Rabu, 28 Mei 2008

Presidensil

Presidensil

Beberapa bulan lewat, kami di Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) berdebat dengan narasumber seorang anggota Badan Pendiri Kehormatan kami, Prof. Daniel S. Lev. Intinya, pada akhirnya, tidak ada seorang pun yang percaya bahwa sistem pemerintahan presidensil -- bagaimanapun ketatnya sistem check and balance dan rule of law ditegakkan -- tidak berbahaya bagi demokrasi, kepentingan umum, hak asasi dan kemanusiaan.

Contohnya kental sekali pada peristiwa dunia yang baru terjadi, yaitu perang Irak. Bagaimana Presiden George W. Bush tidak dapat dicegah oleh siapapun untuk mengikrarkan perang, dan benar-benar melakukan tindakan perang terhadap Irak secara melawan hukum dengan mengabaikan kesepakatan PBB, sehingga perang Irak lebih sering dijuluki perangnya Bush pribadi. Padahal kita tahu bagaimana demokrasi berjalan, bagaimana sistem check and balance bekerja, serta rule of law ditegakkan di Amerika.

Akibat perang Irak kita sudah tahu, banyak rakyat sipil terbunuh, harta benda rusak, fasilitas umum hancur lebur, peninggalan budaya dijarah. Dengan enteng, pasukan koalisi mengatakan bahwa kerusakan itu merupakan collateral damage atau casualties of war. Belum lagi, kini Irak menghadapi suasana chaotic yang memerlukan rekonstruksi sarana fisik maupun pembangunan kembali moral bangsa Irak yang harga dirinya dihancurkan, yang harus diakui sebagai suatu proses yang sulit, mahal dan makan waktu. Lagi-lagi, ini juga dianggap enteng oleh Bush administration sebagai masa transisi yang wajar setelah berakhirnya perang yang dapat dibiayai oleh minyak Irak.

Secara teoritis, Bush dapat diajukan ke Mahkamah Internasional sebagai penjahat perang, itu pun kalau ada yang berani berinisiatif dan menanggung risiko. Yang jelas, Bush tidak dapat dijatuhkan dari posisinya sebagai Presiden AS karena tidak ada tindakannya yang saat ini bisa dijadikan dasar untuk tindakan impeachment. Apalagi, tindakan perangnya mendapat dukungan Kongres yang tidak mampu meredakan hawa amarah perang Bush.

Kehendak Bush sebagai presiden dalam sistem presidensil Amerika tidak tergoyahkan, meskipun jutaan orang turun di jalan-jalan dari Seattle sampai New York, meskipun dukungan polling atas tindakan perang Bush merupakan yang terendah dibandingkan dengan polling atas perang-perang terdahulu termasuk perang Korea dan Vietnam, meskipun sekarang senjata pemusnah tidak diketemukan di Irak, dan meskipun Hans Blix akhirnya harus mengeluarkan kata-kata "banyak bajingan berkeliaran di Washington". Dalam konstelasi politik AS sekarang, Bush hanya bisa menanggung akibat tindakannya dengan menurunnya popularitasnya yang bisa berakibat kekalahan Bush dalam pemilihan umum mendatang. Tidak lebih dari itu.

Tony Blair dan John Howard, dalam sistem parlementer Inggris dan Australia, lebih berisiko daripada Bush. Setiap waktu, dukungan parlemen bisa menurun drastis kalau kebijakan perang Inggris dan Australia ternyata kebijakan yang salah, dan masing-masing Blair dan Howard dianggap menjerumuskan Inggris dan Australia ke tepi jurang peradaban. Berkurangnya dukungan parlemen bisa segera saja menjatuhkan Blair dan Howard dari kursinya masing-masing.

Jadi kalau masalah yang menyangkut hidup matinya orang-orang sipil dalam jumlah besar, dihancurkannya suatu pemerintahan asing, dan mungkin dilumatnya suatu kebudayaan dapat ditentukan oleh tindakan dan tanggung jawab satu orang saja dalam kabinet presidensil, bisa dibayangkan bahwa satu orang ini juga bisa memutuskan begitu banyak kebijakan publik lainnya yang bisa saja menyengsarakan banyak orang.

Sistem presidensil di Indonesia dianut oleh UUD 1945 -- diselingi oleh sistem parlementer yang singkat di tahun 1950-an -- yang dicap gagal karena membuat kabinet jatuh bangun dalam waktu singkat, sehingga dituduh selalu gagal menuntaskan revolusi dan tugas-tugas pembangunan. Mungkin pada waktu Soekarno memutuskan dengan Dekrit Presiden 1959 untuk kembali ke UUD 1945, Indonesia pada saat itu masih dalam kondisi membutuhkan suatu kepemimpinan yang sentralistik, otoriter, dan karenanya dianggap efektif menjalankan program-program pembangunan multisektor.

Dalam konteks masyarakat yang masih sederhana di awal kemerdekaan, pendidikan rendah. Bahkan, sebagian anggota parlemen tidak mengerti konsep-konsep demokrasi modern tentang sistem perwakilan, pertanggungjawaban kepada konstituen, dan fungsi legislatif dari parlemen, maka sistem presidensil dianggap cocok untuk waktu itu. Lagi pula, kharisma dari pemimpin nasional masih menonjol sekali waktu itu.

Sistem parlementer tidak pernah dicoba di Indonesia dalam konteks dan kondisi masyarakat pluralistis yang cukup kompleks, di mana keterbukaaan terjadi di banyak sektor, pendidikan relatif cukup baik dan merata, dan kelas menengah relatif lebih punya basis yang membesar. Jadi menghukum sistem parlemen lebih jelek dari sistim presidensil, untuk saat sekarang ini, tidak cukup didukung oleh fakta dan substansi.

Dalam sistem presidensil, eselon satu di pemerintahan -- yang menjalankan fungsi-fungsi tehnis dan operasional -- bertanggung jawab kepada menteri, dan menteri selanjutnya sebagai pembantu bertanggung jawab kepada presiden. Presiden hanya bertanggung jawab kepada MPR di akhir masa jabatannya, kecuali ada peristiwa luar biasa di mana presiden dianggap tidak menjalankan konstitusi atau garis-garis besar haluan negara, dan karenanya bisa dilakukan tindakan impeachment terhadapnya di tengah masa jabatannya. Dalam sistem ini, presiden -- yang seringkali tidak mengerti masalah operasional dan tehnis pemerintahan -- diminta untuk menerima pertanggungjawaban menteri dan lebih ke bawah lagi eselon-eselon bawahan yang merumuskan dan melaksanakan hal-hal tehnis pemerintahan.

Mari kita jujur saja, bagaimana mungkin presiden seorang diri harus menerima pertanggungjawaban itu kalau seorang presiden tidak mengerti detail operasional dan tehnis pemerintahan? Di sini, peran the President Men menjadi sangat besar. Bisikan demi bisikan di belakang telinga presiden memberinya informasi kapan seorang menteri dianggap memberi gagasan yang brilian dan membantu kesuksesan pemerintahan si presiden. Atau kapan seorang menteri dianggap menjerumuskannya, atau kapan seorang menteri dianggap punya kepentingan pribadi atas kebijakannya, dan sebagainya.

Ini tentu akan sangat melelahkan presiden, karena akan banyak saat di mana dia tidak tahu lagi kebijakan tehnis dan detail mana yang benar dan mana yang salah. Satu contoh saja, presiden tentu menerima beragam pendapat menteri-menteri yang terkait, dan bisikan-bisikan orang di sekitar presiden. Belum lagi desakan-desakan dari partainya sendiri dan partai-partai lain yang besar, mengenai apa yang harus dilakukan oleh Presiden terhadap Aceh yang bergolak.

Bisikan dan desakan ini bisa sangat memusingkan. Misalnya, apakah presiden harus memutuskan untuk menerapkan kembali kebijakan DOM. Ataukah diperlukan sekadar keadaan darurat sipil di Aceh. Atau sudah diperlukan keadaan darurat militer? Apa implikasinya setiap pilihan tersebut terhadap anggaran, kehidupan sosial di Aceh, pendapat orang Aceh terhadap presiden, pemerintah, dan saudara-saudaranya, bangsa Indonesia dari daerah-daerah di luar Aceh, kesejahteraan dan kehidupan sosial, kegiatan-kegiatan perekonomian, pendidikan, masalah-masalah kemanusiaan, masa depan Aceh pada umumnya, dan soal-soal penting lainya. Belum lagi bagaimana implikasinya terhadap dunia internasional, iklim investasi, sampai popularitas presiden terutama dalam menghadapi pemilihan umum mendatang?

Jadi kalau presiden salah langkah dan mengambil keputusan salah yang menyangkut kehidupan begitu banyak orang di Indonesia, wajar bila tanggung jawabnya melekat pada presiden seorang. Karena semua menteri, yang lebih tahu dan terlibat dalam perumusan kebijakan, cuma pembantu yang bertanggung jawab hanya kepada presiden. Kalau kesalahan itu tidak mengakibatkan impeachment, presiden berpeluang melakukan kesalahan kedua, ketiga, dan seterusnya, sampai saatnya nanti dia mempertangggungjawabkannya pada akhir masa jabatannya kepada MPR. Tapi, apa akibat pertanggungjawaban akhir tadi?

Maksimum yang bisa terjadi pertanggungjawaban tidak diterima, dan ia tidak terpilih lagi di pemilihan presiden mendatang. Sungguh suatu sistem yang berbahaya bagi kepentingan bangsa dan masyarakat luas bila kita punya presiden yang jelek dalam governance dan etika. Coba saja bayangkan, kalau presiden membuat kesalahan fatal dalam penentuan kebijakan Aceh, atau penanganan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), atau kapan harus keluar dari program IMF, yang akibatnya bisa membekas seperti luka yang dalam kepada berapa generasi mendatang.

Dalam kabinet presidensil di Indonesia, adalah suatu keharusan bahwa seorang presiden adalah seseorang yang berpengetahuan luas, arif di dalam menyikapi masalah-masalah sensitif Indonesia yang sangat pluralistis, dan menghargai pluralisme Indonesia. Apalagi dalam tatanan politis di mana tidak ada mayoritas suara yang dikuasai oleh suatu partai politik, setiap langkah presiden juga perlu melihat posisi partai politik yang mendukungnya. Mengaku, memahami, dan menerima pluralisme sangat mudah. Tetapi menerima pendapat siapapun tanpa merah telinga dan mensejajarkan semua etnis dan keagamaan serta mereka yang berpandangan politik lain, sungguh merupakan kenyataan-kenyataan lapangan yang sulit untuk diamalkan.

Dalam sistem parlementer, perdana menteri dan para menteri bertanggung jawab langsung kepada parlemen. Kebijakan eksekutif dibicarakan secara ketat dengan parlemen. Dan begitu parlemen menyetujui kebijakan tersebut, semua lini di pemerintahan dan parlemen wajib mendukung habis pelaksanaan kebijakan tersebut. Bila mana tradisi ini dilaksanakan dengan menerapkan good governance, tidak melanggar hukum yang berlaku, serta dengan selalu memperhatikan kepentingan publik, sehingga karenanya tidak ada skandal-skandal memalukan terjadi, tidak akan ada alasan bahwa pemerintahan dalam sistem parlementer akan mudah jatuh bangun. Ini tentu membutuhkan kesabaran, perjalanan konvensi dan praktek ketatanegaraan panjang, komitmen politik yang tinggi, dan kematangan para eksekutif dan politikus. Kalau dilihat sejarah Inggris, Australia, India, Malaysia dan Singapura -- masing-masing dengan kekurangannya sendiri -- jatuh bangunnya pemerintahan dengan sistem parlementer sangat jarang terjadi. Ini memberikan suatu inspirasi baru kepada kita di Indonesia bahwa sistem parlementer, dengan semangat untuk membangun kembali Indonesia, harusnya tidak seburuk yang kita bayangkan.

Di depan sekarang, Presiden RI menghadapi begitu banyak masalah mendesak. Bukan karena kesalahannya, melainkan lebih banyak karena warisan lama. Keluar dari IMF dan mereduksi akibat-akibatnya. Memberantas korupsi. Membasmi gerakan-gerakan separatis dan bibit-bibitnya. Menerapkan otonomi daerah dengan menjaga keseimbangan kepentingan pusat-daerah dengan titik berat kepentingan rakyat. Memberikan stimulus-stimulus investasi, industri dan perdagangan, terutama untuk usaha kecil mengengah. Mereformasi polisi, kejaksaan dan pengadilan. Mulai berperan dalam diplomasi internasional. Melakukan restrukturisasi pegawai negeri. Menjaga hubungan yang seharusnya dari sipil-militer, yaitu supremasi sipil atas militer. Meletakkan fondasi pemilihan umum (presiden, wakil presiden dan parlemen) yang lebih baik. Dan banyak lagi prioritas mendesak yang dibiarkan tidak tersentuh karena sensitivitas yang tinggi, ketidakmampuan atau karena masalah budget semata.

Beban berat seperti itu bukan seharusnya diletakkan di pundak presiden sendiri. Pengalaman belajar demokrasi selama lima tahun terakhir ini menunjukkan kalau presiden begitu mudah jadi sasaran tembak kritik para politisi dan lawan politiknya, sehingga menimbulkan keraguan presiden untuk mengambil keputusan-keputusan yang strategis terutama di semua soal di atas. Beban itu seharusnya adalah tanggung jawab semua lapisan dan unsur bangsa, yang bisa lebih merata dibagi kalau kita mau berfikir kembali sistem ketatanegaran apa yang lebih cocok untuk bangsa Indonesian dalam menyelesaikan masalah-masalahnya kini dan di masa depan. Apalagi, kalau kita tidak siap untuk melaksanakan sistem presidensil dengan penerapan check and balance, good governance, dan penegakan hukum yang ketat.

Lagi pula, di masa-masa sulit ini, siapa yang berani mempertaruhkan nasib bangsa ini di satu tangan yang dipilih oleh 20-30% para pemilih.

Tidak ada komentar: