Rabu, 28 Mei 2008

Permasalahan dan Kebijakan Dan Penegakan Hukum

Permasalahan dan Kebijakan Dan Penegakan Hukum
Oleh : PAANK.SWBY.

Pendahuluan
Satu abad sebelum Masehi Cicero mengemukakan hubungan antara hukum dengan masyarakat melalui kalimat sederhana "ubi societas, ibi ius". Dimana ada masyarakat disana ada hukum. Hukum dibentuk oleh masyarakat untuk mengatur kehidupan mereka. Dengan kata lain hukum dibentuk oleh dan diberlakukan untuk masyarakat demi ketertiban, ketentraman dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam suatu masyarakat setiap anggota masyarakat mempunyai kepentingan tersendiri. Ada yang sama dan ada pula yang berbeda satu sama lain. Kedua macam kepentingan tersebut menjadi sebab lahirnya sengketa. Untuk mengatur berbagai kepentingan dalam masyarakat dan menyelesaikan sengketa secara tertib, masyarakat membentuk aturan-aturan dan diberlakukan dalam kehidupan mereka. Hukum sebagaimana dikemukakan oleh E.Y. Kanter, S.H. (Etika Profesi Hukum, 2001 :82) pada umumnya dipahami sebagai "suatu sistem norma atau kumpulan peraturan yang mengatur kehidupan bersama dalam masyarakat, yaitu keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam kehidupan bersama dan dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi". Proses hukum secara garis besar dapat dipandang sebagai penyelarasan berbagai kepentingan dalam masyarakat dan hasilnya adalah keadilan atau hukum yang adil. Hukum yang baik yaitu hukum yang adil dan benar, memiliki keabsahan dan mengikat, mewajibkan dan dapat dipaksakan untuk dijalankan untuk mewujudkan rasa keadilan, harmoni dan kebaikan umum yang menjadi tujuan hukum itu sendiri. Hasil dari proses hukum tersebut kemudian menjadi masukan bagi proses hukum berikutnya, demikian seterusnya sistem hukum tersebut bergerak menjalankan fungsinya.

Fungsi Integratif Hukum
Menurut Parsons (Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijakan Publik, 1994, 95) fungsi utama suatu sistem hukum itu bersifat integratif artinya untuk mengurangi unsur-unsur konflik yang potensial dalam masyarakat dan untuk melicinkan proses pergaulan sosial. Dengan mentaati sistem hukum maka sistem interaksi sosial akan berfungsi dengan baik, tanpa kemungkinan berubah menjadi konflik terbuka atau terselubung yang kronis. Agar sistem hukum dapat menjalankan fungsi integratifnya secara efektif, menurut Parsons, terdapat 4 masalah yang harus diselesaikan terlebih dahulu, yaitu :
- Legitimasi, yang akan menjadi landasan bagi pentaatan aturan-aturan;
- Interpretasi, yang akan menyangkut masalah penetapan hak dan kewajiban subyek, melalui proses penetapan aturan tertentu;
- Sanksi, yang menegaskan sanksi apakah yang akan timbul apabila ada pentaatan dan sanksi apa yang akan timbul apabila ada pengikatan terhadap aturan, serta sekaligus menegaskan siapakah yang akan menerapkan sanksi;
- Yurisdiksi, yang menetapkan garis-garis kewenangan yang berkuasa menegakkan norma-norma hukum;
Dilihat dari perspektif Parsons tampaknya efektifitas fungsi integratif sistem hukum di Indonesia masih menghadapi permasalahan yang serius baik ditinjau dari aspek legitimasi, interpretasi, sanksi maupun yurisdiksi.
Dari aspek legitimasi, sampai sekarang ini lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif masih mengalami krisis legitimasi. Walaupun semestinya lembaga eksekutif dan legislatif yang dibentuk berdasarkan proses Pemilihan Umum yang demokratis pada tahun 2004 ini diharapkan mampu mendongkrak legitimasi kedua lembaga tersebut, namun dalam kenyataannya lembaga eksekutif dan legislatif yang dipilih secara demokratis tidak serta merta mengangkat legitimasi kedua lembaga tersebut. Rakyat masih menunggu bukti-bukti kinerja lembaga eksekutif dan legislatif dalam praktek. Tingkat legitimasi terhadap lembaga eksekutif dan legislatif sangat tergantung dari kemampuan kedua lembaga tersebut dalam memenuhi aspirasi rakyat dan menjawab secara nyata berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa kita agar segera keluar dari krisis menuju kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Sedangkan lembaga yudikatif yang menempati posisi sentral dalam penegakan hukum mengalami proses penurunan kewibawaan, karena putusan-putusannya jauh dari rasa keadilan dan tidak terbatas dari praktek apa yang disebut "mafia peradilan". Selain itu lembaga yudikatif mengalami tekanan-tekanan dari kekuatan politik dan campur tangan dari kekuasaan lain. Sementara itu kemandirian lembaga peradilan sedang dalam proses pertumbuhan dengan berbagai kendalanya dibidang sumber daya manusia maupun sarana pendukungnya.
Dari aspek interpretasi perlu dilakukan reorientasi agar hak-hak rakyat sebagai subyek lebih dikedepankan, sehingga rakyat benar-benar menjadi stakeholder yang berdaulat. Penghormatan terhadap hak-hak rakyat dalam negara demokratis bukan saja dimaknai dalam proses politik penyelenggaraan Pemilihan Umum, tetapi juga hak-hak sosial ekonomi dan lain-lain yang dituangkan ke dalam kebijakan publik yang memihak rakyat. Dengan demikian partisipasi rakyat dalam pelaksanaan kebijakan publik dengan memenuhi kewajiban-kewajibannya mendapatkan motivasi, termasuk dalam penerapan berbagai aturan hukum.
Dari aspek sanksi yang sangat penting untuk dilakukan ialah kepastian lembaga yang berkompeten menerapkan sanksi, sikap konsisten, tegas adil dan tidak pandang bulu. Selama ini sanksi berupa hukuman lebih banyak dijatuhkan untuk pelanggaran hukum kelas teri, sedangkan mereka yang tergolong kelas kakap seakan-akan tak tersentuh oleh sanksi karena punya relasi, sisa-sisa pengaruh dan dana yang melimpah untuk "mengatur" kasus yang mereka hadapi. Berbagai cara dapat mereka lakukan untuk meloloskan diri dari jeratan hukuman, sehingga keadilan yang seharusnya berlaku buat setiap orang tak pandang bulu berkurang maknanya. Begitu pula pemberian reward, penghargaan seakan-akan menjadi milik orang-orang yang memiliki status tertentu, ketimbang kepada mereka yang tak punya status tinggi, meskipun berprestasi secara nyata untuk lingkungannya dan rakyat.
Dari aspek yurisdiksi sering-sering batas kewenangan berbagai lembaga tidak terlalu jelas atau bahkan bertumpang tindih. Keadaan ini diperparah lagi dengan berkembangnya egoisme sektoral dan lemahnya koordinasi, sehingga tidak jarang suatu masalah mondar mandir dilontar dari lembaga yang satu kepada yang lain, tanpa ada kepastian penyelesaiannya.

Relasi Sistim Hukum dan Sistem Politik
Penyelesaian masalah tersebut di atas secara baik merupakan syarat penting untuk terlaksananya penegakan hukum. Pelaksanaan Pemilihan Umum yang berjalan tertib, aman, dan damai merupakan bagian penting bagi proses menuju demokrasi yang diharapkan memperkokoh legitimasi politik lembaga-lembaga negara. Selanjutnya ditempatkannya pelaksanaan hukum dan hak asasi manusia sebagai salah satu prioritas dalam program Kabinet Indonesia Bersatu menunjukkan adanya political will dan komitmen pemerintah untuk lebih serius melakukan perubahan kebijakan dalam pembentukan hukum (law making policy), penegakan hukum (law enforcement policy) dan pembangunan budaya hukum (legal cultur).
Kebijakan pembentukan hukum diarahkan untuk membentuk substansi hukum yang responsif dan mampu menjadi sarana pembaharuan dan pembangunan yang mengabdi pada kepentingan nasional dengan mewujudkan ketertiban, legitimasi, dan keadilan. Sedangkan dalam penegakan hukum, kepastian dan perlindungan hukum serta hak asasi manusia menjadi sasaran utama melalui upaya penegakan hukum yang dilaksanakan secara tegas, lugas, konsekuen, dan konsisten dengan menghormati prinsip equality before the law, menjunjung tinggi hak asasi manusia serta nilai keadilan dan kebenaran yang menjadi esensi dari rule of law.
Dalam Kabinet Indonesia Bersatu bidang hukum dimasukkan dalam koordinasi Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan. Hal tersebut mempunyai arti yang penting bagi masa depan penegakkan hukum. Secara analisis dapat dipahami bahwa sistem hukum dan sistem politik sangat erat kaitannya demikian pula dengan sistem keamanan terutama yang berkaitan dengan masalah legitimasi, interpretasi, sanksi, dan yurisdiksi.
Relasi antara ketiga sistem tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Badan legislatif dan badan eksekutif sebagai representasi sistem politik dalam sistem ketatanegaraan kita mempunyai hubungan yang sangat erat dalam proses legislatif, penyusunan budget dan pengawasan dalam rangka menciptakan check and balance. Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menentukan bahwa "setiap rancangan Undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama." Input primer yang dimasukkan oleh sistem politik ke dalam sistem hukum berupa Undang-undang yang merupakan diskripsi umum abstrak, akan direalisasikan secara konkrit oleh penegak hukum menjadi Law in action. "Keselarasan antara nilai yang terkandung dalam Undang-undang (Law in book) dengan law in action menjadi syarat penting untuk tegaknya keamanan dan sebaliknya. Keamanan yang stabil dan terkendali mendukung bekerjanya sistem hukum dan sistem politik. Diskripsi nilai atau cita-cita hukum yang terkandung dalam Undang-undang akan dirasakan secara nyata memberikan keadilan apabila ditegakkan. Satjipto Rahardjo (Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologi) antara lain menyatakan "Hukum tidak bisa tegak dengan sendirinya, artinya tidak mampu untuk mewujudkan sendiri janji-janji serta kehendaknya yang tercantum dalam peraturan-peraturan hukum itu".
Hukum akan kehilangan maknanya apabila tidak ditegakkan. Dengan kata lain hukum tidak mampu menjalankan fungsi utamanya bila tidak ditegakkan.
Lebih lanjut Satjipto Raharjo (idem : 15) mengemukakan bahwa "apabila kita berbicara mengenai penegakkan hukum, maka pada hakekatnya kita berbicara mengenai penegakan ide-ide serta konsep-konsep yang notabene adalah abstrak itu. Dirumuskan secara lain, maka penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan.
Dalam sistem hukum kekuasaan kehakiman (yudikatif) menempati posisi sentral dalam menegakkan hukum, dalam merealisasikan ide-idee yang tertuang dalam Undang-undang sebagai produk dari sistem politik. Badan yudikatif memberikan isi dan wujud konkrit kepada kaidah hukum. Ditangan badan yudikatiflah hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran menjadi sesuatu yang nyata, menjadi realitas kehidupan. Tugas yang diemban oleh badan peradilan berada dalam bentangan antara kompleks nilai yang mendasari suatu Undang-undang (aturan hukum) dan kesadaran nilai-nilai konkrit dalam masyarakat.
Oleh karena itu kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan seperti diamanatkan pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 merupakan prinsip yang harus ditegakkan dalam negara Indonesia yang berdasarkan atas hukum. Lahirnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 diharapkan menjadi landasan yuridis yang lebih mantap untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam arti kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
Pembinaan Badan-badan peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara dibawah satu atap Mahkamah Agung antara lain dimaksudkan untuk memperkokoh kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut, kehadiran Komisi Yudisial yang bersifat mandiri sebagaimana diamanatkan Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 sangat mendesak. Kehadiran Komisi Yudisial yang diberi wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku para hakim akan menjadi faktor penyeimbang dan mengawal kebebasan hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman.

Isu Yang Menonjol
Masalah penegakkan hukum merupakan masalah yang tidak sederhana, bukan saja karena kompleksitas sistem hukum itu sendiri, tetapi juga rumitnya jalinan hubungan antara sistem hukum dengan sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat. Pada kesempatan ini akan diketengahkan beberapa isu yang cukup menonjol dalam penegakkan hukum terutama yang berkaitan dengan substansi hukum, struktur (kelembagaan) hukum, budaya hukum.
1. Isu pokok yang berkaitan dengan substansi hukum
- Masih terdapat aturan-aturan hukum yang sudah tidak cocok dengan perkembangan ketatanegaraan dan kepentingan hukum masyarakat;
- Terdapat produk-produk hukum yang ditentang keras oleh kelompok kepentingan yang terkait, karena dinilai tidak aspiratif;
- Perumusan ketentuan hukum tidak jelas, multi tafsir;
- Produk hukum saling bertentangan, tumpang tindih sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum;
- Peraturan pelaksanaan Undang-undang tidak segera diterbitkan atau terdapat jarak waktu yang cukup lama antara berlakunya Undang-undang dengan penerbitan peraturan pelaksanaannya;
- Tetap diberlakukannya peraturan pelaksanaan Undang-undang yang telah diubah/diganti melalui ketentuan Peraturan Peralihan yang umumnya berbunyi sebagai berikut :
"Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan pelaksanaan yang telah ada dinyatakan tetap berlaku selama ketentuan baru berdasarkan Undang-undang ini belum dikeluarkan dan sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan Undang-undang ini".
- Dikabulkannya permohonan pengujian Undang-undang tanpa memperhatikan dampak yuridis yang timbul sebagai akibat dinyatakannya materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

2. Isu pokok yang berkaitan dengan struktur (kelembagaan) hukum
- Menurunnya kepercayaan terhadap aparat penegak hukum;
- Lembaga penegak hukum sedang bergulat untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan reformasi;
- Independensi badan peradilan sebagai benteng terakhir bagi pencari keadilan belum terwujud;
- Kewenangan diskriesoner yang dimiliki oleh lembaga-lembaga hukum tanpa kontrol, sehingga sering disalahgunakan;
- Yurisdiksi lembaga-lembaga hukum tertentu bertumpang tindih;
- Manajemen penanganan kasus-kasus hukum belum efektif dan efisien serta tidak transparan dan akuntabel;
- Lemahnya koordinasi, karena kuatnya egoisme sektoral;
- Aparat penegak hukum kurang profesional dan rendah integritasnya dalam mengemban tugas pokok;
- Dana, sarana dan prasarana pendukung pelaksanaan tugas serta kesejahteraan aparat penegak hukum belum memadai
3. Isu pokok yang berkaitan dengan budaya hukum
- Lemahnya keteladanan dari para pemimpin dan dari kalangan-kalangan aparat penegak hukum untuk mematuhi hukum;
- Tingkat kesadaran hukum masyarakat masih rendah;
- Sistem internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai hukum ke tengah-tengah masyarakat belum dilaksanakan secara sistematis dan integratif sebagai suatu gerakan kemasyarakatan;
- Adanya sikap permisif mentolerir berbagai pelanggaran hukum;
- Perlindungan dan penegakkan hak asasi manusia menjadi salah satu arus utama tuntutan masyarakat yang perlu direspon secara serius.

Kebijakan
Salah satu esensi dari negara hukum ialah ditampilkannya peranan hukum secara mendasar sebagai titik sentral dalam kehidupan ketatanegaraan, dan kemasyarakatan menuju kehidupan yang adil dan sejahtera. Untuk itu komponen-komponen pokok dari sistem hukum perlu diperkokoh sebagai pilar-pilar utama dalam penegakkan hukum. Kebijakan menyeluruh mencakup substansi hukum yang responsif sebagai perwujudan aspirasi rakyat untuk mengatur berbagai aspek kehidupan yang berkembang dinamis, struktur (kelembagaan) hukum yang berwibawa dan memperoleh kepercayaan publik, profesional, tanggap dan tangguh dalam mengemban tugasnya serta kesadaran hukum masyarakat yang semakin tinggi menuju tumbuhnya budaya hukum, perlu dilakukan untuk memperkokoh pihak-pihak penegakan hukum.
Dalam rangka semakin mendekatkan nilai-nilai yang terkandung dalam hukum dengan realitas kehidupan hukum, maka perlu dilakukan serangkaian kebijakan dengan prioritas sebagai berikut :
1. Di bidang substansi hukum
- Mengganti peraturan hukum yang tidak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan dan aspirasi rakyat;
- Badan pembentuk Undang-undang harus membuka diri terhadap partisipasi masyarakat dalam pembentukan Undang-undang dalam rangka pembentukan hukum yang responsif;
- Dalam pembentukan substansi hukum agar dipenuhi asas-asas formal maupun material;
- Perlu dilakukan inventarisasi Undang-undang yang belum diikuti dengan peraturan pelaksanaan;
- Peraturan pelaksanaan Undang-undang dipersiapkan dan ditetapkan segera setelah Undang-undang berlaku, agar semangat dan jiwanya mengalir sampai kepada peraturan pelaksanaan;
- Peraturan pelaksanaan suatu Undang-undang yang diberlakukan berdasarkan ketentuan peralihan Undang-undang segera diganti;
- Program Legislasi Nasional diprioritaskan untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, mengganti Undang-undang yang sudah ketinggalan jaman, membentuk Undang-undang baru untuk mendukung pembangunan ekonomi dan politik demokratis dan memerangi kejahatan transnasional atau kejahatan luar biasa;
- Melakukan kajian yuridis terhadap dampak putusan lembaga yudikatif yang mengabulkan permohonan judicial review dan melakukan tindak lanjut untuk menyelesaikan permasalahan yuridis yang timbul;

2. Di bidang Struktur (kelembagaan) hukum
- Mengembalikan kepercayaan rakyat kepada aparat penegak hukum, melalui peningkatan kinerja, sikap tegas, konsisten dan bebas dari praktek KKN dalam penegakkan hukum;
- Melakukan revitalisasi dan reposisi kelembagaan serta perubahan budaya kerja;
- Menjamin badan peradilan bebas dari pengaruh dan campur tangan badan-badan lain dan menjamin kebebasannya untuk memeriksa dan memutus perkara serta menata pembinaan badan peradilan di bawah satu atap Mahkamah Agung;
- Melakukan pengawasan pelaksanaan kewenangan diskresioner yang dimiliki lembaga-lembaga hukum serta menetapkan pelaporan berkala kepada publik tentang pelaksanaan kewenangan tersebut;
- Mempertegas batas-batas yurisdiksi lembaga-lembaga hukum dengan menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya;
- Memperbaiki manajemen penanganan kasus hukum agar transparan, akuntabel dalam rangka melaksanakan prinsip penanganan kasus yang cepat, sederhana, akurat dan adil dengan biaya yang wajar;
- Memantapkan koordinasi pada tataran kebijakan dan pada pelaksanaannya di lapangan;
- Meningkatkan profesionalisme dan integritas penegak hukum melalui pendidikan dan pelatihan serta penegakkan disiplin dan kode etik;
- Mendayagunakan lembaga penyelesaian sengketa alternatif;
- Menyediakan dana, sarana dan prasarana yang lebih memadai untuk pelaksanaan tugas penegakkan hukum;
- Meningkatkan kesejahteraan aparat penegak hukum.
3. Di bidang budaya hukum
- Para pemimpin dan elit politik pada tingkat nasional maupun lokal agar memberikan teladan dalam mematuhi hukum
- Menyempurnakan sistem internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai hukum kepada masyarakat baik yang berkenaan dengan metodologi, substansi dan target khalayak yang ingin dijangkau, agar lebih partisipatif dan sesuai dengan tuntutan perkembangan keadaan dan aspirasi masyarakat;
- Masyarakat agar tidak mentolerir pelanggaran-pelanggaran hukum dan turut memberikan sanksi moral kepada para pelakunya.

Melalui serangkaian kebijakan tersebut di atas diharapkan penegakkan hukum akan semakin efektif dengan demikian hukum dapat melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut :
- Memberikan pedoman bagi anggota masyarakat untuk berperilaku tertib dalam pergaulan kehidupan bermasyarakat dan bernegara;
- Social control dalam arti mendidik dan mengajak warga masyarakat agar mematuhi hukum;
- Penyelesaian sengketa melalui lembaga-lembaga hukum;
- Social engineering dalam arti mengadakan perubahan-perubahan didalam masyarakat.

Tegaknya hukum akan mendukung terciptanya ketertiban dan keamanan dalam masyarakat dan kondisi keamanan yang mantap mendukung upaya-upaya penegakan hukum. Realisasi nilai keadilan dan kebenaran melalui penegakkan hukum yang lugas, tegas dan tidak pandang bulu serta bebas dari praktek-praktek KKN akan memulihkan kepercayaan rakyat terhadap sistem hukum. Dengan demikian seperti dikemukan oleh Bambang Sunggono, SH, MS (opcit, 106) hukum antara lain akan dapat menjadi "sarana untuk menjamin agar anggota masyarakat dapat dipenuhi kebutuhannya secara terorganisasi"

-------------
DAFTAR BACAAN
- Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 sebagaimana telah beberapa kali diubah.
- Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
- Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
- Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Udnang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
- Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
- A.A. Oka Mahendra, S.H. Menguak Masalah Hukum, Demokrasi, dan Pertanahan, Jakarta, 1996
- Bambang Sunggono, S.H., MS, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Jakarta, 1994
- E.Y. Kanter, S.H. Etika Profesi Hukum, Jakarta, 2001
- Lili Rasjidi, Prof.Dr.SH, S.Sos, LLM dan I.B. Wyasa Putra, SH, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung, 1993
- Satjipto Rahardjo, Prof.Dr.S.H, Masalah Penegakkan Hukum, BPHN, Departemen Kehakiman
- Soerjono Soekanto, DR,SH, MA, Penegakkan Hukum BPHN Departemen Kehakiman RI, 1983
- Suleman B. Tanako, Pokok Studi Hukum dalam Masyarakat Jakarta, 1993

Tidak ada komentar: