan dengan pembentukan undang-undang yang melibatkan fungsi DPR dan Presiden, terdapat berbagai landasan pengaturan baru dalam UUD 1945 (setelah perubahan) antara lain sebagai berikut:
a. beralihnya kekuasaan membentuk undang-undang dari Presiden kepada DPR (Pasal 20 ayat (1) walaupun setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (Pasal 20 ayat (2);
b. kewajiban Presiden mengesahkan rancangan undang-undang menjadi undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang. (Pasal 20 ayat (4);
c. sahnya undang-undang setelah lewat waktu 30 hari sejak persetujuan bersama atas rancangan undang-undang dalam hal RUU tersebut tidak disahkan oleh Presiden (Pasal20 ayat 5);
d. kewajiban mengundangkan undang-undang (Pasal 20 ayat (5).
e. adanya undang-undang organik yang mengatur tentang tata cara pembentukan undang-undang (Pasal 22A); dan
f. tugas pengundangan peraturan perundang-undangan diserahkan kepada menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan. (Pasal 48).
3. Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Memenuhi amanat Pasal 22A UUD 1945 dan Pasal 6 TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum danTata Urutan Peraturan Perundang-undangan, DPR bersama dengan Presiden telah membentuk Rancangan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah mendapat persetujuan bersama pada tanggal 24 Mei 2004. Pada dasarnya UU P3 dimaksudkan untuk membentuk suatu ketentuan yang baku mengenai tata cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Catatan 12
Substansi UU P3 terdiri 13 bab dan 58 pasal disertai penjelasan umum dan pasal perpasal dan lampiran yang berisi teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang dahulunya dimuat dalam Keppres No. 44/1999 setelah diadakan modifikasi dan penyempurnaan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa UU P3 memuat ketentuan mengenai asas peraturan perundang-undangan (asas pembentukan, materi muatan, jenis dan hierarki ), materi muatan, pembentukan peraturan perundang-undangan, pembahasan dan pengesahan, teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, pengundangan dan penyebarluasan, dan partisipasi masyarakat dalam penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undangan rancangan peraturan daerah.
UU P3 meningkatkan status berbagai pengaturan yang terdapat dalam Keputusan Presiden Nomor 188 tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang, dan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (dimuat dalam lampiran UU P3), dan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2001 mengenai mekanisme penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan di daerah dan berbagai produk lain yang pernah ada yang sifatnya mengatur tentang teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. Ini berarti bahwa sudah ada undang-undang yang mengatur tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, dan berdasarkan Pasal 54 UU P3, semua teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang pernah ada harus berpedoman pada teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam UU P3.
UU P3 mengikat Pemerintah, Pemerintah Daerah, DPR, MPR, Mahkamah Agung, BPK, Bank Indonesia, Mahkamah Konstitusi, menteri, kepala badan, lembaga dan komisi yang setingkat dan yang lainnya dalam tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan untuk menaatinya. Ketentuan UU P3 yang mengatur tentang asas, jenis dan hierarki, materi muatan, pembentukan, pembahasan dan pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan peraturan perundang-undangan menjadi landasan bagi kebijakan unifikasi pembentukan peraturan perundang-undangan di seluruh Indonesia, sehingga proses penyusunan dan pembahasan RUU dan Raperda makin lebih sederhana karena sudah ada pedoman mengenai proses dan teknik yang harus ditaati.
4. Asas, Jenis, dan Materi
Ada 7 "asas pembentukan peraturan perundang-undangan" yang dicantumkan dalam dalam Pasal 5 huruf a s/d g. Di samping itu ada 10 "asas materi muatan peraturan perundang-undangan" dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a s/d j. Asas pembentukan perturan perundang-undangan lahir dari asas negara berdasar hukum, Catatan 13 yang berarti suatu penetapan penggunaaan kekuasaan yang secara formal dibatasi dalam dan berdasarkan UUD 1945, yang kemudian ditegaskan kembali di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan. Catatan 14 Asas P3 dibedakan pada asas formal dan asas material. 7 Asas tersebut diseleksi dari berbagai asas yang dikembangkan oleh para ahli perundang-undangan dan disesuaikan dengan P3 di negara kita. Menurut Hamid Attamimi, asas formal adalah tentang "bagaimananya" (het ‘hoe’) suatu peraturan, dan asas material yang berhubungan dengan ‘apanya’ (het ‘wat’) suatu peraturan. Catatan 15
Van der Vlies membahas asas P3 dan menyebutnya sebagai "beginselen van behooorlijke regelgeving" (asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik). Asas berkaitan dengan norma yang harus terwujud dalam perbuatan pemerintahan dan yang dapat dipaksakan berlakunya oleh hakim. Misalnya asas tentang perlakuan yang sama terhadap semua warganegara (gelijkheidsbeginsel). Catatan 16
Dikaitkan dengan hukum administrasi, asas P3 dibedakan pada asas yang berkaitan dengan:
a. proses persiapan dan pembentukan keputusan (het process van voorbereiding en besluitvorming);
b. asas yang berkaitan dengan motivasi dan pembentukan keputusan (de motivering en inrichting van het besluitvorming); dan
c. asas isi keputusan (de inhoud van het besluit).
Ketiga asas di atas lebih dititiberatkan pada asas formal P3 yang dapat dirumuskan lagi sebagai berikut:
a. asas terwujudnya suatu peraturan (de totstandkoming van een regel);
b. asas sistematika dan pengundangan (pengumuman) suatu peraturan (de systematiek en bekendmaking van een regel);
c. asas kemendesakan dan tujuan dari peraturan (de noodzaak en de doelstelling van een regel); dan
d. asas isi (muatan) suatu peraturan (de inhoud van een regel). Catatan 17
Tidak dicantumkannya asas alasan (motivasi) pembentukan peraturan perundang-undangan secara eksplisit dalam UUP mungkin dimaksudkan karena asas tersebut sudah inklusif dalam asas tentang kejelasan tujuan dalam Pasal 5 huruf a yang dalam penjelasannya disebutkan bahwa setiap P3 harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Asas motivasi lebih mencerminkan tentang kehendak yang sebenarnya dari P3 yang sangat mungkin ditumpangi atau disusupi oleh kepentingan kelompok tertentu atau berlatar belakang KKN seperti yang banyak disinyalir akhir-akhir ini.
Dalam UU P3, apakah asas undang-undang harus tercantum secara eksplisit dalam batang tubuh? Pembentuk undang-undang mungkin memerlukan pencantuman asas, dan jika demikian asas dapat dimasukkan dalam bab "ketentuan" umum dan bukan dalam tersendiri. Namun ketentuan umum sebaiknya hanya "mencerminkan " asas, maksud dan tujuan. Catatan 18
UU P3 telah menyelesaikan perbincangan sekitar masalah jenis peraturan perundang-undangan secara cukup memuaskan. Selama ini masih dipersoalkan tentang kedudukan "keputusan menteri" yang secara eksplisit tidak tercantum sebagai jenis peraturan perundang-undangan menurut TAP MPR No. III Tahun 2000 tentang Sumber Tertib Hukum. Jenis Peraturan Perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1) UU P3 ditetapkan 5 jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang tidak dicantumkan "peraturan menteri" di dalamnya. Namun dalam Pasal 7 ayat (4) dinyatakan:
"Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi."
Penjelasan ayat 4) menyebutkan secara luas tentang jenis peraturan perundang-undangan, sehingga meliputi semua peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh MPR, DPR, DPRD, MA, MK, BPK, BI, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau Pemerintah atas perintah undang-undang, DPRD, Gubernur, BupatiWalikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Dengan demikian, selain UUD, UU/Perpu, PP, Peraturan Presiden, dan Perda, terdapat banyak jenis peraturan perundang-undangan yang lain dengan kualifikasi sebagai berikut:
a. diakui keberadaannya;
b. mempunyai kekuatan hukum mengikat;
c. dibentuk atas perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi ; dan
d. dibentuk oleh badan yang diberi kewenangan.
Dalam jenis dan hierarki tersebut terdapat instrumen hukum yang disebut "peraturan presiden" (yang digunakan dalam masa orde lama) pengganti dari "keputusan presiden" yang bersifat mengatur. Penggantian instrumen hukum tersebut tentu dimaksudkan untuk menyederhanakan penyebutan jenis peraturan perundang-undangan dan untuk menghindari peran ganda keputusan presiden, baik yang bersifat mengatur (regeling) maupun yang bersifat penetapan (beschikking). Disadari bahwa penggantian itu dikritik oleh sejumlah ahli perundang-undangan karena pengaturan yang lama (keputusan presiden yang bersifat mengatur) masih cukup valid. Catatan 19
UU P3 memberikan pedoman pasti tentang materi muatan bagi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah, Peraturan Desa/yang setingkat, dan materi muatan ketentuan pidana. Hal ini perlu dipertimbangkan dengan teliti oleh pembentuk rancangan undang-undang. Khusus untuk materi Peraturan Presiden, disebutkan bahwa materi Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. Sepintas lalu terlihat bahwa Peraturan Presiden tidak bersumber dari Pasal 4 ayat (1) yaitu peraturan yang dikeluarkan Presiden untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar, melainkan adalah materi muatan delegasian dari Undang-Undang atau materi melaksanakan Peraturan Pemerintah. Jika demikian, pemikiran mengenai materi muatan Peraturan Presiden memang berbeda dengan paradigma konsepsional Keputusan Presiden yang bersumber dari Pasal 4 ayat (1). Catatan 20 Jika demikian, bagaimana penjabaran kekuasaan pengaturan oleh Presiden berdasarkan Pasal 4 ayat (1)? Catatan 21
5. Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi RUU
Substansi Pasal 18 ayat (2) tentang pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU mirip dengan substansi Keppres No. 188/1998. Tugas koordinasi masih tetap dibebankan kepada menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan.
Pasal 18 mengandung konsekuensi bahwa rancangan undang-undang harus melewati mekanisme tertentu, yaitu pembahasan bersama Panitia Antar Departemen (PAD) agar tidak terjadi tumpang tindih pengaturan dalam sebuah RUU. Menteri di bidang perundang-undangan diserahi tugas koordinasi sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai pembantu Presiden dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang hukum pembinaan hukum nasional.
Bagaimana jika instansi pemerintah yang memprakarsai RUU tidak menempuh prosedur tersebut? Bagaimana pula dengan prosedur yang harus ditempuh dalam rangka mempersiapkan rancangan peraturan daerah? Memang tidak ada pengaturan yang tegas memberikan semacam sanksi. Sebab hal itu sepenuhnya tergantung kepada kewenangan Presiden, apakah masih akan menerima sebuah rancangan undang-undang yang akan disampaikan kepada DPR tanpa memenuhi ketentuan Pasal 18 atau menolaknya?
Menteri dan pimpinan lembaga pemerintah non-departemen yang berfungsi sebgai pembantu Presiden seharusnya menyadari bahwa kewajiban Pasal 18 dimaksudkan sebagai upaya pengawasan bersama oleh Panitia Antar Departemen yang bersifat mencegah terhadap kemungkinan sebuah rancangan mengandung cacat hukum(preventief toezicht), yang tidak terlihat dengan jeli oleh departemen pemrakarsa. UUD 1945 memang memberikan peluang bahwa rancangan yang tidak disetujui oleh Panitia Antar Departemen dapat diteruskan ke DPR sebagai usul hak inisiatif, namun produk awal (initial draft) yang dikirimkan tersebut mungkin akan mengandung berbagai norma yang berbenturan dengan peraturan perundang-undangan dari departemen lain (conflicting norms), sehingga akan menyulitkan Presiden atau menteri yang bersangkutan dalam pelaksanaannya. Sangat terbuka kemungkinan bagi para pihak yang merasa dirugikan untuk mengajukan gugatan terhadap sebuah undang-undang yang "bermasalah" (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi, seperti yang banyak terjadi akhir-akhir ini.
6. Pengesahan, Pengundangan dan Penyebarluasan
Pasal 37 s/d Pasal 39 memberi dua kemungkinan tentang pengesahan, yaitu
(1) pengesahan dengan pembubuhan tanda tangan oleh Presiden terhadap rancangan undang-undang yang disampaikan oleh DPR; atau
(2) pengesahan tanpa pembubuhan tanda tangan oleh Presiden, jika telah melewati waktu paling lambat 30 hari sejak rancangan undang-undang disetujui bersama.
Untuk kasus kedua tanda pengesahan berbunyi: "Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945."
UU P3 tidak menjelaskan tentang langkah-langkah yang seyogyanya dilakukan Presiden dalam hal dia tidak setuju atau menolak sebuah rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama. Sebagai perbandingan dalam mekanis perundang-undangan menurut Konstitusi RIS (Pasal 138) dan UUDS, walaupun dalam sistem pemerintahan yang berbeda, Presiden berkewajiban memberitahukan kepada DPR jika dia merasa masih ada keberatan terhadap rancangan undang-undang yang disampaikan oleh DPR.
Pengundangan (bekendmaking) peraturan perundang-undangan dilakukan dengan menempatkan peraturan perundang-undangan pada: Lembaran Negara RI, Berita Negara RI, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah. (Pasal 45). Pengundangan peraturan perundang-undangan yang ditempatkan dalam Lembaran Negara atau dalam Berita Negara dilakukan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perundang-undangan. (Pasal 48)
Ketentuan mengenai pengundangan tidak secara tegas menyebutkan status Tambahan Lembaran Negara yang selama ini berlaku sebagai tempat pengundangan bagi penjelasan peraturan perundang-undangan. Apakah ini berarti bahwa untuk masa akan datang tidak dikenal lagi Tambahan Lembaran Negara?
Penyebarluasan (afkondiging) peraturan perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara dan Berita Negara dibebankan kepada Pemerintah, sedangkan penyebarluasan Peraturan Daerah dan peraturan di bawahnya yang dimuat dalam Berita Daerah dibebankan kepada Pemerintah Daerah.
Fungsi penyebarluasan sebenarnya tidak termasuk dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, walaupun terkait dengan teori fictieleer yang masih dianut dalam frasa penutup sebuah undang-undang "agar setiap orang mengetahuinya", karena pada umumnya masyarakat mengetahui adanya undang-undang bukan dari Lembaran Negara atau Lembaran Daerah melainkan dari pemberitaan mass-media atau publikasi khusus perundang-undangan.
7. Penutup dan Saran
UU P3 merupakan master piece di bidang perundang-undangan dan diharapkan sebagai handboek wetgeving bagi para perancang peraturan perundang-undangan. Tentu terdapat beberapa titik kelemahan dalam UU P3 yang mungkin akan menimbulkan perbedaan tafsir di kalangan penggunanya. Berbagai permasalahan yang muncul dalam rangka pemahaman UU P3 seperti diuraikan dalam makalah ini sama sekali bukan merupakan alasan untuk tidak menaati ketentuan yang terdapat di dalamnya. Justeru berbagai titik-titik lemah itu membuka peluang bagi para analis ilmu perundang-undangan untuk melahirkan berbagai karya akademis guna menggantikan berbagai tulisan sebelumnya.
UU P3 melahirkan berbagai paradigma konsepsional baru yang harus dijelaskan kepada masyarakat luas, dan untuk itu memerlukan masa transisi yang cukup lama. Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (atau nama lain dalam kabinet baru) dibebankan tugas yang cukup berat. Tidak hanya tugas mensosialisasikan UU P3 melainkan juga kewajiban mempersiapkan berbagai infrastruktur dan sarana yang diperlukan untuk menunjang pelaksanaannya.

Jakarta, 13 Oktober 2004


Catatan 1 UUD 1945, Pasal 20 ayat (5): " Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Presiden pada beberapa tahun lalu "mengembalikan" RUU tentang Penyiaran yang telah disetujui DPR, karena terdapat beberapa substansi yang tidak sesuai dengan kebijakan Presiden. Pengembalian ini dianggap sebagai sikap menolak mengesahkan RUU yang menyebabkan MPR mengubah dan menambah ketentuan baru dalam Pasal 20 ayat (5) yang mewajibkan Presiden mengesahkan RUU.

Catatan 2 Pemberitaan di sebuah koran ibukota beberapa waktu lalu mengutip pernyataan seorang anggota DPR bahwa RUU P3 telah menjadi UU No. 10 Tahun 2004 tentang P3, namun setelah dikonfirmasi ke Sekretariat Kabinet, tidak ada penegasan tentang kebenaran berita tersebut.

Catatan 3 Dimuat dalam Berita Republik Indonesia, II, t, hal. 45 – 48, dan Penjelasan hal. 51 – 56.

Catatan 4 Lihat Keputusan Presiden RIS 31 Januari 1950 Nr. 48; LN 50 – 3, d.u. 6 Pebruari 1950.

Catatan 5 Lihat Undang-undang 15 Agustus 1950 No. 7; LN 50 – 56, d.u. 15 Agustus 1950, Penjelasan dalam TLN 37.

Catatan 6 Perubahan pertama pada tanggal 19 Oktober 1999; perubahan kedua tanggal 18 Agustus 2000; perubahan ketiga 10 November 2001; dan perubahan keempat 10 Agustus 2002.

Catatan 7 Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1)

Catatan 8 Pasal 20 ayat (2)

Catatan 9 Menurut Hamid At Tamimi, mempersamakan Undang-undang yang lahir dari Pasal 5 ayat (1) UUD 1945) dengan Undang-undang yang lahir dari Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 tidak tepat sama sekali. UUD 1945 dan penjelasannya dengan sengaja membedakan secara terpisah antara Presiden harus mendapat persetujuan DPR untuk membentuk Undang-Undang (Gesetzgebung) dan Presiden harus mendapat persetujuan DPR untuk menetapkan angaran Pendapatan dan Belanja Negara (Staatsbegroting). Menurut Hamid, Undang-undang yang lahir dari Gesetzgebung selalu mengandung ketentuan-ketentuan yang "regelgevend" atau mengatur sedangkan Undang-undang yang lahir dari "Staatsbegroting" tidak "regelgevend" atau tidak mengatur, dalam hal APBN hanyalah "consent" DPR. (lihat Hamid Attamimi, Beberapa Catatan untuk Sdr. Yusuf Indradewa, S.H. Sehubungan dengan Tulisan Sanggahannya dalam Majalah Hukum dan Pembangunan No. 5 Tahun XI September 1981, dalam Arifin P. Soeria Atmadja, Kapita Selekta Keuangan Negara(Universitas Tarumanagara, UPT Penerbitan, 1996), 71.)

Catatan 10 Di antara yang menarik dari Konstitusi RIS adalah ketentuan Pasal 127 yang menganut politik hukum konstitusi dengan membagi kekuasaan perundang-undangan federal menjadi dua bagian, yaitu kekuasaan yang dipegang oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR dan Senat jika berkaitan dengan pengaturan mengenai daerah bagian atau perhubungan antara RIS dengan daerah-daerah tersebut, dan kekuasaan yang dipegang oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR dalam seluruh lapangan pengaturan selebihnya. Jadi Konstitusi RIS menekankan "kekuasaan bersama" (joint authority) yang bersifat berimbang antara Presiden dan DPR. Ini berbeda dengan UUD 1945 (sebelum perubahan) yang menerapkan politik hukum dengan konsentrase kekuasaan (concentrated authority) dengan menegaskan "Presiden sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-undang" dengan persetujuan DPR (Pasal 5 ayat (1). UUD 1945 (setelah perubahan) diubah secara dramatis yaitu Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang (Pasal 20 ayat (1) dan kewajiban suatu rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (Pasal 20 ayat (2). Demikian pula pengaturan Pasal 138 ayat (2) yang menyatakan bahwa Pemerintah harus mensahkan usul undang-undang yang sudah diterima, kecuali jika Pemerintah dalam satu bulan sesudah usul itu disampaikan kepadanya untuk disahkan menyatakan keberatannya yang tak dapat dihindarkan. Selanjutnya ayat (2) menyatakan bahwa pensahan oleh Pemerintah ataupun keberatan Pemerintah diberitahukan kepada DPR dan kepada Senat dengan amanat Presiden. Ini lebih jelas dibanding dengan perubahan UUD 1945 Pasal 20 ayat (5) yang seolah-olah "membiarkan" masalah keberatan Presiden tidak mensahkan undang-undang tanpa ada kewajiban memberitahukan kepada DPR tentang hal itu. Sekretaris Negara tentu mengalami hal dilematis. Di satu pihak, sebagai "pembantu Presiden" (Pasal 17 ayat (1) dia harus bekerja atas dasar perintah Presiden (hubungan mandatoris), sedangkan di pihak lain dia wajib menjalankan perintah UUD 1945 untuk "mengundangkan" UU dalam Lembaran Negara walaupun Presiden tidak mensahkannya (Pasal 20 ayat (5).

Catatan 11 Seperti juga pada Konstitusi RIS, dalam UUDS juga ditegaskan bahwa kekuasaan perundang-undangan "dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR. (Pasal 89). Demikian pula tentang kewajiban Pemerintah memberitahukan kepada DPR, dengan amanat Presiden, jika Pemerintah menyatakan "keberatan yang tak dapat dihindarkan" untuk mengesahkan usul undang-undang. (Pasal 94 ayat (2) dan ayat (3).

Catatan 12 Penjelasan Umum Alinea 6 UU P3.

Catatan 13 Pasal 1 ayat (3) UUD 1945: "Negara ndonesia adalah negara hukum.

Catatan 14 Hamid Attamimi, Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, (disertasi Fakultas Pascasarjana UI, 1990), hal. 334 – 335.

Catatan 15 Ibid, hal. 335 – 336.

Catatan 16 Van der Vlies, Handboek Wetgeving, (Zwolle: Tjeenk Willink, 1987), hal. 175. Bandingkan dengan UU P3, Pasal 6 ayat (1) huruf h "kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan".

Catatan 17 Van der Vlies, Op cit, hal. 181

Catatan 18 Lihat Lampiran UU P3 C1 Ketentuan Umum angka 74 huruf c.

Catatan 19 Hamid Attamimi menguraikan secara luas luas tentang "peranan keputusan presiden" dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemikiran untuk mempertahankan keputusan presiden yang bersifat mengatur bertitik tolak dari pemahaman UUD 1945 (sebelum perubahan) tentang kekuasaan pengaturan oleh Presiden berdasarkan Pasal 5 ayat (1), Pasal 22 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 4 ayat 1), Hamid membedakan kekuasaan pengaturan presiden pada: (1) kekuasaan legislatif oleh Presiden dengan persetujuan DPR; (2) kekuasaan reglementer yang dijalankan Presiden tanpa persetujuan DPR; dan (3) kekuasaan eksekutif Presiden yang mengandung kekuasaan pengaturan. Dengan mengutip berbagai teori yang ada, dapat dipahami bahwa pemerintahan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) mengandung arti formal yaitu mengandung kekuasaan mengatur (verordenungsgewalt) dan pemerintahan dalam arti material yang berisi dua unsur yang terkait menjadi stu, yaitu unsur memerintah dan unsur melaksanakan (das Element der Regierung und der vollziehung). Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang tidak mengalami perubahan mengatakan dengan jelas bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan "menurut Undang-Undang Dasar. Kekuasaan pemerintahan mengandung kekuasaan "memutuskan" (beslissende bevoegdheid) dan kekuasaan mengatur (regelende bevoegdheid) Di zaman Orde Lama, peraturan presiden dapat dijadikan lembaga pengaturan yang bersumber kepada kewenangan Presiden selaku penyelenggara tertinggi pemerintahan menurut Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 namun dapat pula bersumber pada penetapan presiden (PENPRES) yang digunakan sebagai peraturan pelaksanannya. Perpres adakalanya memuat ketentuan pidana (Perpres No. 14 tahun 1964) yang pada hakekatnya adalah ketentuan bagi tindakan administratif, dan diundangkan dalam lembaran negara agar setiap orang mengetahuinya. Hamid menyebutkan tiga keuntungan memakai nama Perpres yaitu lebih mudah disebut, langsung menunjuk kepada peraturan, dan diundnagkan dalam lembaran negara. Sedangkan unsur negatifnya, Perpres berkedudukan lebih tinggi dari keputusan presiden lainnya, dapat bersumber pada penetapan presiden yang tidak mempunyai dasar dalam UUD 1945, dan memasuki materi muatan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi seperti materi muatan undang-undang. Unsur positif keputusan presiden adalah berfungsi pengaturan yang mandiri mandiri berpegang kepada Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. (lihat Hamid Attamimi, Op cit, hal. 75– 276).

Catatan 20 Menurut Hamid, paradigma konsepsional tentang keputusan presiden yang berfungsi pengaturan yang mandiri adalah: (a) dari segi kewenangan membentuknya, didasarkan pada kekuasaan pemerintahan dimaksud Pasal 4 ayat (1); (b) dari segi sifat normanya melakukan pengaturan yang berlaku ke luar dan berlaku umum dalam arti luas; (c) dari segi materi muatannya mengandung materi muatan yang mandiri (bukan materi muatan delegasian UU melalui PP); dan (d) dari segi kepentingan masyarakat hukum, perlu diketahui secara luas oleh rakyat atau masyarakat hukum yang bersangkutan. (lihat Hamid Attamimi, Op cit, hal. 272 – 273)

Catatan 21 Dalam penjelasan UUD 1945 yang lama, Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) dan telah dihapus dari UUD 1945 (setelah perubahan), Presiden ialah kepala kekuasaan eksekutif dalam negara. Untuk menjalankan undang-undang, ia mempunyai kekuasaan untuk menetapkan peraturan pemerintah. (pouvoir reglementaire). Hamid Attamimi mengartikan bahwa di dalam kekuasaan eksekutif terdapat kekuasaan pengaturan, yaitu pengaturan dengan Keputusan Presiden. (Hamid Attamimi, Op cit, hal. 144).

Tidak ada komentar: